Luna Maya: 'Being Single Tidak Mengurangi Kebahagiaan Saya Sepeser Pun, Sedetik Pun, Secuil Pun'

Luna Maya: Being Single Tidak Mengurangi Kebahagiaan Saya Sepeser Pun, Sedetik Pun, Secuil Pun
WOOP.ID

Aktris ini bercerita tentang mimpi dan statusnya. 

Luna Maya yang saya temui hari itu berbeda. Setidaknya, tidak berbanding lurus dengan gambaran yang selalu tercitrakan lewat televisi: ceria, konyol, suka tertawa, suka bercanda, percaya diri, dan pastinya cantik. Namun hari itu, dia berbeda; meski sebenarnya kata 'berbeda' masih kurang cukup menggambarkan dirinya siang itu. Ibaratnya: seandainya slogan hidup saya adalah 'kesan pertama begitu penting',maka wawancara ini berakhir bahkan sebelum dimulai. Namun, untuk kali ini penting untuk mengingat: jangan menghakimi orang dari lima menit pertama saja. So, please bear with me

Kami bertemu di sebuah peluncuran produk alat pelurus rambut di sebuah hotel di Jakarta Selatan. "Ini wartawan yang ingin wawancara one-on-one, Luna," ujar seorang pihak penyelenggara. Luna Maya dalam balutan blue one shoulder dress sepanjang lutut (membuat kulit putihnya mencolok) dan stiletto merah, mengulurkan tangan kanannya dan 'menyambut' saya dengan rolling eyes dan senyuman setengah hati. Menganggap hal tersebut adalah ekspresi humornya (otak saya berusaha mengingat aksi-aksi konyol yang sering dilokaninya ketika menjadi presenter acara musik, talkshow, atau yang lainnya), saya tersenyum lebar. Terlebih, perlu dipertimbangkan bahwa sebelum duduk berhadapan dengannya, puluhan wartawan lengkap dengan kamera berada tepat di depan wajahnya. Seorang teman bilang bahwa lampu kamera bisa menyedot seluruh energi. Itu, plus puluhan pertanyaan yang sangat acak, dari yang profesional sampai yang terbilang personal, sehingga bisa dipastikan sebagian besar manusia, tidak peduli seheboh apapun kepribadiannya, bisa berkurang energinya hingga 50%. Dan saat itu, masih periode Ramadhan dan dirinya sedang berpuasa. Oleh karena itu: praduga tak bersalah. 

Luna Maya memulai karirnya saat mengikuti kontes pemilihan model majalah saat berumur belasan, lalu menjadi model catwalk papan atas, lalu akhirnya menjadi pemain film. Saya bertanya apakah transformasi itu merupakan sesuatu yang sudah direncanakan? "Nggak," katanya sambil memainkan ponselnya. "Sebenarnya, [diam sejenak] kalau catwalk itu lebih kayak aku awalnya, ikut pemilihan model majalah," jelasnya dengan suara pelan. Hampir setengah pertanyaan pada awal wawancara ini dijawabnya dengan cara yang sama: level suara pelan, ekspresi datar, tingkat antusiasme agak memprihatinkan, dan mayoritas melirik ponsel. Meski harus tetap ditekankan bahwa Luna menjawab setiap pertanyaan saya dengan sabar. "Terus kalau ditanya model catwalk, suka nggak? Aku nggak terlalu suka sih, modeling. It’s not my ambition. Tapi pada saat itu memang berawal dari pemilihan majalah, terus beralih ke model catwalk, aku pikir yah, dijalanin aja. Tapi kalau secara jiwa itu memang lebih pengennya, akting, mungkin sebenarnya modeling itu batu loncatan, ya. Bukan aku nggak bilang aku nggak suka, SUKA," katanya dengan penuh penekanan, "but I want it more. Karena kalau modeling 'kan cuma pose, and you have to be skinny. Jalan catwalk, tantangannya itu menurut aku nggak banyak. Setelah aku jalanin, awal-awal aku suka banget, tapi lama-lama apa ya, aku ingin yang lebih," katanya, sambil menumpukan kepalanya di atas lengannya yang berada di atas sandarang kursi. Perhatian saya sedikit terdistraksi dengan cat kukunya yang merah menyala.  

