Menelaah Ujaran Kebencian: Mengapa? Dan Jika Teman dan Pasangan Melakukannya, Harus Bagaimana?

Work
ISTOCK

Apa yang dicari saat melakukan hate speech?

Pertanyaan paling relevan saat ini: mengapa terlalu banyak kebencian di media sosial? Menghadapi hal itu di dunia nyata saja sulit, apalagi ditambah dari dunia maya? Terdengar utopis dan jadul, tapi ini sepertinya saat yang tepat memutar lagu Imagine milik John Lennon

Karena penasaran dan ingin mengurai di balik tindakan ujaran kebencian atau speech ini, WOOP bertanya bantuan Tania Savana Sari, S.Psi, M.Psi, Psikolog dari Yayasan JaRi.  

WOOP: Biasanya, apa yang menyebabkan seseorang melakukan hate speech di media sosial?

Tania Savana: Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa menulis atau memposting sesuatu yang berupa tulisan, tulisan dengan gambar atau juga dengan video merupakan salah satu bentuk mengekspresi pikiran dan emosi. Ketika di era sebelum media sosial digital, mengekspresikan pikiran masih terbilang jarang dan juga terbatas platform-nya. Sekarang dapat dikatakan bahwa hanya bermodalkan jempol dan kecepatan jari di atas layar sentuh, mampu memunculkan buah pemikiran kita dengan begitu mudah, efektif dan efisien.

Saking mudah, efektif dan efisiennya, dapat dilakukan oleh siapapun dimanapun, dan kapanpun, bahkan isinya pun bisa apa saja.

Seseorang menuliskan atau memposting sesuatu yang menyakitkan bisa dikarenakan ia ingin mengeskpresikan pemikirannya terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan standar idealnya sendiri. Bisa juga berkaitan dengan bentuk ekspresi emosi kemarahan, kesal, sedih, kecewa terhadap fenomena yang terjadi saat ini, masalah personal dengan orang lain, dimana yang terjadi tidak sesuai dengan yang ia harapkan.

Secara personal ketika ia kerap memposting tulisan yang menyakitkan, barangkali menjadi bentuk mencari perhatian dari khalayak orang banyak karena selama ini karyanya tidak kunjung diperhatikan. Diperhatikan dalam konteks sosial media bisa berupa, dibaca, dikomentari, mendapat likes, hingga dibagikan.

Tujuannya banyak, bisa untuk mendapatkan keuntungan karena postingannya bikin heboh dan akhirnya menjadi penguat untuk terus menulis dan diposting ke media sosial. Atau menjadi terkenal dan eksis, yang kemudian mendapatkan keuntungan bersifat materiil dengan mendapat kompensasi atas karyanya di suatu platform, mendapatkan endorsement, hingga diundang menjadi pembicara atas karya tulisnya tersebut. Jika ia luapkan secara konsisten dengan karakteristik diri dan tulisannya, maka akan menjadi suatu trademark diri yang mengundang para perusahaan media untuk mengundang dirinya sebagai narasumber. Di saat inilah, ia merasa memiliki kesempatan yang terbuka lebih luas lagi untuk menunjukkan dirinya sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas atas topik-topik yang sering ia tulis. 

Tapi kenapa menuliskan yang menyakitkan orang lain?

Jika tulisannya mengundang sesuatu yang menyakitkan, dapat dikatakan ketika ia menulis, tidak menggunakan rasa empatinya terhadap seseorang ataupun kelompok tertentu atas situasi yang dialaminya.

Kebanyakan ia akan menggunakan alasan free speech (kebebasan berbicara), untuk mengungkapkan segala pendapatnya di media sosial.

Jadi apa bedanya, antara free speech dengan hate speech (ujaran kebencian)?

Dapat dikatakan free speech, ketika kita memperbolehkan segala macam pendapat dan ekspresi diungkapkan oleh orang lain. Tidak dibeda-bedakan dan tidak ada pengecualian. Sedangkan hate speech, jika ada yang mengekspresikan berbeda dan tidak sesuai dengan dirinya, maka ia akan menanggapi atau membalas dengan kritikan yang mengandung ujaran-ujaran yang justru menyinggung. Pelaku hate speech, akan merasa bahwa dirinya memiliki nilai hidup dan moral yang paling benar dan paling sesuai di lingkungan masyarakat. Hal tersebutlah yang membuat dirinya dengan berani tampil sebagai individu yang berbeda dan membela dirinya sebagai pembela keyakinannya sendiri.

