Kania Anggiani: Cinta Suami Menolong Saya Survive dari Postnatal Depression

Work
WOOP.ID

Kania Anggiani, pemilik e-commerce Chic & Darling, bercerita tentang postnatal depression saat menjadi ibu pertama kali dan perjuangan untuk bangkit.

Teman saya iri saat tahu bahwa saya akan bertemu dengan Kania Anggiani, founder and creative director Chic & Darling, sebuah e-commerce yang menjual homegoods dan daily essentials sejak 2013. Terlebih, ternyata Kania atau yang dipanggil Keke oleh orang-orang terdekatnya terbilang populer di Instagram; yah... karena brand karyanya itu dan kedua anaknya, Lulla (4,5 tahun) dan Galan (1 tahun) yang sering menjadi subjek utama Instagram sang ibu, sedang berpose lucu dan menggemaskan.

Saat bertemu di rumahnya, Kania menyapa dengan sangat ramah dan senyum yang lebar. Saat diminta untuk diambil fotonya terlebih dahulu, “Aduh, aku lagi gembel begini,” ujarnya sambil menunjuk terusan panjang bergaris-garis horizontal hitam putih yang sedang dikenakannya. Menurutnya itu adalah sebuah daster, sedangkan saya bilang itu disebut dress. Tak begitu yakin dengan pilihannya, Kania akhirnya dengan manis meminta untuk dibantu memilih baju untuk dipakai saat difoto. Terpilihlah atasan light brown plus ripped jeans lengkap dengan lipstik merah. Chic and darling indeed.

“Kehidupan rumah tanggaku berat, sama seperti kebanyakan rumah tangga yang lain. But I embrace the chaos and the mess. Glorious mess, it is a beautiful mess. And as chaotic and messy as it is, this is my life now,” ujarnya tersenyum dengan mimik melankolis.

Duduk di teras mini rumahnya bercat dan penuh dengan tumbuhan dan pot-pot, waktu seakan sedang berputar balik ke tahun 2012 (Kania sempat ragu tahun berapa, “I’m bad at numbers,” kilahnya tertawa kecil), saat melahirkan putri pertamanya, Lulla. Bulan pertama, dia merasa senang karena akhirnya punya “mainan baru”.  Meski lelah karena saat itu Kania dan suaminya memutuskan untuk tidak memiliki asisten rumah tangga atau nanny. “Itu,” jelasnya dengan cepat, “adalah pilihanku untuk tidak memiliki bantuan. Aku dan suami sama-sama setuju untuk mengurus Lulla sendiri. Aku setuju untuk tinggal di rumah dan balik melakukan 9-5 thing lagi setelah anak kita berusia 2 tahun.” Menurut Kania, dia ingin memberikan ASI eksklusif dan jika harus mengantor setiap hari, “Susah kan memberikan ASI eksklusif?” Menurutnya lagi, usia dua tahun atau balita adalah golden years—periode anak sangat membutuhkan ibunya dan nggak sehat kalau dioper-oper. Singkat cerita, keduanya akhirnya setuju dan, ”Yah, kita pikir dua tahun waktu yang pendeklah,” tukasnya sambil mengibaskan telapak tangannya, meremehkan angka dua itu.

Namun, sejarah berkata lain. Suatu pagi, sekitar jam 11-an, saat sedang mandi, tiba-tiba Kania menangis dan gemetaran. “Aku tiba-tiba menyadari bahwa aku unhappy. Aku takut banget bahwa aku nggak bisa balik ke Keke yang dulu lagi— I am the old cheery girl, yang produktif, yang energetic, yang I like to do this and that, aku kan orangnya senang melakukan banyak hal. Aku takut banget nggak bisa balik ke sana lagi,” paparnya dengan suara lirih.

Berbulan-bulan Kania merasakan ini: setiap bangun tidur tidak punya semangat, merasa seperti robot, setiap hari hanya diisi dengan bangun tidur, mandikan anak, kasih anak makan, tidak sempat melakukan sesuatu untuk diri sendiri, bahkan untuk mandi saja sulit. Kania merasakan ketidakadilan. “Suamiku cuma dapat cuti dua minggu, sehabis itu dia backto his normal life, bisa go to work sedangkan waktu itu aku stuck at home. Aku mulai merasa nggak fair, dia bisa dapat break from the household, from the baby and do his own thing, aku nggak bisa.”