Menurutnya, jika dibuat daftar, "modeling itu bukan top of my list. Nomor tiga kali, ya?" tukasnya. Nomor satu? "Akting, dan sekarang bisnis, dan yang kedua mungkin MC." 

Luna mengaku kecintaannya terhadap dunia akting ini bermula dari hobinya menonton film, "Mary Poppins, Gone with the Wind, Sound of Music, sampai film-film Suzzanna, Warkop yang berkali-kali ditonton dan nggak pernah bosan. Aku hobi banget nonton dan pengen masuk ke dalamnya," paparnya. Mimpinya pun menjadi kenyataan. Namun, jika menjadi model video klip bisa dikatakan salah satu bentuk "akting", maka Luna sebenarnya sudah melakukannya sejak tahun 1999, jauh sebelum film pertamanya, 30 Hari Mencari Cinta. Mungkin hanya yang besar di tahun 90an yang masih bisa mengingat video klip Cool Colors berjudul Satu yang Pasti atau Sahabat Sejati milik Sheila on 7. (Untuk generasi setelahnya, silahkan membuka YouTube.) Setelah itu, setidaknya ada satu film per tahun yang memasang namanya. Bulan ini saja dua filmnya tayang di bioskop, Filosofi Kopi 2 dan The Doll 2. Beberapa nominasi dalam berbagai ajang penghargaan (misalnya, nominasi Pemeran Utama Wanita Terbaik FFI 2006 untuk film Ruang, Nominasi Pemeran Utama Festival Film Bandung 2007 untuk film Jakarta Undercover) berhasil diraihnya dan suka tidak suka, merupakan pengukuhan bahwa banting stir menjadi pemain film bukan sekadar aji mumpung. 

Namun, Luna akan selalu merasa kurang, terutama, "saat aku nonton lagi filmnya," katanya. "Tapi kadang-kadang ketemu lawan main itu juga menentukan, ya. Kalau lawan main kita juga punya driven yang bagus, kita akan kebawa. Akan terasa mulai dari proses reading biasanya, misalkan saat sutradara mengarahkannya dengan baik, pemain juga apa ya, tepat dan punya passion yang sama, energi yang sama. Saat kita ketemu pasti akan menjadi 'sesuatu', meski aku nggak bilang harus ketemu si A dulu baru bisa. Ketemu nggak ketemu, kita harus belajar, sih," bebernya. Lantas, apa yang terjadi lawan mainnya kurang memiliki energi yang sama? "Extra work, sih! Hahaha," jawabnya setelah terdiam sejenak. "Tapi itu juga pembelajaran buat aku, maksudnya aku juga bukan aktris yang jago banget juga, aku masih belajar. I am nowhere done, because I love what I am doing, jadi ya, seru aja menikmati setiap proses," katanya diplomatis.  


Percakapan kami terhenti sejenak saat seorang penggemarnya meminta untuk foto bareng. Setelahnya, saya penasaran dengan pernyataannya tentang kurang suka menjadi model karena harus kurus. Bagaimana pandangannya mengenai bahwa perempuan harus kurus untuk dibilang cantik? "Menurut aku sih, jadi fit itu lebih keren dibandingkan dengan kurus kerempeng," ujar dengan nada miris sambil melihat ponselnya. Setelah mengetik beberapa lama, dia melanjutkan: "Aku nggak termasuk model kurus lho, di antara model lain aku termasuk yang berisi. Aku bukan tipikal yang kurus," katanya sambil mengempotkan pipinya. "Nggak. Yah kadang-kadang, dibilangin sih, 'kamu kurusan dikit, dong'. Tapi gimana lagi? Makanya aku nggak terlalu suka, soalnya aku suka makan. Jadi, kurus itu..," Luna terdiam sejenak lalu melanjutkan, "memang sih, badan kurus itu memakai apa aja lebih menarik. Tapi menurut aku, aku lebih suka tone, walaupun terlihat agak sedikit besar, tapi tone [sembari mengangkat kedua lengannya ala binarawagawan], fit itu gimana, sih? Kayak Wonder Woman, memang sebelumnya dia kurus karena model, tapi karena memerankan Wonder Woman, ikut gym, segala macam, memang badannya kelihatan lebih gede, tapi lebih seksi. Pantatnya lebih ada, dadanya lebih bidang, ototnya lebih digunakan. Dia fit, jadi aku lebih suka cewek yang lebih suka begitu. Ikut olahraga," bebernya. Luna sendiri mengaku menjaga tubuhnya dengan rajin berolahraga dan minum air putih yang banyak. 

