Marshanda: The Untold Story of the Unsinkable Woman

Marshanda: The Untold Story of the Unsinkable Woman
WOOP.ID/ALEXIS CALVIN WIJAYA

Dia telah menjadi bagian dunia hiburan Indonesia sejak masih sangat belia. Selain karya-karyanya, nama Marshanda juga diwarnai dengan berita-berita kontroversi yang membuat rating gossip shows meroket. Kepada WOOP, dia berbicara tentang rumor ‘katanya Marshanda punya bipolar’, pasang-surut hidupnya dan video-video itu.

Hallo. Apakabar?” sapanya begitu kami bertatap muka di sebuah pusat perbelanjaan eksklusif di daerah Jakarta Selatan. Senyumnya yang lebar dan sumringah membuat saya sedikit lega karena sebelum menyusun janji wawancara, jujur saja saya menerima wanti-wanti dari beberapa teman sejawat tentang ‘kerapuhan’ Marshanda berkat sepak terjangnya beberapa tahun belakangan. Entah kenapa, saya menceritakan hal itu kepadanya. “Hahaha. Kenapa, sih? Karena kemarin aku lepas jilbab dan dicat merah, ya?” tanyanya, terbahak sambil mengibaskan (dengan dramatis) rambutnya sudah tidak berwarna merah lagi (hari itu brunette). 

Saya bertemu Chaca (dia tetap ingin dipanggil begitu) ketika dia masih menjadi Putri di sinetron Putri yang Terbuang. Sinetron itu menjadi daftar panjang dalam CV sinetronnya yang membuatnya menjadi bintang paling diminati setelah kesuksesan Bidadari di awal tahun 2000-an. Masih teringat jelas, saat dia dikejar-kejar wartawan untuk mendapatkan pernyataan apapun karena berita apapun tentang Marshanda saat itu adalah bagian penting dari infotainment (sampai sekarang sebenarnya, meski dengan tendensi yang sedikit berbeda).

Di suatu hari pukul setengah 4 pagi, handphone saya berbunyi dan sebuah pesan masuk. Isinya menanyakan tentang kapan hasil wawancara ini akan diterbitkan, dan pengirimnya adalah Marshanda. Saya menjawab pertanyaannya tapi juga bertanya balik: apa dia tidak tidur? Dan dijawab: tidur, kok. Hehe…. 

Ini membuat saya teringat tentang pengalaman sulit tidurnya dulu. “Aku pernah nggak bisa tidur selama dua minggu,” ucapnya. Pernyataan ini membuat saya ingin menegaskan satu hal yang selama ini menjadi legenda ‘katanya’: ‘katanya’ orang-orang Marshanda punya bipolar disorder. “Iya, aku  resmi didiagonasa bipolar disorder 2 [BP II, type 2 bipolar disorder, red.]oleh dokter tahun 2009.” Tanpa menahan diri, dia menjelaskan panjang lebar tentang bipolar disorder dan tipe yang menjadi bagian dari identitasnya sekarang ini. “Kalau aku deficit hormone serotonin di otak. Nah, karena dia nggak keluar terutama dalam kondisi under stressed, itu bisa mengakibatkan aku mood swing, oversensitive, dan kalau lagi parah, aku bisa nggak tidur-tidur, dan tahu sendiri kalau orang nggak tidur, kan? Ya suka sensi, nggak bisa kerja, dan nggak produktif,” ujarnya. Pada beberapa pasien bipolar disorder, tendensi untuk bunuh diri cenderung tinggi. “Aku belum sampai segitu, sih. Aku masih takut sakitnya!” 

Sikap ringan dan semangat membicarakan salah satu mental health disorder itu ternyata diakui tidak dimiliki Chaca waktu pertama kali resmi didiagnosa. Saat itu usianya masih 20 tahun dan sedang berada di puncak karir. “Pertama kali didiagnosa, aku nggak mau terima dan nggak mau tahu!” ucapnya dengan tegas. “Kayak ‘apaan sih, masa gue punya penyakit yang nggak bisa disembuhkan’? Karena itu kan nggak bisa disembuhkan, ya? Itu incurable, walau memang treatable.  Bahwa ada kemungkinan besar aku harus minum obat sepanjang hidup aku,” tuturnya. Marshanda mengakui bahwa keangkuhannya yang merasa seorang manusia super—bisa syuting tiap hari minimal 14 jam meski sambil sekolah—juga membuatnya sulit menerima kenyataan itu. “Dulu aku inget banget sering ngomong, ‘coba sehari ada 48 jam, gue pasti lebih senang, bisa menghasilkan ini-itu’. Tapi yah, mungkin dengan ini aku dikasih limit sama Tuhan bahwa ‘lo nggak sesuper itu’,” ujarnya dan mengaku selama syuting stripping bertahun-tahun, penyakit jarang mengunjunginya. “Dari tahun 2009 sampai 2013, aku nggak pernah mau tahu dan mau belajar apa itu bipolar. I was in denial.”

