Heran: Dia Kok Bisa Beli Ini-Itu dan Liburan Terus, ya? Sementara Saya... Meh

Heran: Dia Kok Bisa Beli Ini-Itu dan Liburan Terus, ya? Sementara Saya... Meh
ISTOCK

Menjadi penghuni Instagram-land bisa membuatmu merasakan ini. 

Satu kali scroll di Instagram bisa memicu berbagai emosi: Kenapa semua orang sepertinya bisa membeli Prada Classic Nylon Bag kecuali aku? Kok orang seumuran aku dengan penghasilan yang tidak jauh berbeda bisa jalan-jalan sekali tiga bulan ke negeri yang nilai mata uangnya jauh dari Rupiah? Bagaimana caranya mereka mampu membeli produk kosmetik setiap bulan yang harga dan namanya susah dieja? 

Semakin banyak yang kita miliki, rasanya semakin banyak yang kurang; sebuah perasaan yang "dikampanyekan" secara agresif oleh media sosial. Namun, sebenarnya mengapa sepertinya orang yang kita followmenilik dari ratusan foto yang diposting—terlihat lebih dari mampu untuk datang ke berbagai festival musik, jalan-jalan ke negara eksotis, dan membeli pakaian tren terbaru sementara kita hanya punya dana untuk satu di antara tiga hal tersebut?

"Visual can be deceiving so don't worry too much about it," kata Farah Dini Novita, ahli keuangan sekaligus co-founder/Vice-CEO Jouska Financial.

Ada sebuah istilah ekonomi untuk perbandingan berdasarkan pengeluaran seperti ini: conspicuous consumption. Pertama kali diciptakan oleh ahli ekonomi Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of Leisure Class (1899); inti ide ini adalah kita membeli sesuatu dalam rangka untuk memperlihatkan status finansial kita kepada orang lain. 

"Sebenarnya hal ini sudah banyak dilakukan orang, dan dari dulu. Hanya saja semakin marak ketika era social media mulai booming, terutama di platform yang lebih banyak menampilkan visual," katanya. 

Satu yang pasti bahwa, foto-foto di hotel bintang tujuh, tas Gucci terbaru, ponsel dengan layar terbuat dari berlian yang terpampang di media sosial itu merupakan hasil "berkilau" dari keputusan yang tidak terlihat oleh pihak luar. Kita tidak tahu konsekuensi apa saja yang ditanggung orang tersebut saat memutuskan membeli sebuah tas Birkin. Oleh karena itu, menurut Farah, saat melihat postingan di media sosial, cerna dengan beberapa faktor ini:

  • Apakah orang tersebut lagi di-endorse brand? Jika iya, maka brand tersebutlah yang membiayai apapun kegiatan yang dilakukan di foto tersebut. "It’s a part of their job."
  • Apakah latar belakang orang tersebut? Apa pekerjannya? Jika memang pekerjaannya mengharuskan dia untuk selalu bepergian ke luar kota atau luar negeri, bisa jadi itu adalah biaya dari kantor/bisnisnya. 
  • Bagaimana background keluarga orang tersebut? Pekerjaan pasangannya? Background orangtuanya? "Karena bisa jadi yang dipamerkan adalah hasil funding dari orang lain."

Namun, bagaimana jika orang-orang tersebut bukan: blogger/selebriti yang disponsori oleh merek tertentu, bos dari perusahaan ternama, atau berasal dari keluarga kaya 11 turunan? "Ada beberapa kemungkinan," kata Farah. "Bisa jadi a) orang tersebut memang memiliki budget untuk semua kegiatan yang ditunjukkannya di media sosial di luar tabungan dan investasinya; atau b) orang tersebut lebih memilih menikmati semua penghasilannya, tetapi bisa jadi tabungannya lebih sedikit atau tidak ada sama sekali dibandingkan dengan kamu." 

Menilik dari dua skenario di atas, sepertinya berkaitan erat dengan sistem keuangan pribadi. Akan tetapi, jika selama ini hanya mampu membiayai liburan sekali setahun, apakah memang sistem keuangan kita yang salah? "Di dalam istilah ekonomi, ada yang namanya opportunity cost. Yaitu jika kamu memilih opsi A, maka harus merelakan keuntungan/kesenangan yang dapatkan dari opsi B. Yah, mungkin saja bisa mendapatkan semuanya, tapi mungkin tidak dalam waktu yang bersamaan. Kecuali, kamu memiliki banyak uang sehingga tidak perlu mengorbankan rencana lain," kata Farah. 

Contohnya adalah, demi liburan ke luar negeri lebih dari satu kali dalam setahun, sepasang suami istri tidak berinvestasi untuk mempersiapkan dana pendidikan kuliah anaknya kelak. Atau, demi membeli mobil keluaran terbaru, sebuah keluarga tidak mempunya dana cadangan sama sekali jika terjadi suatu resiko terhadap keluarga. Skenario lain, demi ke Bali dan menyenangkan seluruh keluarga, seorang ayah merelakan tidak membeli asuransi kesehatan untuk mereka. 

Atau, malah mungkin tahun ini kita memilih hanya liburan di tempat terdekat, demi menabung agar 1-2 tahun lagi bisa langsung melakukan Euro trip ke lebih banyak tempat .

"Tidak ada yang salah dengan liburan atau melakukan any kind of purchase selama itu masih sesuai dengan kebutuhanmu dan bukan untuk tujuan agar orang lain terpesona dengan feed social media yang dimiliki," ujar Farah.

Sebuah rencana keuangan akan memastikan kita akan mendapatkan apa yang diimpikan, jika dananya dipersiapkan dengan baik. Dan ketika dananya sudah siap, dengan tidak perlu banyak berpikir lagi bisa langsung dikeluarkan.

"Kita bisa saja memaksakan diri liburan sekarang, tapi setelahnya pusing karena harus membayar tagihan kartu kredit. Lebih baik sabar terlebih dahulu, tetapi di kemudian hari kamu bisa menikmati apa yang direncanakan tanpa ada perasaan bersalah sama sekali," tutur Farah. 

Dalam realita mengaplikasikan pola pikir ini bukan sesuatu yang mudah. Terlebih jika setiap hari Instagram yang kita lihat memiliki ciri-ciri yang sama: orang yang sepertinya melancong ke negeri Paman apalah setiap triwulan, belanja tas tercanggih setiap dua bulan, dan mengganti dekorasi rumah setiap kali tren berbau Skandinavia baru muncul. Plus, mereka adalah teman-teman yang kita tahu penghasilannya tidak jauh berbeda dengan pendapatan kita. "Kemungkinan terbaik adalah orang tersebut memang sudah merencanakan jauh-jauh hari untuk liburan ataupun membeli barang-barang yang diinginkan sehingga dia sudah menabung secara rutin untuk melakukan pengeluaran tersebut.

Kemungkinan terburuk, orang tersebut sebenarnya lebih besar pasak daripada tiang, hanya saja lebih memilih untuk terlihat mampu daripada mengatasi masalah keuangannya," Farah berkata.