Adakah karakter khusus yang biasa mereka miliki?

Secara personal, seseorang yang kerap memposting sesuatu yang menyakitkan juga memiliki karakteristik kepribadian tertentu. Dapat dikatakan seseorang yang seperti ini memiliki kesulitan dalam mengekspresikan pemikiran dan emosinya secara bebas dan sesuai dengan norma yang ada di dunia nyata jika dibandingkan dengan dunia maya.

Pengalaman di masa lalunya dapat menjadi salah satu faktor baginya dalam mengungkapan sesuatu secara bebas, beretika dan dapat diterima di masyarakat pada umumnya. Bisa saja, ada suatu peristiwa dimana dirinya sulit untuk berbicara secara bebas, ketidakmampuan untuk mengutarakan pendapat dan bagaimana ia membawakan dirinya di lingkungan nyata ketika berinteraksi dengan orang lain.

Latar belakang pendidikan, pekerjaan, riwayat keluarga, pola asuh orangtua, interaksi dengan keluarga dan teman, dan riwayat kehidupannya hingga dewasa dapat menjadi faktor penentu perkembangan kepribadian serta perilaku seseorang muncul dalam kesehariannya.

Pertanyaan ini mungkin terdengar aneh, tapi kira-kira apakah mereka sadar dengan yang mereka lakukan? Misalnya, merasa itu sesuatu yang salah?

Konsep benar-salah diajarkan sejak usia anak awal (sekitar usia dua sampai enam tahun). Di usia itu anak juga memiliki tugas perkembangan untuk belajar membuat hubungan emosional yang lebih matang dengan lingkungan sosial, baik di rumah atau di luar rumah.

Kembali kepada bagaimana pengajaran yang diperoleh dari orangtua atau significant other kita sejak kecil. Adanya standar yang terbangun sejak kecil, terkait latar belakang keluarga, budaya, lingkungan sekitar, dan perolehan pendidikan, menjadi unsur-unsur penting dalam membangun suatu standar pribadi seseorang.

Persepsi yang terbangun juga dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan orang tersebut. Bisa saja awalnya pengajaran keluarga sesuai dengan norma yang ada, namun seiring berkembangnya zaman banyak hal yang terjadi pada dirinya, sehingga menghasilkan persepsi yang berbeda dan tampil sebagai pribadi yang unik.  

Ketika dipertanyakan apakah mereka sadar atau tidak bahwa mereka salah, bisa jadi menurut mereka yang mereka lakukan adalah benar, karena memegang standar ideal mereka sendiri, atau yang sifatnya subjektif. Apalagi kalau membawa issue free speech, pendapat pun dapat menjadi sesuatu yang dibenarkan dan sah-sah saja.

Di sisi lain, misalkan mereka sadar bahwa itu sesuatu yang salah, namun terus dilanjutkan, perlu dilihat juga pertimbangannya. Biasanya sadar bahwa hal itu salah, tapi ia tetap merasa perlu menyampaikan sesuatu dengan gamblang. Perolehan perhatian menjadi maksud utama bagi penulis. Ia juga berani mengambil resiko tinggi dengan menyadari kesalahan, namun tetap dilanjutkan untuk posting konten-konten yang menyakitkan.  

Kebiasan ini adakah hubungannya dengan kesehatan mental?

Seseorang yang menulis postingan mengenai ujaran kebencian, belum langsung dapat dikatakan memiliki gangguan kesehatan mental. Perlu adanya pemeriksaan psikologis lebih lanjut, sehingga dapat dikatakan memiliki gangguan kesehatan mental, atau gangguan psikologis. Setelah diagnosa didapatkan, maka penentuan treatment dan prognosa dapat ditegakkan untuk kebutuhan informasi kesehatan lebih lanjut.

Apa yang biasanya mereka harapkan ketika memposting atau menuliskan sesuatu di media sosial? Ketika harapan ini tercapai, kepuasaan seperti apa yang dirasakan?

Perhatian. Satu hal yang pastinya ia butuhkan adalah perhatian. Ketika satu postingan telah mendapat respon positif, apapun itu postingannya, akan menjadi penguatan untuk menulis dan memposting kembali.

Kepuasan yang diperoleh tergantung pada masing-masing penulis. Artinya, ketika memperoleh respon (perhatian) yang ia harapkan dari para warga net atas stimulus yang diberikan, maka ia kembali melakukannya lagi.

