Kata Psikolog Ini: 'Saat Kita Boros, Ada Kondisi Psikologis Negatif yang Ingin Disembunyikan'

Kata Psikolog Ini: Saat Kita Boros, Ada Kondisi Psikologis Negatif yang Ingin Disembunyikan
ISTOCK

Sebelumnya harus jujur: apakah kita melakukannya? 

Memang susah menahan hasrat untuk belanja. Apalagi, jika ada tulisan 'DISKON' berwarna merah darah, dengan ukuran pastinya bukan Arial 12di depan toko favorit. Tanpa disadari, kaki sudah berlari-lari dari satu titik ke titik lain, dan saat sudah terlambat (hah!), kartu kredit sudah digesek dan sah... barang-barang tersebut menjadi milik pribadi. Lebih dari tiga kali hal ini terjadi dan terkadang, benda yang dibeli tidak penting, dan bahkan jadi sampah di lemari. Seandainya kamu belum tahu, kebiasaan ini disebut pemborosan. “Pemborosan bisa berdampak buruk untuk psikologis orang yang melakukannya, lho," kata Anna Surti Ariani, S. Psi., M. Si., seorang psikolog anak dan keluarga. "Kalau kita mengeluarkan uang secara tunai atau memakai kartu debit yang artinya secara langsung mengeluarkan uang dari tabungan, uang akan habis, dan itu bisa menimbulkan kebingungan ketika ada hal yang mendesak dan butuh uang," lanjutnya. Di sisi lain, menurutnya, jika kita menggunakan kartu kredit, seringnya kita dibuat lupa, berapa uang yang sudah kita keluarkan. "Apalagi kalau batas kartu kreditnya besar. Nanti pada saat tagihan kartu kredit terbit, akan muncul kecemasan dan bingung gimana cara membayarnya. Kecemasan berlebihan bahkan bisa membuat seseorang mengalami depresi," jelasnya. 

“Tidak hanya itu," lanjutnya, "masalah selanjutnya yang datang adalah hubungan kita dengan orang-orang yang ada di sekitar bisa jadi memburuk. Contohnya, ketika suami menegur tentang pengeluaran uang yang berlebihan, dapat memicu pertengkaran. Rasa percaya satu sama lain juga dapat terkikis, dan relasi antar mereka jadi semakin tidak menyenangkan.”

Namun sebenarnya darimanakah asal kebiasaan ini. Apakah lingkungan bisa membuat seseorang boros? “Bisa sih, sifat boros karena bergaul dengan teman-teman yang dengan mudahnya mengeluarkan uang. Ada juga yang jadi terpengaruh boros karena ingin masuk dalam kelompok pergaulan tertentu,” jelasnya. 

Namun, menurutnya ada banyak sekali penyebab seseorang menjadi boros. Salah satunya, bisa terjadi saat kecil, misalnya saat orangtuanya cenderung boros, sehingga anak tak diajarkan cara mengatur uangnya dengan baik. Lebih daripada itu, Anna membeberkan bahwa di balik kebiasaan boros ini ada beberapa kondisi psikologis negatif yang biasanya ingin disembunyikan dengan cara menyenangkan diri lewat belanja. "Ada perasaan hampa, self-esteem atau harga diri yang rendah, perasaan insecure atau tidak aman, kebosanan, kesendirian, kemarahan, ketidakpercayaan diri, dan lainnya. Jika semua kondisi tersebut nggak terpenuhi dengan benar, kemungkinan orang ini akan kembali boros tanpa bisa mengendalikan dirinya,” tambah Nina.

Mengingat betapa pentingnya mengatasi kebiasaan tersebut sedini mungkin, Nina memberikan beberapa langkah solusi bagi orang-orang yang mengalaminya. 

  • Secara Internal: "Orang ini harus menyadari dulu bahwa perilaku pemborosan itu adalah sebuah masalah. Kalau dia menganggap itu biasa saja, tentunya akan sulit berubah," katanya. Secara psikologis, orang ini perlu menyadari kapan dia merasa perlu belanja, misalnya apakah setiap kali melihat baju yang dipajang dia ingin membeli, atau setiap kali ada mainan anak, dia juga ingin beli. Selain itu, "Dia juga perlu menyadari perasaan apa yang muncul ketika dia merasa perlu membeli barang, apa perasaan saat membeli, dan bagaimana perasaan setelahnya. Dia juga perlu menyadari konsekuensi apa yang dia rasakan setelah belanja, baik positif maupun negatif. Dalam konseling psikologi, hal-hal itu ditelusuri, supaya ketahuan needs atau kebutuhan apa yang tidak dia sadari yang belum terpenuhi, dan dicarikan cara lain untuk memenuhi needs tersebut."
  • Secara Eksternal: Dia bisa mencoba membatasi diri, misalnya dengan hanya belanja pakaian dengan menggunakan uang tunai atau kartu debit yang jumlah isinya terbatasnya. "Jadi begitu uangnya habis, dia berhenti belanja. Batasan lain misalnya membatasi diri dengan belanja di waktu tertentu, misalnya weekend saja, atau hanya di satu situs online saja. Orang ini juga perlu bekerjasama dengan orang di sekitarnya, yaitu pasangan, anak, atau temannya, untuk selalu menegurnya ketika sedang khilaf berbelanja."