"Minum air putih itu penting banget. Makanya aku paling nggak suka ngeliat orang yang ninggalin air," katanya dengan nada kesal, sambil menunjuk beberapa air botol kemasan yang sudah dibuka, setengah kosong di atas meja. "Aku tuh, gini mikirnya sama orang, ‘airnya belum abis, bawa dong, dapat air putih itu susah, lho,'" ujarnya dengan nada serius. "Iyalah, sekarang kita mikirnya murah, tapi coba berapa tahun lagi, ini semuanya akan jadi rebutan," katanya, lagi-lagi menunjuk botol-botol yang berserakan di atas meja. Kekesalannya terhadap hal tersebut terlihat jelas dari kening berkerut dan nada suara kesal. 

Perubahan subjek pembicaraan ini membuat saya terkejut. Dengan hati-hati saya bilang: terkejut karena ternyata memiliki kepedulian lain, selain... tampil lucu di televisi, misalnya. Dengan pelan, Luna meletakkan ponselnya, menegakkan badannya, lalu berkata: "Karena kadang kalau diundang ke acara yang gitu-gitu sih, suka pada nggak datang," katanya sinis, kemudian tertawa miris. "Balik lagi, ke core masalahnya itu, terlalu rumit, ini nggak hanya di Indonesia, tapi dimanapun. Mungkin gini ya, mungkin dalam kehidupan sehari-hari mereka, kehidupan mereka sudah berat," bebernya. "Untuk kita," lanjutnya dengan penuh penekanan, "menayangkan berita berat lagi tentang seorang artis, mungkin akan capek juga kali, ya. Jadi pada akhirnya, mereka butuh hiburan." Luna tidak memungkiri bahwa hal ini terjadi di berbagai belahan dunia, bahwa berita sensasional akan kalah ratingnya dengan berita bermutu. "Namun, kalau di luar negeri, hal begitu bisa dibahas, menjadi suatu perenungan, dan sebuah prestasi. Karena mereka mau menggali. Tapi ada juga yang menghibur, makanya ada paparazzi. Kalau di sini nggak ada 'kan? Acara tevenya begini, infotainment yang ditanyainnya hal yang sama lagi. Karena yang dijajalinya begini, mereka akhirnya lebih banyak menerima berita begini, yah akhirnya ini yang lebih laku. Tapi balik lagi ini masalah bisnis," katanya panjang lebar.

Setelah mengeluarkan pernyataan tersebut, perubahan yang besar terjadi. Luna menjadi serius, memberikan perhatian dan konsentrasi 100% pada percakapan kami, tanpa sekalipun tergoda untuk melirik ponselnya. Seperti mendapatkan amunisi, dengan berani saya berujar bahwa selama ini sepertinya dirinya tidak berusaha melakukan apapun untuk 'menyelamatkan' diri ratusan gosip murahan yang menimpanya. Dia seakan-akan terima saja saat semua permasalahan pribadinya menjadi konsumsi publik. Segala prestasi dan kepeduliannya dalam bidang sosial—seperti saat menjadi duta WFP (World Food Programme) untuk penggalangan dana publik atau duta WWF atas peranannya dalam program penanaman pohon di Demak—seakan terlupakan, seperti... hanya terjadi pada seorang Luna Maya in another parallel universe. "Terus mau diapain? Emang harus bisa gimana," katanya sambil mengangkat bahu dan wajah pasrah. Jadi terima saja? "Yah sebenarnya nggak terima sih, cuma dengan bertambahnya waktu, aku belajar banyak, tambah dewasa juga, perhatiannya juga tambah banyak sehingga udah shifting. Jadi pada saat sudah shifting, aku bisa kasih energi ke yang lainnya. Kayak sekarang, sebenarnya banyak sih, yang menjadi concern aku dan teman-temanku. Kita mau melalukan sesuatu, ngerencanain langkah-langkahnya apa. Sebenarnya kita nggak diam aja, kita juga thinking dan melakukan sesuatu, tapi seringkali terbentur dengan masalah dana, waktu, it’s not easy," paparnya.

