Kae Pratiwi: Yang Selalu Kupikirkan Saat Itu Hanya Kurus, Cantik, Kurus, Cantik

Kae Pratiwi: Yang Selalu Kupikirkan Saat Itu Hanya Kurus, Cantik, Kurus, Cantik
WOOP.ID

Cerita yang berawal dari komentar dan celetukan polos. 

Ini adalah cerita tentang bagaimana celetukan-celetukan yang ringan dan sekilas "lucu" dan polos bisa secara drastis mengubah hidup seseorang. Ini adalah sebuah cerita tentang seorang anak kecil memutuskan untuk melakukan sesuatu yang "tidak masuk akal" untuk mendapatkan “pengakuan". Ini adalah sebuah cerita tentang kesedihan, pencarian jati diri, perjuangan, dan berdamai dengan kenyataan. Ini bukan cerita tentang selebriti atau figur terkenal—ini adalah cerita tentang seorang bernama Kae Pratiwi dan eating disorder.

As far as I can remember, aku tuh, selalu dikatain gendut sih, bukan gemuk,” Kae mengawali ceritanya saat kami bertemu di sebuah pusat berbelanjaan di daerah Jakarta Selatan. Sebelum menyinggung pengalaman hidupnya itu, saya terlebih dahulu bertanya tentang latar belakang, pekerjaan, tentang Jakarta dan macet yang nggak ada matinya, kayu, hobinya (blogging, menulis, membuat prakarya)—intinya apapun to break the ice. Pasalnya, pertama kali berjabatan tangan dan saling memperkenalkan diri, terkesan bahwa Kae bukanlah pribadi yang bisa secara blak-blakan bercerita tentang pengalaman yang terbilang kelam pada orang asing, apalagi terhadap wartawan. Lima belas menit—kurang lebih—saya habiskan untuk menyamankan suasana. Lalu akhirnya, isu utama terucapkan: eating disorder yang pernah dialaminya. Dari situs nhs.uk, eating disorders dijelaskan sebagai:ditandai dengan perilaku yang abnormal terhadap makanan yang menyebabkan seseorang mengganti kebiasaan makan dan sikap mereka. Seseorang dengan eating disorder bisa memiliki fokus yang berlebihan terhadap berat dan bentuk badan, ini menjadi penyebab mereka memiliki pilihan yang tidak sehat tentang makanan dan merusak kesehatan mereka. 

Menurut Kae semua berawal dari komentar-komentar, celetukan seperti ‘Eh, kamu gendut, jangan makan banyak-banyak biar kurusan’ atau ‘Itu kamu kayak adek kamu dong, kurus apa segala’ saat masih kecil dan awalnya tidak berarti apa-apa. “Tapi begitu udah mulai gedean dikit, SD, kelas 4 ke atas, aku mulai ngerasa kok kata gendut ini punya makna yang kurang baik dan jahat. Aku sering banget dibanding-bandingin sama adekku, sama sepupuku yang lain,” lanjut perempuan yang berprofesi sebagai direktur dari sebuah pabrik yang bergerak di bidang perkayuan. Menurut Kae, tidak banyak yang bisa dilakukannya saat itu, “Aku sih,” ujarnya dengan suara terpatah-patah, “nggak bisa bilang sama siapa-siapa, karena Mamaku sendiri juga begitu. Tapi aku sih, nggak nyalahin dia, karena itu mungkin stereotype yang beliau tahu, bahwa kurus itu cantik, gendut yah, jelek. Mau cerita sama adekku, aku sebel sama dia dan akhirnya pelampiasannya lebih ke dia, karena 'kan mikirnya ‘Kenapa sih, lebih kurus dari gue?' Jadi, I tried to find ways to please people. Orang maunya apa, aku turutin supaya demi ditemenin, demi nggak diomongin,” bebernya dengan lugas.


Waktu berlalu, dari anak SD menjadi siswa putih-biru. Jika ada yang berharap bahwa Kae melupakan dan move on dari komentar-komentar tersebut, sebaliknya SMP malah menjadi periode krusial. “Selama itu aku masih nyimpen dan nyimpen, dan saat kelas 1 SMP, saat aku masuk sekolah baru dan ketemu teman-teman baru, hal tersebut masih aja disebut-sebut, dinyinyirin. Memang bisa dibilang aku paling bongsor saat itu," kata perempuan yang sekarang berusia awal 30an ini. Seberapa bongsor, tanya saya? Kae tidak tahu persis, yang pasti pipinya chubby (selalu dicubit dan dibilang ngegemesin, lucu)ukurannya baju bukan S atau M, dan "Kalau yang lain angka 1,1,1, aku nol sendiri bentuknya," tukasnya sambil membenarkan posisi kacamatanya. Sementara sang adik perempuan, lebih tinggi dan lebih langsing. "Bertahun-tahun itu aku nangis sendirian, saat nggak ada orang di rumah dan saat lapar banget. Nggak ada yang diajak ngomong karena kayaknya semua orang di sekitarku nggak ada yang ngalamin hal-hal begini, dan selalu berpikir diri jelek karena nggak kurus. Belajar setengah mati pun nggak penting kalau nggak kurus,” ujarnya dengan nada sedikit tinggi.

