Ligwina Poerwo-Hananto: 'Waktu ke New York, yang Gue Cari adalah Jadi Alaynya Jon Stewart '

Ligwina Poerwo-Hananto: Waktu ke New York, yang Gue Cari adalah Jadi Alaynya Jon Stewart
DOK. PRIBADI

Perempuan yang cinta angka ini berbagi cerita tentang komedi, maraton, dan drama perempuan. 

Kita mau duduk dan minum dimana, nih? Gue harus kelihatan smart tentang duit kalau di depan wartawan,” cetus Ligwina Poerwo-Hananto, sambil tertawa. Hari itu, saya bertemu Ligwina untuk kedua kalinya; pertama kali beberapa hari sebelumnya saat perilisan buku Perempuan Pemimpin (tulisan Betti Alisjahbana, yang berisikan inspirasi dari 10 CEO, dan dirinya adalah salah satunya).

Dua kali bertemu, imej dan kepribadiannya yang saya tangkap tidak jauh berbeda: antusias, koheren menjawab pertanyaan, nada serius untuk pertanyaan serius, dan bercanda untuk pertanyaan serius dan iseng, bubbly, ceria, dan mudah tertawa. Mungkin yang berbeda adalah wajahnya polos tanpa makeup hari itu; apakah memang penganut #nomakeup? "Oh pake," ujarnya tanpa riskan. "Tapi nggak sempat soalnya naik ojek," sambil buru-buru mengeluarkan sebuah tas kecil bertuliskan This Bag Contains My Face. "I do makeup in full. Kalau lo butuh foto, gue butuh 15 menit untuk beresin muka gue. Hahaha," katanya memasukkan kembali tas tersebut ke dalam tas bahunya yang lebih besar. "Dulu gue tuh, harus naik taksi kemana-mana. Gue ngerasa, 'Nggak bisa dong, nanti sampai sana gue sudah meleleh, terus makeup gue gimana?' Kalau sekarang, karena hari ini gue tahu mau kemana-mana dan gue bisa ngebayangin kena macet apa segala, udah deh, gue pake gojek aja, pakai sepatu keds aja," katanya sambil mengangkat kakinya, memamerkan sepasang sepatu merah mudanya. 

Saya mengenal nama Ligwina (atau tepatnya suaranya) dari sebuah acara radio Hard Rock FM Jakarta sekitar tahun 2006, berceloteh tentang duit dan bagaimana merencanakannya dengan bahasa yang dimengerti oleh orang “normal”. Kemampuannya menggabungkan angka dan narasi sehari-hari dengan penuturan yang ringan dan lucu, membuat namanya mulai dikenal sebagai financial planner sejak saat itu. Selama bertahun-tahun mendengarkannya berceloteh dari balik speaker radio itu, saya selalu penasaran satu hal: ini orang seberes apa sih, kondisi keuangan pribadinya? “Haha… Yah, kita orang sangat teratur,” katanya sambil menyeruput cappuccino J-CO. Yes, akhirnya kami memutuskan untuk duduk di sudut J-CO; mungkin tempat ini memang akan sejalan dengan keinginannya untuk membuktikan keahliannya soal Rupiah. Apalagi, hari itu, setelah pertemuan kami, Ligwina memiliki beberapa meeting lagi. “Masuk ke mal gini, lo mau ke kanan atau ke kiri, bedanya bisa 10-20 ribu. Mungkin nggak banyak, tapi ‘kan abis ini gue ada meeting lagi, dan semuanya di kafe dan restoran. Jadi, selisih 20 ribu itu ngaruhnya akan banyak. Akhirnya gue mengerti bahwa kemampuan orang untuk mengatur uang adalah tentang mengambil keputusan dan jujur sama dirinya sendiri,” katanya sambil menikmati original glaze donuts. (Capuccino yang ditambahkan gula, dan original glaze donuts, wow… take that you sugar-free devotee!)