Selama ia memperoleh perhatian tersebut, ada proses belajar juga yang ia alami. Misalnya, apa saja reaksi para warga net mulai dari yang positif ataupun yang negatif; bagaimana mereka menjawab, apakah menggunakan komentar, kritik, link mengenai artikel maupun video lain, atau bahkan dalil-dalil dari kitab agama tertentu. Dari kondisi tersebut juga ia mempelajari segmentasi demografi para warga net.

Dengan proses belajar yang dilakukannya, ia juga kerap melihat tren mengenai topik atau bentuk-bentuk ujaran seperti apa yang menarik perhatian warga net. Jika kita lihat sekarang, bahkan portal berita besar memasang judul yang diambil dari pendapat warga net mengenai keadaan seorang tokoh tertentu. Bukan lagi judul yang sifatnya berat dan kaku. Hal tersebut dengan maksud menarik perhatian untuk dibaca bahkan dibagikan di sosial media.

Menjadi seseorang yang dipandang sebagai pelopor atau salah satu pencetus suatu pemberitaan, adalah hal yang menyenangkan jika mendapat suatu respon yang memperkuat eksistensi dirinya di dunia media sosial. Maksud awalnya bisa saja, hanya sekedar ingin membagikan sebuah berita yang layak untuk dibagikan karena konten yang bermanfaat atau juga ingin menunjukkan cerminan dirinya sebagai warga net yang aktif dan serba mengetahui sesuatu yang update. Nah, di saat-saat seperti inilah, seringkali berita hoax pun tersebar. Tidak menutup kemungkinan berita yang mengandung ujaran kebencian pun tersebar dengan sangat mudah.

Penulis dapat melihat fenomena ini sebagai peluang baginya menyebarluaskan ide-idenya yang berbeda kepada khalayak ramai. Apalagi, berita yang ia buat merupakan hal baru dan belum pernah ada yang membahas atau bahkan berani membahasnya.

Apakah ini bisa disebut sebuah kecanduan?

Kecanduan adalah ketika seseorang mengkonsumsi atau melakukan sesuatu yang memberikan efek menyenangkan bagi dirinya.

Jika kegiatan menulis dan memposting sesuatu yang menyakitkan ini memberikan kesenangan karena keinginannya untuk mendapat perhatian telah tercapai, maka ia akan melakukannya lagi. Bahkan akan meningkatkan kuantitas tulisan yang belum tentu terjamin kualitasnya.

Ia menjadi lupa akan dampaknya terhadap orang banyak akibat perbuatannya, karena ia berpikir dengan memposting lagi ia akan mendapatkan keuntungan lainnya. Ia akan terjaga dan terus mengawasi pergerakan respon dari warga net terhadap tulisannya. Dengan begitu ia akan menyiapkan bahan untuk pembelaan dirinya ketika terjadi ajang perdebatan.

Situasi tersebut dapat dirasakan sebagai sesuatu yang menantang dan memicu adrenalin, terutama melatih keberanian dan strategi untuk perlindungan diri hingga rencana penulisan selanjutnya.

Perlu dilihat juga, dasar dari keinginannya untuk memposting untuk apa, memuaskan dahaga akan “perhatian”, atau sekedar ingin mencurahkan isi hati dan pemikirannya (katarsis). Yang haus akan perhatian, akan terus mencoba memposting apapun untuk mendapat perhatian, apapun nanti bentuknya.

Beberapa yang sering melakukan hal ini, sepertinya memiliki 
"kehidupan pribadi dan sosial yang normal", punya teman, pekerjaan, istri, anak, keluarga. Terkadang membuat bingung karena sepertinya "kok bisa mereka masih memiliki waktu untuk memposting hal-hal seperti itu?"

Sebenarnya tergantung pada kehidupan pribadi masing masing. Terutama terkait bagaimana ia mengelola waktu, keuangan dan interaksi dengan keluarga ataupun dengan kolega.

Jika belum berkeluarga, ia memiliki waktu personal untuk dirinya sendiri—bahkan sepanjang waktu untuk dirinya sendiri di media sosial. Terutama jika ia merupakan individu yang memiliki kesulitan untuk menjalin hubungan dengan orang lain secara mendalam. Media sosial merupakan sahabat terbaiknya untuk berkeluh kesah, dengan bebas dan terbuka. Belum tentu ia akan mengungkapkan maksud pemikirannya secara bebas jika di depan orang secara langsung. Ia akan menjaga perkataan dan sikapnya. Bahkan ada juga yang untuk menatap mata dengan orang lain secara langsung pun belum tentu berani.