Berbekal kesimpulan bahwa kurus adalah segalanya, Kae SMP memutuskan untuk melakukan diet. Bukan diet Mayo, Mediterranian, atau nama keren lainnya, melainkan, “Yang aku tahu pada saat itu, diet itu adalah nggak makan. Selama pertengahan SMP kelas 1 itu, aku diet, nggak makan ya, bener-bener nggak makan,” tegasnya. Begitu bulat tekad Kae untuk menjadi sama, "normal" dengan teman seusianya dan ingin mendengar komentar lain selain ‘Pake bajunya gede banget, size-nya apa, sih’, dia mengadaptasi pola makan seperti ini: tidak makan, hanya minum sepanjang hari, kecuali saat makan malam di rumah bersama keluarga (karena Kae tidak ingin keluarganya tahu apa yang sedang dia lakukan)—itupun sesedikit mungkin. "Aku nggak mau orang lain tahu bahwa aku bisa kurus itu karena nggak makan; aku pengen mereka mengiranya bahwa aku kurus itu karena natural. Padahal, sebenarnya sengsara banget," ujarnya agak emosi. Hal ini berlangsung selama berbulan-bulan, tanpa seorangpun tahu. 

Penasaran, saya bertanya apakah metode olahraga tidak pernah tersirat di benaknya? "Pikiran dan fokusku saat itu adalah harus kurus. Kalau olahraga mau berapa lama?" tegasnya dengan serius. "Pokoknya harus kurus, dan cara paling cepat adalah dengan nggak makan. Karena 'kan orang-orang juga bilang begitu: 'makannya jangan banyak-banyak'. Jadi, aku mikirnya 'ya udah, mending nggak usah makan sekalian, dong?'" 

Dari penuturannya, terdengar sangat sederhana. Namun, Kae menuturkan bahwa proses itu sebuah penderitaan, terlebih karena pada dasarnya dirinya suka makan. "Itulah masalahnya, aku suka makan! Jadi, ketika nggak bisa makan, rasanya sangat sulit," serunya dengan nada kesal. Terlebih pada tahap awal, saat perut sakit karena tidak ada makanan masuk ke dalam perut, tapi demi kurus semuanya ditahan hingga sampai ke titik mati rasa. 

Fokus 100% ditambah dengan tekad 1002% itu akhirnya berbuah: dalam waktu beberapa bulan, 10 kilo berkurang dari badannya dan bisa memakai baju ukuran S—sampai-sampai tulang pipi pun terlihat tajam. Apa rasanya? "Seneng banget. AKHIRNYA," katanya penuh penekanan. "Senang banget karena itu seperti personal achievement 'kan? Dari situ mulailah keluar pujian-pujian, dari teman, dari sekolah, 'eh, kurusan ya?' saat aku baju yang fitted gitu. Mulailah muncul komentar, 'ih, langsing ya', 'ih, cakep ya'. Begitu juga dari keluargaku, dari saudaraku, dari sepupuku, 'eh kurusan, ya?' I was… really happy saat mendengar itu," bebernya. Ironisnya, tidak pernah ada pertanyaan tentang bagaimana penurunan badan itu bisa terjadi. Semua beranggapan bahwa ini merupakan bagian dari proses pertumbuhan seorang remaja. Pubertas. Hormon pertumbuhan. 

Meski senang luar biasa dan bangga, Kae mengaku menderita karena tetap dibutuhkan usaha untuk menjaga bentuk badan seperti itu. Meski tidak seekstrim awal, karena dia menambahkan sedikit porsi makanan ke piringnya. Alhasil, selama SMP Kae menjadi sangat kurus. "Pokoknya kalau bisa skip makan, yah skip makan. Dan karena sudah mulai ditambah olahraga, aku bisa makan sedikitlah. Pikiranku saat itu masih what matters the most yah fisik, yah harus kurus. Yang selalu kupikirkan: kurus, cantik, kurus, cantik, kurus, tinggi, cantik, which I was none of them. Jadi, mulailah dengan pola makan itu, supaya nggak dikata-katain lagi. Karena sebenarnya it really sangat mengganggu mentalku—omongan bahwa kurus itu cantik, dan kalau gendut itu jelek," bebernya sambil memainkan mata kalung putihnya. 

Saat saya bilang bahwa sejujurnya saya agak ngeri mendengar isi pemikirannya, Kae terdiam sesaat, lalu berkata, "Setelah dewasa aku juga mikir begitu. Tapi yah aku pikir itu sih, karena dari kecil digituin, jadi secara nggak langsung membentuk mental juga jadinya. Konsekuensi nggak makan segala, aku nggak mikirin. Pokoknya yang penting hasil akhirnyalah, si kurus ini. Musuh besarku. Si kurus ini." 