Waktu berjalan dan saat Lulla berusia menjelang 6 bulan, akhirnya baru menyadari bahwa dirinya depresi dan sedang mengalami yang disebut postnatal depression. Menurut sebuah artikel yang saya baca di nhs.co.uk, postnatal depression adalah sebuah jenis depresi yang dialami oleh orangtua setelah melahirkan; 1 dari 10 orangtua mengalami hal ini dalam kurun waktu satu tahun setelah melahirkan. Dan Kania adalah 1 dari 10 orangtua itu. Menurut artikel ini, postnatal depression bisa juga mengenai ayah, meski secara statistik sangat langka. Postnatal depression berbeda dengan “baby-blues”. “Baby blues” (gejalanya merasa patah semangat, gampang menangis, dan cemas) dirasakan orangtua pada minggu-minggu pertama melahirkan (biasanya tidak lebih dari dua minggu). Jika, waktu mulai dan berlangsung lebih lama, maka disebut postnatal depression.

Saya jadi teringat dengan pengakuan Adele di Vanity Fair bulan lalu tentang pengalamannya menderita postnatal depression dan menyebut masa itu sebagai “very dark side”. Saya pun bertanya kepada Kania, penyebutannya untuk masa itu. “I was in the shit hole!” jawabnya dengan nada tinggi.

Di film-film saya sering melihat ibu-ibu yang mengalami postnatal, tak sudi melihat anaknya, bahkan tak jarang ingin melukai si bayi. “Aku nggak sampai segitu, tapi ada fase aku malas ngurusin dia. Misalnya begini, ‘ah udahlah biarin aja kalau dia nggak mau makan. Biarin aja kalau dia nggak mau ini, biarin-biarin’. Meski aku nggak sampai menelantarkan dengan nggak kukasih makan karena kan dia nyusu sama aku, kan? Tapi waktu dia udah mulai MPASI, makanan pendamping ASI, aku sempat ‘udah ah, malas ah, mendingan gue ngapain gitu’. Periode itu ada, tapi nggak lama,” ujarnya dengan tegas.

***

Beberapa pria tiba di rumah Kania dan membawa sebuah meja kayu besar. Ternyata meja itu baru saja dipendekkan kakinya dan itu adalah ide sang pemilik rumah.

Furnitur adalah salah satu hal yang diproduksi oleh Chic & Darling. Saat saya bertanya bagaimana dirinya sampai memiliki pemikiran untuk memulai bisnis dan menjadi entrepreneur seperti sekarang ini, Kania menjawab bahwa chicanddarling adalah hasil dari usahanya untuk keluar dari kedepresiannya itu. “Untuk menyelamatkan diriku sendiri, I have to make something for myself. Dan ternyata bisa kok untuk membuat sesuatu untuk diriku sendiri tanpa aku harus keluar rumah. Aku bisa menghasilkan uang dari rumah. Ternyata aku bisa hidup lagi dan semua itu dari rumah,” ujarnya tersenyum lebar. “Jadi,” lanjutnya, “sebenarnya itu state of mind, it’s not a matter of kita harus pergi kemana dulu untuk kita merasa hidup. Ternyata it’s a matter of where you are with your mind. Itu sih yang aku pelajari. Akhirnya dari kedepresian itu I learnt about myself, kemampuan diriku benar-benar di challenge banget pada saat itu,” ujar perempuan yang berprofesi sebagai produser televisi selama lebih dari 10 tahun sebelum menikah.

Memulai bisnis dan menjalankannya bersamaan dengan menjadi ibu rumah tangga, bukanlah pekerjaan gampang. “Berdarah-darah. Susah banget apalagi aku sambil ngurusin anak. Itu juga proses pencarian jati diri juga. Aku terus bertanya, ‘can I do it or not’, ‘can I get through it or not’. Ini juga tentang pembagian waktu, kapan aku ngurus anak, kapan aku fokus di bisnis, mengurus rumah tangga dan segala macam. Jadi pada saat aku membangun bisnis, bahkan sampai detik ini sebenarnya proses perjalanan diriku juga, untuk mencari kebahagiaan yang seutuhnya. Mencari keseimbangan antara kerjaan, anak-anak, rumah tangga dan diriku sendiri. Saat ini, semua ini sudah menjadi satu kesatuan yang nggak bisa di-taken out. I can't live without my family, without my kids, my business.”