Apabila ia sudah berkeluarga, namun nampak memiliki waktu banyak untuk melakukan kegiatan aktif disosial media, perlu diihat juga, barangkali memang memposting sesuatu di media sosial merupakan pekerjaan baginya. Salah satu kegemarannya menulis, menjadi pekerjaan karena melihat peluang bagus dari kegiatannya ini.

Bisa juga, pihak keluarga sama sekali tidak mengetahui apa yang dilakukan orang ini jika berkaitan dengan media sosial, karena bisa saja ia menggunakan nama samaran untuk menyembunyikan identitas aslinya.

Individu yang dengan berani memposting sesuatu yang menyakitkan dengan nama asli, juga dapat diketahui secara terang-terangan oleh keluarganya. Namun, keluarganya tidak dapat melakukan apa-apa karena bisa saja tidak terlalu paham akan dampak selanjutnya yang diakibatkan oleh postingannya.

Kehidupan pribadi yang normal seperti orang orang pada umumnya, dapat dikatakan juga individu ini mampu melihat norma yang sesuai dengan lingkungan di masyarakat sekitar.

Di zaman sekarang yang serba digital ini, keterlibatan diri di lingkungan masyarakat tidak dilakukan oleh semua orang. Kalaupun ada keterlibatan yang terlihat, belum tentu dilakukan secara sering dan mendalam. Celah itulah yang dapat dimanfaatkan agar masih dapat terlihat normal, seperti pada umumnya. Hanya saja kehidupan secara media sosial belum tentu semua bisa terdeteksi oleh orang banyak, mengingat banyak filter keamanan yang disediakan oleh akun-akun tersebut. Artinya, di dunia media sosial masih lebih dapat dimanipulasi dibandingkan di dunia nyata, sehingga terasa lebih aman untuk bebas berekspresi.

Adakah yang bisa dilakukan teman dan keluarga, jika mendapati 
seseorang melakukannya? Langkah-langkah apa yang sebaiknya diambil?

Jika kita mendapat seseorang melakukan hal tersebut, sebagai orang terdekatnya, kita dapat:

  1. Memantau terlebih dahulu, sejauh mana konten postingan yang kerap ia unggah di akun sosial medianya.
  2. Lihat  polanya dalam melakukan pengunggahan postingan. Kapan, berupa apa, di fitur yang mana, dan di akun apa saja. Lalu bagaimana ia menanggapi postingan orang lain atau bahkan kritisi orang lain terhadap postingan dia sendiri.
  3. Tegurlah secara personal. Jika kamu merasa postingan yang diunggah merupakan hal yang meresahkan, dapat ditegur secara personal. Akan lebih baik juga secara langsung, yaitu diskusi tatap muka. Tanyakan baik baik, alasannya, maksud dari postingan itu, sumbernya, bagaimana ia dapat mendapat alur berpikir dalam menganalisa topik yang ia bahas dalam postingan, bagaimana perasaannya terhadap topik atau tokoh yang sedang ia bahas dalam postingannya tersebut.
  4. Diskusikan mengenai dampak. Bicarakan mengenai kemungkinan resiko yang didapat setelah mengunggah postingannya. Konsekuensi positif dan negatif yang mungkin ia peroleh hingga orang lain.
  5. Jika ia bersikukuh mengenai tindakannya, kamu dapat mengungkapkan perasaanmu sebagai orang terdekat ketika membaca postingannya. Kekhawatiran, ketakutan, keresahan, bahkan harapan, terhadap tindakannya tersebut.
  6. Sediakan waktu. Bisa saja, ketika ia kerap memposting sesuatu yang menyakitkan, merupakan ekspresi kemarahan terhadap sesuatu di dunia nyata, dan termanifestasi melalui postingannya itu. Bisa jadi ia butuh perhatian dan kasih sayang atas dirinya, secara fisik dan psikis dari orang terdekatnya.
  7. Bantu dia alihkan perhatiannya ke hal lain yang sekiranya sama memberikan benefit untuknya. Ajak bersosialisasi dengan orang orang sekitar, ajak ikut komunitas, dan berolahraga bersama. Jika ia merupakan pasanganmu, ajak untuk memperbaiki hubungan bersama pasangan, lakukan aktivitas berdua yang lebih menyenangkan untuk mempererat hubungan.