Putih-biru kemudian menjadi putih-abu-abu. Apakah bangku SMA lebih kejam? "Saat itu aku baru ngeliat bahwa ada banyak jenis orang dan it's ok. It's ok just to be me, nggak harus ngikutin kata orang lain. Jadinya aku lebih santai," akunya sambil tersenyum. "Mungkin," lanjutnya setelah berhenti sebentar, "karena lingkunganya berbeda, lebih luas, dan wawasannya pun luas, tidak itu-itu aja," ujarnya, mencoba menelaah titik balik hidupnya itu. "Dari situ aku mulai menghilangkan kebiasaan itu. Dan selama perjalanan itu, sampai kuliah, sampai hari ini, aku disadarkan banget, betapa bodohnya aku pada saat itu. Karena apa, ya, 'kok bisa-bisanya' gitu? Padahal 'kan kita diajari untuk melihat what's inside not outside. Kalau memang kenyataannya aku begini, yah mau gimana lagi? Just embrace it."

Terdengar kasual, tapi diakui oleh Kae bahwa itu tetap menjadi salah pengalaman paling menyakitkan dalam hidupnya. "Sampai sekarang, bukan karena selalu balik ke masa lalu, tapi saat kepikiran, rasa sakitnya masih ada. Mungkin nggak akan pernah hilang." "Dan," lanjutnya dengan nada penekanan, "kalau ditanya apakah aku sekarang percaya diri atau nggak, yes, tapi ditanya apa masih suka minder atau nggak? Of course, karena itu adalah hal yang normal. Terkadang  masih suka terpengaruh, misalnya kadang kalau ada yang bilang, 'Eh lo gemukan, ya?' Terus aku balas dengan, 'Oh masak, sih?' dan langsung ngaca, hahaha," tertawa lepas untuk pertama kali. "It never goes away, tapi di satu sisi aku belajar menerima diri apa adanya dan itu adalah sesuatu yang apa ya, continuously. Jadi aku nggak akan pernah stop untuk belajar gimana cara mengontrol emosi, pikiran. Tapi yang pasti kalau sekarang disuruh lagi kayaknya nggak bisa, sih. Sekarang aja kalau nggak makan pagi aja pengen pingsan! Hahaha," ujarnya, kali ini tawa lebih mudah mengalir. 

Satu hal yang membuat saya masih tergelitik tentang ketidaktahuan orangtua, khususnya ibunya (ayahnya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu) dan saudara-saudaranya tentang hal ini sampai sekarang. Apa yang membuatnya mau bercerita sekarang? Tidak khawatir dengan respon sang ibu saat mengetahui hal ini setelah sekian lama, dari media bukan dari anaknya sendiri? "Nggak papa. Aku malah prefer beliau baca, sih," ujarnya tanpa ragu. "Jadi apa yah, karena aku memang pendiam, jadi Mamaku tahu bahwa aku orangnya lebih suka nyimpen, jadi kalau misalnya dia baca nggak papa, sih. Menurutku lebih baik dia bisa baca daripada aku yang ngomong. Karena kalau aku yang ngomong susah," Kae terdiam sejenak. "Apa yah, there's… apa yah, ada kerengganganlah di sisi itu. Karena sakit hati yah iya, tapi di sisi lain aku juga mikir yah mungkin dia semasa mudanya digituin, sekitarnya juga begitu, orang mikir gendut itu jelek, kurus itu cantik," ujarnya berusaha menelaah masa lalu. Satu yang pasti, setelah dewasa, setiap kali sang Ibu mengomentari sosok fisik seseorang, misalnya saat menonton televisi, Kae berusaha untuk mengingatkan bahwa celetukan tersebut bisa menyakiti orang lain. 

Mendengar penjelasannya itu, saya kemudian bertanya jika bisa memutarbalikkan waktu, apa yang ingin diubahnya dari masa lalu? Ukuran badan? "Begini ajalah. Yang ingin diubah adalah aku akan speak up, stand up dan bilangbahwa aku nggak suka dikatain gendut!" ujarnya berapi-api.

Terkejut dengan emosinya, saya pun mengajukan pertanyaan terakhir apa bedanya gendut dan gemuk, dan lebih memilih yang mana? "Gemuk, karena dari dulu aku sering dikatain gendut," jawabnya dengan cepat. "Jadi, pernah tuh, ada satu masa aku membandingkan gendut dan gemuk, mana yang membuat lebih sakit hati. Kalau menurutku gendut itu bikin sakit hati, karena kalau gemuk 'kan sepertinya lebih berisi, ya. Kalau gendut tuh, kayak udah keluar kemana-mana," jelasnya sambil memainkan dan melebarkan tangannya ke area pinggung.