Elena Bara: 'Tidak Ada Seorangpun Bekerja di Vogue yang Datang dengan Heels'

Elena Bara: Tidak Ada Seorangpun Bekerja di Vogue yang Datang dengan Heels
WOOP.ID/YOGO TRIYOGO

Digital fashion editor ini bercerita tentang Vogue, frekuensi datang ke fashion show, dan topping pizza yang halal ala Italia.

Dan adakah fashion show yang tidak pernah terlewatkan olehnya? "I mean I only go to Milan Fashion Weekbut I always go to Prada," jawabnya dengan pelafalan kata 'Prada' yang sempurna. 

img

Menurut tata krama sosial tidak tertulis, salah satu pertanyaan yang dilarang ditanyakan kepada perempuan adalah usia. (Meskipun saya sangsi pria akan dengan antuasias dan bahagia saat menjawab pertanyaan yang sama.) Jadi, saya bertanya berapa lama dirinya sudah bekerja di media milik Condé Nast tersebut. 

"Hmm..," gumamnya seraya berhitung dengan jari, "Sudah lebih dari tujuh tahun," tukasnya. 

Dari meng-googling dirinya, saya mendapatkan informasi bahwa mode bukanlah cita-cita awalnya. Dulu, Elena berhasrat ingin menjadi... ahli bedah. Apa yang membuatnya berubah pikiran? 

Elena tertawa kecil, "Yah, yah... itu karena SMA saya sangaaaat susah," katanya dengan nada memelas. "Terlalu banyak yang harus dipelajari, dan ditambah dengan orangtua saya yang menginginkan saya ingin masuk ke sekolah tertentu. Jadi ketika SMA saya selesai, saya benar-benar tidak bisa berpikir untuk belajar lagi," katanya mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. 

"Serius. Dan saya ingin melakukan sesuatu yang kreatif... hm... sesuatu yang tidak seperti universitas. Itulah sebabnya saya belajar di Istituto Marangoni. Lingkungannya berbeda, saya bisa pergi ke London dan tinggal di sana selama setahun. Itulah sebabnya, saat itu saya merasa karir dokter, yah... terlalu berat," katanya seraya menghela nafas.

Mengisap rokoknya, meluruskan badan, "Tapi saat ini saya sangat bahagia, tidak ada penyesalan," katanya dengan tegas. Lalu, "Tapi jika ada sesuatu yang ingin saya pelajari, saya tetap ingin mempelajari kedokteran. Because like fashion school is not study for real," tambahnya. 

Banyak orang akan protes dengan pernyataan tersebut, saya menyeletuk. 

"Hahaha, no," responnya sambil mengibas-ngibaskan tangan, "maksud saya, saya tidak mengambil kuliah jurnalistik, jadi Istituto Marangoni itu sebuah sekolah profesional. Tentu saja kita belajar, tapi berbeda dengan buku-buku kedokteran, buku-buku ekonomi. It’s like everything practical, so to me [memegang dadanya], it’s like different study," paparnya dengan penuh penekanan. 

Dan pastinya tidak semua alumni Istituto Marangoni akhirnya bisa memasukkan Vogue.it ke dalam profil LinkedIn mereka. 

Lagi-lagi Elena tertawa, dan kali ini agak tersipu-sipu. "Oh, itu karena saya magang di sana, tepat setelah selesai sekolah. I was actually lucky because it was the moment 'you are the right person, the right time, and the right place,'" ujarnya seraya tertawa kecil. 

Menurutnya, saat itu situs tersebut baru saja diluncurkan. Ketika itu masih ada banyak orang, dan sebagai anak magang, Elena bekerja sangat keras. Dan saat tim semakin meramping, Condé Nast memintanya untuk menjadi tim tetap. "Saat itu, hal seperti ini masih mungkin terjadi. Namun sekarang tidak mungkin dengan begitu banyak penutupan perusahaan editorial karena krisis media yang sedang terjadi," paparnya. 

Elena menuturkan bahwa dirinya tahu persis jika krisis ini tidak hanya terjadi di Italia, tapi juga di Indonesia. Sebagai seseorang yang bergerak di bidang digital, apakah menurutnya digital berperan dalam "membunuh" pelan-pelan media cetak?

"I am actually part of digital generation," jawabnya dengan tegas. (Jadi, bisakan mengira-ngira berapa umurnya?) "Saya merasa bahwa saya merupakan bagian dari generasi tersebut, jadi saya tidak setuju jika dibilang kami membunuh media cetak," ujarnya membela generasi milenial dan Z.