Kamu Bilang 'Rahim Hangat' Saat Dia Membuka BajuApakah Itu Pelecehan Seksual?

Kamu Bilang Rahim Hangat Saat Dia Membuka BajuApakah Itu Pelecehan Seksual?
ISTOCK

Saatnya introspeksi diri.

Woop mengaku: saat Jonatan Christie menang di Asian Games kemarin, kami di markas besar Woop juga menjadi dari sekian banyak perempuan yang histeris ketika Jojo (boleh 'kan ya, sok akrab?) membuka bajunya di tengah lapangan bulu tangkis. 

Seperti biasa, tidak membutuhkan waktu satu jam untuk media sosial dibanjiri dengan komentar-komentar yang "panas", seperti sesuatu yang ada hubungannya dengan "rahim hangat" atau "ovarium meledak", dst. Dan kamu pecinta media sosial, mungkin ingat saat itu ada yang berpendapat komentar-komentar itu a) hanya untuk lucu-lucuan, atau b) tidak ada maksud apa pun hanya menghargai sebuah maha karya, dan c) melecehkan laki-laki. Apakah kita, perempuan, benar-benar sedang melecehkan lawan jenis kita?

Sri Juwita Kusumawardhani., M.Psi., Psikolog., seorang psikolog klinis dewasa, dari LPTUI dan TigaGenerasi yang juga pendiri dari Cinta Setara, mengatakan: “Menurut Poerwandari (2008), sexual harassment atau pelecehan seksual terjadi ketika seseorang direduksi kemanusiaannya yang untuk menjadi sekadar makhluk atau objek sosial. Contohnya seperti, ketika bentuk tubuhnya dikomentari, ketika orang mengajak melakukan tindakan seksual tanpa dikehendaki oleh penyintas, baik ajakan implisit atau eksplisit. Jika melihat konteks tersebut, tampaknya kita sudah dapat mengategorikan kasus Jonatan Christie dalam pelecehan seksual."

Woaaah. Jadi, bukan candaan, lelucon, bentuk sayang? Apa efeknya bagi manusia yang hanya dijadikan objek?

“Nah! Rasanya kita perlu belajar bahwa menjadikan sesama manusia sebagai objek seksual tidak tergolong sebagai candaan," tegas Wita. "Penyintas pelecehan seksual biasanya merasa tidak berdaya setelah memperoleh pelecehan, meskipun tentunya setiap individu memiliki ketahanan psikologis yang berbeda-beda, tapi alangkah baiknya kita belajar untuk bisa lebih berempati kepada sesama manusia,” ujarnya. “Alih-alih menganggap ‘toh dia tidak kenapa-kenapa’ dan membenarkan perilaku kita, coba kita pikirkan, jika kita tidak mau diperlakukan seperti itu, mengapa kita memperlakukan orang lain begitu? Jika kita ingin anak-anak dan generasi muda bangsa IndonesIa tumbuh menjadi pribadi yang dapat menghormati orang lain, maka tunjukanlah sikap hormat tersebut,” lanjutnya.

Kalimat ‘toh dia tidak kenapa-kenapa’  atau 'kayaknya dia senang-senang aja' seolah menjadi “jimat” yang bisa kapan saja digunakan saat melontarkan komentar berbau fisik yang tidak ada hubungannya dengan prestasi atau kemanusiaan seseorang. Ironisnya, jika skenario dibalikkan, sebuah saja Jojo tadi berjenis kelamin perempuan, maka kaum hawa akan geram dan menganggapnya sebagai pelecehan seksual.

“Sebenarnya, tidak ada bedanya yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Sama-sama direndahkan atau diredukasi kemanusiaannya dan menanggapnya sebagai objek seksual,” komentar Wita.

Akan tetapi lagi-lagi nih, sebut saja memang komentar tersebut niatnya hanya sekadar lelucon, ekspresi rasa kagum (atas sesuatu yang kita tidak punya)—haruskah kita berhenti atau boleh dilanjutkan?

“Berhenti jika memang kita adalah manusia yang beradab," tegas Wita. "Kita tidak pernah mengetahui dampak psikologis yang penyintas rasakan. Bisa saja terlihat tidak ada apa-apa tapi ternyata ia struggling untuk melewati kondisi tersebut. Ditambah lagi, ini situasi yang terjadi di dunia virtual. Seringkali kita merasa seenaknya mengucapkan semua isi kepala, karena berpikir tidak bertemu langsung dengan orangnya. Coba bayangkan, apakah jika orangnya ada di depanmu langsung, kamu masih merasa kata-kata ini pantas untuk diucapkan padanya? Jika tidak, artinya ini pun tidak pantas untuk dikirim secara virtual,” paparnya.

Untuk mengekspresikan rasa kagum kepada seseorang, alangkah baiknya jika, “kita dapat mengapresiasi usaha dan kerja kerasnya sebagai salah satu atlet Indonesia (Jonatan Christie misalnya) yang berhasil memberikan medali emas bagi Indonesia. Belajarlah untuk fokus pada sikap kerja dan prestasinya, dibandingkan dengan penampilannya,” saran Wita.

Susah, ya? Uh-uh. Kata kuncinya adalah belajar, untuk menahan diri baik di dunia virtual dan dunia nyata. 

Selanjutnya: alih-alih terlalu heboh di media sosial, tindakan sederhana ini terkadang lebih berdampak besar.