Elena Bara: 'Tidak Ada Seorangpun Bekerja di Vogue yang Datang dengan Heels'

Elena Bara: Tidak Ada Seorangpun Bekerja di Vogue yang Datang dengan Heels
WOOP.ID/YOGO TRIYOGO

Digital fashion editor ini bercerita tentang Vogue, frekuensi datang ke fashion show, dan topping pizza yang halal ala Italia.

"Dunia itu berubah, kita harus belajar menerimanya, dan kita harus menyesuaikan diri dengan berbagai cara. Ini merupakan perpaduan antara manusia, teknologi, dan banyak hal lain," bebernya. "Dan juga," tambahnya dengan cepat, "People, they don’t read the magazineThis is the point. Kita bisa menemukan apapun online, tidak perlu beli majalah lagi. It’s actually the audience that killing the magazineIt’s that people choosing the digital," ujarnya dengan emosional. 

Apakah dia bisa membayangkan Vogue tanpa versi majalah cetak?

"Siapa yang tahu," jawabnya dengan tegas. Dengan suara berat dan sedikit emosional, Elena menambahkan, "Memang sulit membayangkan Vogue tanpa kertas, tapi jika sesuatu berubah, mungkin nantinya kita akan memiliki tipe majalah yang berbeda. I don’t know, saya pikir generasi selanjutnya, anak-anak yang sekarang berusia lima tahun contohnya, kemungkinan besar mereka tidak akan punya majalah kertas, mereka tidak tahu tentang hal tersebut karena mereka terobsesi dengan digital, online. Jadi, saya pikir 20 tahun dari sekarang, dunia akan sangat berbeda dan tanpa majalah [cetak]. Mungkin kita bahkan tidak punya majalah digital, bahkan mungkin juga tidak dalam bentuk situs. I don’t know because as I said it’s difficult to say."

Media berubah, fashion juga berubah. Digital adalah salah satu pelaku utamanya. Digital memainkan peran penting dalam menentukan isi majalah. Digital memainkan peran krusial dalam mencari reporter—dan menentukan desainer dan model mana yang akan dan sedang naik daun. Digital mempengaruhi keluar masuk uang, keuntungan dan kerugian sebuah media—dan fashion. Perubahan yang paling mencolok yang disebabkan oleh digital?

"I think it make it more inclusive," jawabnya cepat dan tegas. "Sebelumnya mode merupakan sebuah dunia yang sangat eksklusif, sangat kecil, dan contohnya hanya segelintir orang yang bisa menghadiri fashion show. Tapi sekarang, digital mengubungkan banyak pihak dalam industri ini. Digital opens fashion to everybody. Sekarang kita bisa menonton fashion show secara streaming, bisa melihatnya langsung secara online. Di masa lalu, kita harus menunggu sampai majalahnya dicetak baru bisa melihat gambar-gambarnya. Sekarang, bisa bayangkan, dalam hitungan [menjentikkan jarinya], kamu tahu apa yang terjadi di Paris dan New York. So, I think like this is the best part of digital now," paparnya dengan ekspresi antusias. 

Dua tahun yang lalu, beberapa fashion blogger muda dan para penggemarnyamengkritik empat editor Vogue US dan mencap mereka "cemburu, penuh kebencian dan hipokrit", setelah para editor tersebut mengkritik para pemain baru (baca: para blogger) dan mencap kehadiran para blogger di Milan fashion week sebagai sesuatu yang "pathetic" dan "desperate." Para penjaga gerbang mode asal Vogue tersebut mengkritik para bloggers yang mengganti baju setiap jam, bahkan menganggap dengan "lalu lalang di luar pertunjukkan " para bloggers tersebut beresiko menyebabkan kecelakaan lalu lintas. (Maafkan jika terlalu banyak mengulang kata kritik, karena perisitiwa tersebut pada intinya adalah kritik.) 

"Yes, yes, I remember that," responnya seraya menganggukkan kepala dengan kencang. "Bagi saya ini adalah tentang perubahan," katanya dengan tegas. "You know, ada bloggers yang mereka suka, dan ada bloggers yang mereka tidak suka. Namun masalahnya, mereka eksis dan kita harus menerima bahwa kita melakukan bagian kita masing-masing dan berbeda-beda. Misalnya, Vogue mengeluarkan ide tertentu, blogger memiliki ide yang berbeda lagi.