Tunggu deh, duit? Bukannya itu harusnya tidak menjadi halangan? "Iya sih, itu yang dipikirkan oleh banyak orang. Orang ngeliat kita pasti mikirnya duitnya banyak. Jadi, misalnya dikasih uang parkir 2000 rupiah, marah, 'kok cuma 2000?' Itu satu. Kedua, artinya nggak bersyukur. Yang ketiga adalah itu imej yang sudah dikasih bahwa artis banyak duitnya. Kalau semua artis kaya, banyak artis yang sakit itu nggak mungkin galang nada," tegasnya blak-blakan. "Kita tuh, mungkin bisa dibilang lebih beruntung. Episode kita per jam itu bisa cukup besar dibandingkan orang yang kerja selama sebulan. Itu betul, tapi pengeluaran kita juga gede banget. Harus ini, harus itu; biaya produksinya juga gede, ya," katanya dengan serius dan sedikit emosi. "Yah, jadi kadang-kadang gitulah, persepsi orang, 'ih lo kan kaya, duit lo banyak.' Ih, nggak tahu asam," katanya dengan nada asam. "Kadang-kadang kita juga pusing bayar cicilan, gimana!" serunya. Sebagai contoh, bulan itu Luna mengaku tidak ada syuting sama sekali. "Itu artinya sebulan aku nggak ada income," bebernya tanpa merasa malu. Menyadari pasang surut tersebut, dirinya mulai mencari cara menyiasatinya. Tidak heran, beberapa tahun belakangan, Luna mulai melebarkan sayap dan mengembangkan diri untuk menjadi pebisnis, mulai dari usaha clothing line bernama Luna Habit, bulu mata, martabak, sampai produk kecantikan. "Ini untuk menyiasati kalau one day ini terjadi bukan satu bulan ini, tapi dua bulan, tiga bulan, empat bulan, gitu lho. Pada saat kita nggak ada film, kontrak, itu artinya kita nganggur. Dan itu yang nggak akan aku biarin sama diri aku, makanya aku melakukan kerjaan ini itu, supaya aku bisa makan juga, sih," tegasnya. 


Luna paham betul bahwa persepsi masyarakat awam terhadap profesinya sebagai seorang aktris dan selebriti akan memakan waktu lama untuk berubah. Namun, satu hal yang menurutnya bisa menjadi solusi positif: pendidikan. "Aku pikir itu jendela untuk manusia bisa one step kehidupannya lebih baik itu terutama dari edukasi. It sounds cliché, tapi aku dulu itu orangnya nggak suka sekolah. I hate school," katanya dengan penekanan. "Aku nggak suka kuliah karena menurut aku itu semua bisa didapati dari pengalaman. Ternyata there are so many things yang aku nggak belajar di pengalaman," ujarnya dengan nada pahit. "Aku tahu," lanjutnya, "di sekolah, di kelas itu bisa sangat membosankan, untuk selalu mendengarkan guru. Tapi semakin kita tua, kita semakin menyadari bahwa ‘ok, gue pernah keliru juga', dan aku berharap ini menjadi sebuah motivasi buat anak muda. Bahwa aku ini [ujarnya menunjuknya dirinya], udah pernah muda dulu. Aku ini pernah umur 16, 17, jadi kalau kalian pikir aku ngomong ini untuk aku, kalian salah," jelas Luna. "Aku selalu bilang ke anak muda: ‘bener deh, mungkin kalian menganggap handphone itu sebagai sarana hiburan, tapi kalau kalian pergunakan dengan baik, untuk browsing, banyak baca, you will learn a lot, kok. Dan semakin banyak yang kalian tahu, manfaatnya semakin banyak. Jadi, aku merasakan betul itu. BETUL. Jadi aku kayaknya pengen meng-encourage banyak anak bahwa jangan sampai putus sekolah. Sebosan, seenggak sukanya kita dengan sekolah," tegasnya. Dan Luna tidak hanya beretorika. Saat ini dirinya merupakan salah satu donatur Beasiswa Dian Sastrowardoyo, sebuah program beasiswa perguruan tinggi untuk perempuan berprestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu. "Doakan supaya rezekinya lancar ya, supaya beasiswanya juga lancar," katanya tersenyum lebar. 