Memang sekarang keuangannya teratur, tapi dulu "kurang direncanakan". “Start jadi financial planner itu justru karena gagal mengatur keuangan sendiri. Gue lulusan finance, suami gue kerja di banking, harusnya 'kan kita memiliki ilmunya, pengetahuan, dan akses yang cukup untuk bisa mengatur keuangan dengan baik. Namun, pada kenyataannya, pada saat penghasilan meningkat dengan baik, pengeluaran kita habis dengan cepat juga. Jadi saldo tabungan kita itu di tahun 2002, waktu anak pertama lahir itu 119.200 Rupiah. Kita berdua panik,” kata lulusan Magister Manahemen Investasi Institut Pengembangan Manajemen Indonesia, Jakarta, ini sambil terkekeh. Hal ini kemudian membuatnya berniat membereskan keuangan pribadi dan tertarik untuk mendalaminya sebagai profesi. Fast forward, akhirnya terlahir PT Quantum Magna (QM) Financial pada tahun 2007 yang pelan-pelan menarik perhatian berbagai kalangan untuk menjadi kliennya, termasuk selebriti. Ini membuat saya bertanya tentang kasus yang menimpanya di tahun 2014 dengan klien Ferdi Hasan: apakah mempengaruhi kredibilitas dirinya di mata calon klien yang lain? “Pasti dong. Nggak bohong. Apalagi saat itu gue sempat dipanggil OJK,” katanya tertawa miris. “Satgas Investigasi!” lanjutnya dengan mimik panik. “Mampus! 'Pak saya melanggar apa?'” katanya menirukan percakapannya dengan petugas saat itu. “Si bapak bilang, ‘Nggak ada sih, bu, karena belum ada peraturannya.’” Saat bercerita, Lidwina mengungkapkannya dengan ringan sambil tertawa, meski saat krisis itu terjadi, dia mengaku stress dan panik. Namun, nadanya kembali serius saat membeberkan bahwa sampai sekarang sebenarnya belum ada peraturan yang jelas tentang perencana keuangan di Indonesia. Apakah seharusnya OJK melakukan sesuatu terhadap profesi ini? “Aku nggak tahu,” jawabnya dengan cepat dan kemudian tertawa. “Jangan nyodorin mikrofon ke aku dan menurut aku, yah memang ada banyak hal yang lebih penting untuk diurusi oleh OJK, daripada pengaturan perencana keuangan ini. Jadi, nggak menyalahkan lho, saat dibilang bahwa mereka belum memiliki peraturan, yah karena batasannya dimana? Karena memang perencanaan yang diatur oleh OJK itu hanya menyinggung sebagian yang dikerjakan oleh perencana keuangan, tapi tidak semuanya,” bebernya.

Namun, ada satu hal yang diketahui oleh Ligwina setelah kejadian yang sudah berakhir dengan damai itu: “Gue akhirnya bisa melihat secara jelas apa yang gue suka dari pekerjaan ini. Ternyata yang gue suka adalah bukan untuk membuat orang lebih kaya,” katanya dengan satu nafas. “Tapi membuat orang cukup. Cukupnya boleh berubah, ya? Hahaha," katanya dengan nada jahil. "Ternyata," lanjutnya lagi setelah berhenti tertawa, "gue bukan hanya perencana keuangan. Bagian yang paling gue suka itu adalah financial education-nya, enlightment-nya pada saat seseorang belajar keuangannya. Kalau hanya perencana keuangan, mana ada yang akan percaya dengan gue, ‘this is the end of career!’” ujarnya dengan suara seperti nenek sihir yang sedang sekarat.  “Akhirnya kita pun penjadi financial literacy provider, bukanlah hanya financial planning company. Jadi financial planning itu merupakan bagian kecil dari apa yang kita lakukan, sekitar 30%.” Dengan konsep yang sekarang, Ligwina dan QM tidak hanya merencanakan keuangan, tapi juga memberikan training, termasuk beberapa kali untuk refugee dan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. “Ternyata there is a bigger purpose untuk mengerjakan si financial literacy ini dan gue lebih menikmati,” tuturnya dengan nada serius.

Dari financial planner, financial literacy provider, saya lalu bertanya sebenarnya apa gelar yang paling cocok untuknya. “A standup comic,” ujarnya tegas, lugas, lantang, dan tertawa. Jawabannya ini di luar dugaan terliar saya. Yes, saya mendengar cerita tentang Ligwina yang sesekali naik ke panggung dan menjadi seorang standup comic. Namun, sama sekali tidak mengira bahwa profesi ini merupakan sesuatu yang serius baginya. Terlebih, angka dan komedi, di planet manapun sepertinya susah dianggap sebagai garis linear. “Jadi gue nggak tahu kenapa ya, masuk umur 40 itu gue jadi kayak bikin target baru…” Sampai di situ, tanpa merasa kurang sopan saya merasa harus mengklarifikasi sesuatu: 40 tahun? Kok kayak anak SMA? “Alhamdullilah!” responnya lalu terbahak. “Hahaha… dulu waktu menuju 40, gue merasa ‘aduh udah tua, ya?’”  ujar perempuan dengan nada meratap dan sedih. “Sekarang yang, ‘iya, aku 40,’” tutur ibu tiga anak ini dengan manis dan mata bersinar-sinar. “Kerudung ini juga,” lanjutnya sambil merapikan jilbab berwarna kuningnya, “menambah umur lima tahun. Gue kalau nggakpake kerudung, lo nggak pernah mau dengarin nasihat finansial dari gue. Hahaha… karena kalau gue nggak pakai kerudung, gue benar-benar kayak anak-anak, berumur lurus, rambut dikuncir." Lalu apa rahasianya terlihat awet muda? “I don't know I think the way we approach and appreciate aging akan mempengaruhi… Gini, happiness nggak bisa dibohongin, happiness is real. All the Instagram posts can not lie to you about happiness, sekarang ‘kan semua ditentukan di sosial media untuk kelihatan sukses dan bahagia, tapi itu nggak bisa. Lo bisa ketemu orang dan ngeliat, happiness is oozing out of her. Jadi, gue yah, being grateful dan happy apa yang ada sekarang di depan mata.”