"Para blogger ini bekerja keras untuk membangun citra mereka, personalitas mereka, hmm... bagi saya ini merupakan dua produk yang berbeda. Misalnya, jika kamu membuka Vogue, itu berarti kamu sedang mencari sesuatu. Dan jika kamu membuka akun Instagram blogger tersebut, kemungkinan besar kamu juga sedang mencari sesuatu yang berbeda lagi. Dan generasi lebih muda jaman sekarang sepertinya lebih tertarik dengan bloggers, karena mereka sangat aktif di media sosial—yang juga merupakan sesuatu yang baru. So, not even the website, it’s all about social media. So, that’s the main difference, I think social media is like the new thing that people are interested in," paparnya panjang lebar. 

Mark Zuckerberg tidak begitu aktif di media sosial; menurut Bloomberg, CEO Facebook tersebut memiliki sebuah tim yang beranggotakan 12 moderator yang mendedikasikan hidup mereka untuk menghapus komentar dan spam dari akun pribadinya. Ned SegalChief Financial Officer dari Twitter, memiliki akun di situs tersebut selama lebih dari enam tahun dan hanya mencuit kurang dari dua kali dalam sebulan. Dan Elena Bara... untuk seseorang yang berkutat di digitial, sepertinya juga tidak begitu aktif di media sosial. Saking takut salah orang, saya memastikan apakah @elanasilviab merupakan akun pribadinya? 

"You mean, me, me, me," tanya sambil menunjuk dirinya. Saya mengangguk.

"Iya, tapi saya tidak begitu akfit karena memang lebih suka berada di balik layar. But I mean I follow a lot people, bloggers, models, but my personality not really..." katanya. 

"Namun untuk menjadi seorang blogger," lanjutnya, "you have to be strong, to put your images in front of everybody. Ini merupakan sesuatu yang sulit. Semua orang bisa melakukannya. Dan bagi saya, itu merupakan sesuatu yang mustahil. Karena saya [terdiam sebentar, mencari kata-kata yang tepat], you know I like my privacy. Saya suka menggunakan media sosial, tapi hanya untuk berhubungan dengan teman, memposting foto-foto yang saya suka, tempat-tempat yang saya datangi, bukan karena ingin menciptakan sesuatu untuk orang lain. I don’t think much about my followers." 

img

Beberapa tahun belakangan, dunia mode adalah tentang menjadi berani, berbeda, dan tidak takut dengan perbedaan tersebut. Salah satu yang isu utama yang diangkat dan mengambil tempat di panggung fashion show adalah feminisme. Pertengahan tahun lalu, sebuah tren muncul: laki-laki dan perempuan memakai t-shirt yang memproklamirkan identitas fourth-wave feminism mereka. T-shirt dari Dior bertuliskan 'We Should All Be Feminist' (dikutip dari penulis Chimamanda Ngozi Adichie); t-shirt dari Deep End Club (conscious fashion label milik DJ Tennessee Thomas) dengan pernyataan 'IN SOLIDARITY'. Pada September 2014, Chanel memperagakan faux-manifestation catwalk show, dengan Cara Delevingne berlenggak-lenggok sambil memegang sebuah loudspeaker dan plakat yang bertuliskan 'Ladies First' dan 'Women’s Rights are Alright'. Masalahnya: banyak yang berpendapat bahwa fashion dan feminisme tidak bisa berjalan beriringan. Alasannya? Misalnya: isu etika memakai sebuah t-shirt yang mengklaim solidaritas sesama perempuan, tapi pada saat yang bersamaan t-shirt tersebut diproduksi massal dan melibatkan buruh perempuan yang digaji sangat, sangat rendah. Atau: cenderung misoginistik karena perempuan seakan-akan baru akan didengar saat t-shirt dengan isu tersebut dipakai oleh model yang kurus dan atraktif. Jadi, kalau boleh tahu, Elena apakah kamu seorang feminis?

Dia tersenyum kecil, menghela nafas panjang, mematikan rokoknya dengan menekan-nekan ujungnya ke dalam asbak, lalu tertawa. "This is tricky," katanya dengan nada merenung.