Di masa Chaca sama sekali nggak mau tahu tentang kondisinya, ada satu orang yang menurutnya memiliki sikap yang berbeda 180 derajat. “Mama. Aku ingat banget Mama itu benar-benar luar biasa tentang hal ini. Beliau tanya sana-sini, sampai subscribe di website apa untuk tahu lebih banyak tentang bipolar. Mama juga selalu mengajak keluargaku, adek-adekku untuk belajar dengan nonton YouTube. Dia selalu mengirimkan link-nya ke aku, sekali atau dua kali seminggu, tapi aku nggak pernah mau buka. Yah, intinya gitulah, aku nggak pernah mau terima, sampai 2013. Akhirnya, aku pelan-pelan mulai banyak belajar tentang psikologi, otak, tentang bipolar disorder, terus akhirnya aku mau menerima, aku bipolar dan aku open to public.”

Namun publik tidak lupa tentang Marshanda dan ibunya (yang waktu itu bertindak sebagai manajernya) sempat berada di titik nadir. Tentang hal itu, dirinya sama sekali tidak berusaha menepis, “Yah, aku menganggap itu sebagai pelajaran hidup aja ya, sebuah proses yang memang harus terjadi sampai aku bisa seperti sekarang ini,” tukasnya. Selain itu, proses yang membuatnya juga menjadi fase belajar dalam hidup adalah video-video itu, video-video yang berhasil membuat banyak orang terkesima: dari yang memakai hijab sampai tiba-tiba membukanya dan yah itu… rambut berubah menjadi merah. “Aku melakukannya dengan kesadaran penuh, bukan karena kayak ‘gue stress, dunia ini menyeramkan makanya gue lepas jilbab dan cat merah’. Hahaha." “Tapi,” lanjutnya, “keluarga cemas, apalagi saat itu aku di tengah proses perceraian. Untuk membuktikan baik-baik aja atau memang relapse, aku ke dokter dan menurutnya aku sedang on remission. Artinya, ibarat orang yang punya kanker, tiba-tiba kankernya lagi jinak. Bisa jadi karena waktu itu lingkunganku baik banget, aku jadi stabil, padahal aku nggak minum obat. Cuma karena keluargaku terlanjut khawatir, akhirnya mereka ngebalikin aku ke rumah sakit dan dikasih obat. Setelah keluar dari rumah sakit, aku coba stop minum obat lagi seperti sebelumnya dan itu udah nggak bisa. Jadi aku harus minum obat terus. Atau bisa stop, tapi harus tapper down. Istilahnya dikit-dikit, gitu. Misalnya bulan ini 100mg, bulan depan 50mg, bulan depannya 20mg, bulan depannya 5mg, jadi harus pelan-pelan,” bebernya.

Saat saya jelaskan tentang betapa melegendanya video ‘ini buat teman-teman gue’, Chaca terkesima, “Whaaaaat? Itu adalah the biggest public misunderstanding. Publik heboh dan nyangka aku gila, padahal aku dan teman-teman segengku mengganggap itu becandaan dan main-main aja. Eh, sama semua media dibilang ‘Marshanda ngamuk’. Kayak ‘serem amat gue’, padahal aku ketawa-tawa sama teman-teman. Jadi itu kayak misunderstanding, dan itu hal yang sepele. Aku nggak ngerasa itu sesuatu yang, ‘ih, malu banget gue karena video itu’,” tandasnya, lagi-lagi tak bisa menahan tawa. Selain lingkungan yang baik, keluarga dan teman-teman yang mendukung, treatment (pengobatan dan konsultasi psikiater sekali sebulan), yang membuat hidupnya “berfungsi dengan baik” katanya, adalah gaya hidup yang sehat: tidur yang cukup (wajib hukumnya, menurut Chaca), makan yang sehat dan olahraga. “Aku berusaha rajin lagi nih, soalnya lagi menggendut,” tukasnya. Saya ternganga dan berkomentar bahwa kelihatannya dia baik-baik saja. “Ini kan bajunya gede karena kamuflase buat perut, haha,” ujarnya sambil mengelus perutnya yang memang tertutup loose dress putihnya. 