Keseimbangan yang disebut-sebut Kania adalah keseimbangan yang tidak sempurna. “Misalnya aku sangat bahagia sama keluarga dan bisnisku, tapi mungkin aku nggak punya banyak teman. Nggak bisa sering-sering bersosialisasi dan menghadiri semua undangan, which is ok. I get quality friendship—sahabat-sahabat terdekatku akan selalu ada untukku,” tegasnya.

***

Di tengah percakapan, terdengar suara-suara dari dalam rumah. Saya mengibaratkannya dan mengatakannya langsung kepada Kania, seperti suara alien. Ternyata suara itu berasal dari seorang lelaki kecil yang sedang bermain sepeda di dalam rumah. “Hi, Galan,” sapa Kania tersenyum lebar dan mengelus kepala anak keduanya sebentar. Menurutnya, saat mengandung Galan, prosesnya sangat mulus dibandingkan yang pertama.

Saya pun diperkenalkan kepada si pria kecil dan seperti biasa, saya selalu penasaran saat melihat seorang anak kecil untuk bertanya lebih mirip siapa dia. “Mirip bapaknya,” jawab Kania, tanpa ragu.

Berbicara tentang bapak Galan alias suaminya, saya pun jadi sedikit penasaran bagaimana respon suami saat masa ‘shit hole’ itu. Menurut Kania, selain melakukan konsultasi dengan psikolog dan terbantu mencari platform untuk melalui masa kelam itu adalah ibunya (kebetulan seorang psikolog) dan sang suami. Kania memang tidak bercerita kepada banyak orang, “Soalnya aku merasa masyarakat kita itu masih banyak stigma. Jadi, misalnya aku cerita nih, which is terjadi juga sama orang lain, yang dibilang kita lebay lah, nggak bersyukurlah udah punya anak, terlalu emosionallah, macam-macamlah komentar yang menurutku justru nggak encouraging. People like that, sementara aku pada saat itu need help,” tekannya dengan penuh emosi. “The least you can do, misalnya sebagai teman, is you encourage them that it’s ok. Sesimpel kayak nelpon, ‘how are you? Are you fine?’” paparnya.

“Lucky me, aku punya support system yang bagus, ibu-bapakku, suamiku rumah dan lingkunganku sehat, jadi aku lebih cepat recovery karena not only from myself aja yang pengen bangkit, tapi supportingsystem-ku juga mendukung. Nah, bayangkan kalau aku nggak punya itu?” tanyanya.

Berbicara tentang suaminya, Kania menuturkan bahwa “Dari awal kita udah punya komitmen bahwa we are going to do this together. Jadi kalau punya anak, lo bantu ngurus anak juga. Jadi 50-50, walaupun dia adalah bread winner, doesn't mean that the only job,” paparnya. Skenario harian pun mulai dijalankan keduanya: suami berusaha pulang cepat, saat di rumah mengambil alih tugas—mengganti popok, cuci mencuci, bangun tengah malam.

Bukan berarti semua berjalan mulus. Kania mengaku bahwa dirinya dan suami sering, “teriak-teriak, maki-maki, untungnya nggak ada physical abuse, kita banyak mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan satu sama lain.” Untungnya, sistem komunikasi di antara mereka berdua cukup bagus. Setelah saga selesai dan tenang, biasanya apa yang terucapkan saat adu mulut didiskusikan. “Aku mengkritik suamiku dan sebaliknya dan harus diterima. Namun, nggak semua orang bisa terima constructive critics, tapi karena cukup saling menghormati, kita bisa terima kritik itu,” ujarnya.

Salah satu sumber masalah yang muncul saat masa depresi itu adalah tentang ketidaksukaan Kania menerima tamu tanpa undangan atau mendadak datang. Siapapun itu, tak terkecuali sang mertua. Mengingat peristiwa itu Kania tidak bisa menutupi tawanya, “Ibu mertuaku itu sudah cukup tua dan nggak kerja lagi. Jadi, bisa tiba-tiba datang tanpa pemberitahun, kadang-kadang napping, dan baru pulang malam. I was so annoyed waktu itu. Let alone yah, aku pada saat itu lagi depresi, ada orang lain berarti aku harus ngurusin dia, kan?” ujarnya dengan nada takjub. Kania pun mengeluh kepada sang suami, sang suami lalu menyampaikan kepada sang ibu dan sang ibu tidak terlalu bahagia menerima penjelasan itu. “Akhirnya aku minta maaf sama ibu mertuaku dan bilang kondisiku yang sebenarnya. Intinya sih, hal-hal seperti ini memperkuat komunikasi aku sama suami,” tegasnya.

