Entah Kenapa Selalu Ada (Orang) yang Membuat Kesal di Group ChatApa yang Harus Dilakukan?

Entah Kenapa Selalu Ada (Orang) yang Membuat Kesal di Group ChatApa yang Harus Dilakukan?
ISTOCK

Apakah kamu orangnya? *Kedip mata*

Mau bertanya, ada berapa groupchat di ponselmu? Eh, eh, eh (nada bingung)—respon in bisa dimengerti karena ada banyak dan kita sudah lupa bagaimana bisa tercebur ke dalamnya. Selanjutnya: ada berapa orang yang “ganggu banget” di dalamnya? Akan sangat dimengerti juga jika kamu meraih kalkulator untuk menghitungnya karena jumlahnya tidak terhingga.

Jangan salah sangka, group chat memang memiliki nilai-nilai plus. Membuat kita tahu gosip terbaru (siapa yang punya pacar, menikah, putus, dipecat, dll—ah, kegembiraan saat bergosip memang tidak bisa dibantah). Apalagi lagi, ya? Hmm... Oh, oh, tidak perlu melakukan percakapan lewat telepon (video conference misalnya), cukup mengetik dan semua anggota geng mendapatkan berita yang sama. Ini terutama adalah berkah untuk introvert.

Di sisi lain, ada satu hal yang sering membuat kita teriritasi, yakni keberlangsungan percakapan yang tidak penting dari salah satu teman (biasanya oknumnya sama) setiap hari. Ini membuat kita bertanya-tanya signifikansi percakapan virtual ini, dan rasanya ingin mengetik surat pengunduran secepatnya. One month notice? Terlalu lama. ASAP. 

“Kalau ditanya seberapa penting group chat, semua itu kembali kepada masing-masing individu yang terlihat atau menggunakan,” kata Cahyo Amiseso, M. Psi., seorang psikolog klinis dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPTUI). Ia melanjutkan, “mereka yang terlibat dalam koordinasi interaktif akan sangat terbantu untuk berkomunikasi secara massal melalui sebuah group chat. Mereka bisa jadi merasa keberadaan group chat untuk kebutuhan tadi, dan hal itu menjadi penting. Namun, adapun mereka yang tidak banyak terlibat dalam koordinasi aktif, lebih menyukai tatap muka, menghindari dan menganggap group chat itu kurang penting. Saya pribadi melihat group chat sebagai pengganti meeting. Penting bagi saya karena sebuah group chat bisa menjadi media tukar pikiran dan diskusi tanpa perlu hadir dalam suatu waktu bersamaan.”

Namanya saja grup, di dalamnya ada banyak orang (bahkan seringkali tidak kenal, dengan sifat dan perilaku yang berbeda-beda). Namun, hal ini seringkali tidak dimengerti semua anggota. Ada saja orang-orang yang membuat kesal, naik pitam, bahkan membuat kita keluar dari grup tersebut karena topik yang diangkatnya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan visi, misi, dan nama grup—tujuan awal pembuatan grup tersebut. Mulanya adalah grup untuk memberikan dukungan terhadap ibu-ibu yang kesulitan hamil, tiba-tiba seringkali membicarakan tentang gosip si A yang melakukan ini, itu. Apa, sih?!

“Kesal, kecewa, merupakan reaksi emosi atas tak terjawabnya ekspektasi. Membuat group chat menjadi wadah yang menyenangkan berarti menyamakan persepsi dan ekspektasi. Semua harus tahu dan paham apa alasan di balik dibuatnya group chat yang melibatkan mereka. Tujuannya supaya ekspektasi sesuai dengan kondisi dan alasan dibuatnya grup. Jika tetap ada yang kecewa dan kesal (kembali kepada poin yang tadi), berarti masih ada hal-hal yang tak sesuai ekspektasi dan membuatnya merasa tak nyaman. Hal ini pun manusiawi, karena pada dasarnya manusia itu unik,” ujarnya.

Cara tercepat adalah meninggalkan grup tersebut. Alhasil, akan pengumuman: X has left this group. Ouch. Ada yang mengerti, ada juga anggota yang akan menjadi sensi dan malah menjadi bahan gosip baru. Buntut-buntutnya kita mengurungkan niat karena takut menyinggung perasaan seseorang/ atau lebih. 