Hari lain, sebuah pesan dari Chaca mendarat lagi ke handphone saya. Kali ini dia bertanya tentang judul wawancara ini—sebelumnya setelah selesai mengobrol, saya sempat mengajukan usul judul: ‘Marshanda: saya tidak gila’. Saat itu dia tertawa, tapi sepertinya dia memiliki pemikiran lain. ‘Cari yang positif’, begitu usulnya lewat pesan singkat.

Marshanda mengerti benar bahwa memiliki bipolar disorder di Indonesia bukanlah hal yang gampang. Meski menurutnya makin hari semakin banyak orang mengerti dan menerima mental health disorder, tapi masih banyak yang masih butuh dibukakan tentang hal ini. “Bipolar itu bukan berarti gila. Ini salah satu mitos yang nggak benar. Orang harus tahu bahwa meski punya bipolar, kita masih bisa berprestasi kok, masih bisa berkarya ini-itu. Ada teman-teman yang dipecat dari pekerjaannya karena perusahannya nggak mau punya orang yang mau reimburse resep buat anti-depressant, karena memiliki bipolar, misalnya. Makanya, aku berharap pemerintah, dokter-dokter senior yang suka mengadakan seminar atau kongres di daerah-daerah, untuk menyuarakan lebih gigih lagi karena makin banyak orang butuh bantuan dan nggak dapat bantuan itu. Aku cuma bisa menyebarkan yah, lewat misalnya wawancara begini, atau seminar di daerah, tapi itu kan terbatas,” ucapnya.

Untuk situasinya sendiri, Marshanda mengaku, terlepas masa ‘kelam 2009-2013’, dirinya sampai sekarang bisa membuktikan bahwa, “Aku dengan bipolar disorder, bisa lulus kuliah, tetap bisa bekerja, tetap bisa menjadi seorang ibu, membesarkan seorang anak, menjadi seorang teman, yang benar dan baik.”

Berbicara tentang anak, Chaca bercerita bahwa bipolar disorder membuatnya juga belajar untuk menjadi seorang ibu dan orangtua. Dengan adanya kemungkinan bipolar disorder menurun ke anak (“nggak banyak, sekitar 25%,” ujarnya), Chaca dan Ben (Ben Kasyafani, mantan suami dan ayah dari anak perempuan mereka yang hampir berusia 4 tahun, Sienna Ameerah) berusaha menerapkan pola asuh yang tepat. “Walaupun ada akarnya, tapi pola asuhnya benar, harusnya nggak,” ujarnya. Salah satu pola asuh yang dipelajari Chaca adalah RIE Parenting. “Satu contoh adalah ketika misalnya Sienna nangis. Dulu kan orangtua kita berusaha menghentikannya atau memberikan mainan untuk mengalihkan perhatian. Padahal, adalah sangat manusiawi untuk mengeluarkan emosi dan kita berhak melakukannya. Yang aku lakukan ke Sienna, berdasarkan pola asuh ini, adalah meng-acknowledge perasaannya, nemenin pas dia lagi overwhelming sama perasaannya dan itu adalah priceless banget! Tapi bukan juga dengan bilang, ‘nangis deh, lo, mampus deh, lo’, tapi dengan mengatakan, ‘iya, Sienna bete, ya? Sienna boleh nangis, Ibu sama Sienna. Sienna nangis dulu, Ibu temanin’,” ungkap ibu yang sedang mempersiapkan sebuah singel untuk sang anak. 

Saya lalu bertanya, jika tiba-tiba dia menangis di depan saya, reaksi seperti apa yang dia inginkan atau lebih tepatnya, jika seorang teman/ keluarga dengan bipolar disorder menangis, apa yang harus dilakukan? “Didengerin dan dianggap normal kalau kita lagi marah, sedih; anggap itu hal yang biasa. Misalnya, tiba-tiba aku nangis (Chaca mempraktekkan ekspresi menangisnya, she’s a drama queen indeed, in a good way!) Kamu bisa bilang, ‘yah udah pengin nangis ya, nangis aja’. Intinya, orang punya bipolar, kita paling pengen dianggap normal!” tandasnya.