Saya tidak bisa tidak setuju dengan pernyataan itu. Lalu meneruskan pernyataannya tentang usia 40 dan target baru itu: “Long time ago gue itu nonton interview-nya Maria Shriver, salah satu keturunan Kennedy dan pernah menikah dengan Arnold Schwarzenegger, di acara Oprah Winfrey. Waktu itu umur gue 30an, Maria itu bilang begini: ‘Penting bagi seseorang itu untuk mempunyai cita-cita. Waktu kecil, kita selalu ditanya cita-citanya apa. Jadi kita mikirnya ke depan 'kan, cita-citaku adalah apa. Di umur 20-30an akan ada titik dimana lo berhenti untuk mempunyai cita-cita, tapi menurut dia itu penting sekalidi umur berapapun lo harus tetap memiliki cita-cita,’” katanya penuh penekanan. “Jadi,” lanjutnya, “waktu umur 40 punya cita-cita, 50 juga, sehingga hidup lo nggak statis dan bergerak terus. Cita-cita itu gue translate ke financial plan ke financial goals. Ketika lo punya financial goals, lo kayak jelas arahnya mau kemana. Kalau di tengah jalan itu berubah nggak papa, lho. Tapi kita tetap fokus sama semua resources untuk goal tersebut.”

Dari bucket list pribadinya yang sudah diberi tanda checklist akhir-akhir ini adalah: 1) sebagai pelari, ikutan marathon dan terjadi beberapa bulan di Tokyo dengan lintasan 42 km. (“Kalau orang normal, harusnya 4-5 jam ya, tapi gue menyelesaikan itu hampir 7 jam. Hahaha, tapi finish.”); 2) Traveling tiap bulan, entah itu bersama keluarga atau karena kerjaan; 3) Standup comedy. Yang terakhir ini terwujud dengan menjadi salah satu komik di acara all female comedy standup show, Perempuan Berhak. Menyinggung yang terakhir ini, Ligwina mendadak menjadi semangat tingkat tinggi. “Gue waktu ke New York, yang gue cari adalah jadi alay-nya Jon Stewart dan dapat!” ingatnya dengan nada girang dan raut bangga yang tidak bisa ditutupi. “Jadi gue daftar, gue datang ke acaranya Jon Stewart, dingin-dingin, ngantri, 12 derajat, lagi winter, kita ngantri demi melihat Jon Stewart. Dan he’s brilliant as I can imagine dan waktu itu penulisnya dia masih John Oliver. Dia juga bikin show sendiri ‘kan sekarang? Dia gila juga, tuh. Tapi waktu itu masih tim Stewart, tepuk tangan, tapi nggak boleh motret, dan bintang tamunya waktu itu Jennifer Lopez dan she’s as beautiful as you could imagine. Benar-benar cantik. Paraaaah, cantik banget,” tegasnya dengan penuh kekaguman.

Mendengar semua ceritanya, mau tak mau saya berpikir bagaimana dan siapa yang membantu Ligwina untuk bisa mewujudkan semua hal itu? Logikanya, hanya mengandalkan salah satu bakat terhebat perempuan yakni multitasking, pasti tidak cukup. "Asisten Rumah Tangga yang keren! Hahaha..." Lagi-lagi memberikan jawaban yang tidak terduga. "Tapi bener lho, mereka ini adalah pekerja informal yang menurut gue jasanya perlu dihargai betul-betul, karena kalau nggak ada mereka, gue nggak bisa jalan," tuturnya dengan serius. Intinya, menurut Ligwina adalah sistem yang mendukung, mulai dari mertua, sampai suami yang feminis. "Feminisme itu punya laki-laki dan perempuan, karena pada saat laki-laki percaya tentang feminisme, dunia akan lebih baik karena dunia terbuka untuk diskusi. Karena laki-laki yang percaya pada feminisme bersedia berdiskusi dengan pasangannya tentang kenapa dia nggak setuju dengan pilihan perempuannya itu, dan mendengarkan pendapat istrinya. Namun yang sering gue perhatikan juga adalah perempuan yang membatasi dirinya sendiri. Perempuan yang menggunakan alasan keperempuanannya untuk tidak bisa mencapai jenjang CEO di tempat kerjaannya. Dan perempuan juga yang menyusahkan diri dengan memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap perempuan lain. Dan perempuan juga yang nyinyirin perempuan bekerja atau terlalu banyak perempuan yang nyinyirin ibu rumah tangga. Jadi, akhirnya kalau kita mau refleksi, masalah hidup perempuan itu ada di tangan perempuan sendiri. Kurangi deh, dramanya," tandasnya.