Dengan mengandalkan insting, saya berujar kepada Kania bahwa sepertinya yang membuat dia bisa keluar dari depresi dan lobang hitam itu adalah cinta mereka. Kania terdiam sesaat, dan tiba-tiba wajahnya melembut, “That’s true. Love, compassion and affection towards each other. Itu benar banget, karena kalau nggak ada cinta rock solid like that, ini semua bisa hancur.”

Selama proses pemulihan dari depresi itu, menurut Kania sang suami memberikan dukungan moral dan mental 100%. “Sesimpel menelpon di siang hari dari kantor dan menanyakan kondisiku. Atau pas weekend, dia membiarkan aku untuk tidur lebih lama sementara dia main sama Lulla. Kan lumayan bisa tidur sampe jam 9 pagi,” katanya tertawa lebar.

Menurutnya, fakta bahwa suaminya sama sekali tidak malu memasak, mencuci baju, atau bersih-bersih, membuatnya terlihat maskulin dan seksi dan akibatnya, “I’m more into him. Di saat aku into him, itu akan berkembang ke sex life kita, desire kita terhadap each other, romanticism kita berdua. Itu penting banget. Banyak orang yang ketika udah menikah, they are too caught up being parents, they forget that they are couple. Mereka sibuk jadi ibu, bapak, cari uang, ngurusin rumah, dan nggak ada waktu buat yang lain. Istri tidak mengurus diri lagi, makan segala macam, udah nggak ada waktu buat olahraga. Akhirnya apa? Yah, udah nggak ada yang keurus, kan? Akhirnya yah gitu aja. Itu yang banyak terjadi and well, that’s a choice juga. But I’m trying to inspire other people based on my experience,” tuturnya.

Postnatal depression itu memang sangat mengajarkan Kania betapa pentingnya memperhatikan diri sendiri. “Self-care comes first. Jangan pernah berpikiran bahwa ketika kita butuh waktu untuk menyenangkan diri itu egois. Kalau kita takut dibilang ibu egois, karena ingin jalan-jalan sendiri atau pengen punya waktu untuk suami, kita nggak akan pernah bahagia. Selalu take care of ourselves first, selalu pastikan bahwa kita fit. If we are not fit, we are not fit as a mother. Bagaimana kita tahu kita fit, kita harus take care of ourselves. Caranya macam-macam. Kita berdandan, wangi, bersolek, mandi [dengan nada penuh penekanan], bersih secara badan dan pikiran, jaga makanan, olahraga. Make sure you take care of yourselves first, if you take care of yourselves and then we can take care other people. Salah satu bentuk kita memperhatikan diri sendiri, misalnya saat kita depresi, ask for help. Ask your husband’s help, professionals help,parents, siapapun, deh. Jangan pernah malu untuk membicarakan itu, at least sama satu orang yang kamu percayai banget. Dan berikan waktu untuk kita sendiri tanpa ada anak kita. Titip mereka sebentar, satu jam-dua jam, ke orang tua kamu, go to a café by yourselves, have coffee, read a book. Simple kok, nggak harus mewah, nggak harus mahal. Simply nyetir sendiri ke pom bensin dan beli Frestea aja, dulu aku senang banget. Itu bikin aku happy banget! Jadi small things but matter but take care of yourselves,” bebernya panjang lebar dengan berapi-api.

Happy, kata yang sering banget diulang-ulang oleh Kania selama percakapan kami. Dan tak mampu menahan diri saya bertanya apa pengalamannya terhadap postnatal depression tidak membuatnya trauma memiliki anak. “Sama sekali tidak. Kita pengen punya satu atau dua lagi! Hahaha! Aku dan suamiku sekarang juga lebih mature sebagai parents, secara finansial juga lebih dewasa. Dan sekarang kita juga udah punya mbak di rumah, jadi nggak sendirian lagi. Di samping itu, kita enjoy banget punya anak. Dan aku enjoy banget jadi ibu!” tandasnya dengan senyum lebar. 

****