“Begini, pamit atau tidak, menurut saya dikembalikan kepada individunya. Bagi saya pribadi, group chat adalah (semacam) pengganti pertemuan. Dalam sebuah pertemuaan, pasti ada sapaan pembuka dan penutup. Sehingga meskipun sifatnya tanpa tatap muka, (menurut saya) ada baiknya berpamitan. Jika sempat mengetik, tuliskan apa alasan kamu meninggalkan grup, supaya orang lain punya satu perspektif yang sejalan, setidaknya terkait alasan keluar dari grup,” jawab Cahyo.

Ah, berpamitan? Rasanya jarang ada orang yang terang-terangan 'pamit' meninggalkan grup. Biasanya, yang sering dilakukan adalah pasif, sama sekali tidak menanggapi percakapan di dalam grup tersebut apa pun temanya. (Ini pun biasanya ada 'diskusi sumbang' di belakangnya.)

“Seperti yang sudah dijelaskan jika terlanjur reaktif dan left grup secara mendadak, maka kamu sebaiknya mempersiapkan penjelasan kepada anggota yang (mungkin saja) menanyakan alasan kenapa kamu keluar dari grup,” ujarnya. Jadi, harus memberikan alasan, ya? “Yap, apalagi jika grup dibuat untuk tujuan spesifik dan jelas. Biasanya 'kehabisan' sering dijadikan alasan," saran Cahyo. "Seperti, kehabisan memori ponsel dan (akhirnya) terpaksa keluar dari grup, atau kehabisan manfaat (yaitu grup yang sudah tidak berjalan),” sambungnya.

Aha! Intinya, sebaiknya memberikan alasan tanpa menyakiti orang lain dan mengurangi kontroversi negatif. Namun, ini mudah jika kita hanyalah 'anggota biasa'. Bagaimana kalau kita adalah pencetus grup itu, memiliki otoritas a.k.a. admin?

Gini ya, seorang admin (dalam group chat) memiliki kuasa untuk memasukkan atau mengeluarkan seseorang dari grup. Admin juga biasanya inisiator dibuatnya grup. Artinya, admin secara tak langsung adalah pengatur arus keluar masuknya anggota sekaligus ‘pemilik’ grup. Saat ada anggota yang dirasakan mengganggu bagi mayoritas penghuni grup (mengingat grup adalah kumpulan manusia), ada baiknya menghindari rasa kecewa dengan cara menegur dan memberitahukan hal apa yang ia lakukan dan membuat orang lain tidak nyaman,” terangnya.

Namun, “sampaikan dengan cara yang baik! Ulas perilakunya tanpa menyudutkan. Jelaskan juga kenapa chat tipikal darinya membuat yang lain merasa tidak nyaman; bukannya tidak boleh kirim chat sama sekali tapi sebutkan secara spesifik chat yang mengganggu tersebut. Jadi, teguran pun bersifat objektif dan tidak menyerang personal, karena kita tak pernah tahu alasan dia sharing chat yang ia kirimkan,” lanjut Cahyo.

Cahyo menjelaskan bahwa dalam group chat tidak ada peraturan tertulis ataupun tidak tertulis tentang apa yang harus dijalankan oleh setiap orang. “Jika memang ada peraturan biasanya harus disepakati bersama agar bersifat mengikat bagi para yang bersepakat. Tapi [biasanya] tidak ada peraturan khusus terkait group chat,” ujar Cahyo.

Menurutnya juga, group chat pada dasarnya adalah kumpulan manusia dengan ponselnya masing-masing. “Sama seperti di warung kopi, peraturan tidak ada. Orang bebas duduk dan minum kopi, tidak ada aturan berapa banyak kita boleh bercakap-cakap atau membeli kopi. Namun, etika tetap ada. Bagaimana cara yang baik dan sopan (walaupun tidak tertulis). Yang kita tahu, jika ada peraturan pasti ada sanksi, begitupula dengan etika yang akan berbuah cibiran. Kembali lagi ke group chat, jika memang sudah sangat mengganggu ada baiknya memberikan sanksi,” katanya.