Meskipun begitu, entah kenapa banyak orang yang sangat terobsesi dengan... "Kapan nikahnya," katanya, bahkan sebelum saya memutuskan kalimat tersebut, dengan memutar bola dan nada kesal. "Saya juga pengen nikah, saya pengen punya anak, tapi kalau belum ada tanda dan kemauan dua orang [katanya penuh penekanan], pernikahan itu nggak akan terjadi, kan?" ujarnya dengan mata terbelalak. "Kan harus mau laki-laki dan perempuannya. Kalau cuma perempuannya, artinya maksa. Kalau maksa 'kan, nggak asyiklah. Yang asyik kan kalau dua-duanya mau," ujarnya dengan nada ringan. 

Menjadi seorang perempuan dan berusia 34 tahun (dan akan terus bertambah), dan sepertinya belum tanda-tanda akan menikah (paling tidak belum ada laporannya dari media), Luna paham betul 'resiko' yang dihadapinya. "Dibilang perawan tua, nggak laku, nenek-nenek nggak laku, whatever-lah, udah sering saya dengar," katanya sambil mengibaskan tangan. "Nothing wrong being single," lanjutnya dengan tegas dan serius. "Being single kita tetap bisa happy, be productive. Ini adalah salah satu budaya di negara ini yang udah ada dari turun temurun yang saya nggak mungkin ubah dalam sehari," katanya dengan bijak. "Orang yang seperti saya makin banyak, sekarang. Kenapa? Karena jamannya sudah berubah, peradaban sudah mulai berubah, budayanya juga sedikit agak shifting. Jadi, orang seperti yang masih lajang, dianggap tidak normal, hanya karena saya begini. Tapi kalau saya di luar negeri, justru yang nikah muda itu udah jarang," tekannya. "Itu yang dianggap tidak normal. Jadi mana yang disebut normal dan yang tidak, itu nggak ada. As long as you happy, tergantung komunitas, community you live in, dan kebetulan saya di Indonesia, hal seperti saya itu nggak normal, nggak lazim," katanya. 

Dan apakah kondisi percintaannya ini berefek pada kebahagiannya? "Being single tidak mengurangi kebahagiaan saya sepeser pun. Sedetik pun, secuil pun," katanya tegas. Saya happy dengan keadaan apapun karena saya tidak bisa bilang, 'yah udah besok kawin', just to please everybody.It has be natural," ujarnya. Dan kebahagian menurutnya adalah: "Kebahagiaan itu, with or without people, you have to be content. Isi dulu kontennya apa, secara jiwa, hati, baru keluar," ungkapnya dengan yakin. "Dan saya belajar bahagia begini, itu nggak sehari-dua hari. It took me 30 years to learn dan aku akhirnya mengerti: oh ya, ternyata mencintai berlebihan itu nggak bahagia, ternyata keinginan untuk memiliki orang yang tidak tepat untuk kita itu juga bikin kita tidak bahagia. Jadi apa, sih? To be yourself, to content, hari ini hidup, nikmatin. Yah mungkin kita kadang-kadang susah ekonomi, tapi coba dicari solusinya. Kadang-kadang kita stress, tapi yah, udahlah. Be grateful. Itu penting banget," tegasnya.