Mengapa Kamu Sebaiknya Tidak Mengumbar-umbar di Media Sosial

Mengapa Kamu Sebaiknya Tidak Mengumbar-umbar di Media Sosial
ISTOCK

Reputasimu bisa rusak.

Kita pasti punya teman, kenalan, seseorang yang memiliki kebiasaan ini (jika tidak punya, kemungkinan besar kamu yang sering melakukannya) : menuliskan sesuatu di media sosial—kesannya merendah tapi sebenarnya meninggi. Biasanya, kalimat yang dituliskan akan dimulai dengan, "Saya merasa sangat terhormat/ tersanjung/ bangga... bla bla bla (diikuti dengan prestasi/pencapaiannya baru-baru ini). Alias, mengumbar. 

Seorang profesor pemasaran dari Rice University, Utpal Dholakia, menuliskan di Psychology Today bahwa "membagikan peristiwa-peristiwa positif dan prestasi dalam hidup kita sendiri, merupakan sesuatu yang bagus dan membuat kita bahagia." Misalnya, tentang kenaikan jabatan, pernikahan, kelahiran anak; dengan melakukan ini "kita memberikan pengetahuan positif dan berguna tentang diri kita sendiri yang meningkatkan kebahagiaan semua orang." Nah, namun menurutnya ketika "berbagi tersebut dilakukan bukan untuk membagikan kebahagiaan, melainkan utamanya karena ingin memicu rasa iri, atau emosi-emosi negatif lainnya, dan tidak memiliki informasi yang berguna untuk audiens, ini akan menjadi disfungsional," lanjutnya di dalam publikasi yang sama.

Dalam konteks profesional, misalnya. Jika kamu menuliskan "dengan sangat bangga memberitahukan bahwa bukuku akan terbit sebentar lagi"—informasi ini akan berguna untuk yang membaca postingan tersebut, bahkan orang yang tidak dikenal. Sebaliknya, jika menuliskan "bukuku paling banyak dikutip di acara X"—informasi ini tidak memberikan kontribusi positif. 

Apakah kamu pernah/sering melakukannya? Dhokalia memaparkan bahwa saat seseorang mempraktekkan kebiasaan mengumbar, berkoar-koar di media sosial dalam konteks profesional, ada konsekuensi-konsekuensi negatif yang akan dialami. Antara lain:

1. Kebiasaan ini memperlihatkan sifat negatif si penulis. Masalah utamanya, "biasanya mereka tidak tahu bahwa mereka pengumbar."

2. Banyak orang menjadi tidak suka padanya. "Pada intinya, orang-orang tidak suka pengumbar dan menganggap mereka menyebalkan, fenomena ini disebut hubris hypothesis. Ketidaksukaan ini berdasarkan kesimpulan bahwa para pengumbar memiliki sebuah pandangan negatif tentang setiap orang di sekelilingnya," tulis Dholakia. Postingan sejenis ini seperti ingin mengatakan "saya lebih baik daripada kamu."

3. Memiliki "teman-teman palsu". "Para pengumbar ini menarik perhatian orang-orang yang ingin mengambil hati, yang biasanya berstatus lebih rendah dan memiliki maksud tersembunyi saat ingin menjalin atau menjaga hubungan dengan mereka." 

4. Reputasi rusak. Sulit untuk mengetahui setiap orang yang membaca postingan kita tersebut, bisa teman, bisa juga orang asing. Jadinya, "tidak ada yang tahu seberapa bahayanya postingan yang sembrono atau berlebihan tersebut terhadap reputasimu," lanjut Dholakia. 

Akan tetapi, bukan berarti tidak ada sisi lebih dari mengumbar. Dholakia menuliskan bahwa beberapa studi menyimpulkan bahwa para pengumbar ini seringkali dianggap sebagai seseorang yang lebih kompeten, "inilah sebab utama kenapa orang mengumbar. Akan tetapi, ini hanya berlaku pada kasus ketika orang lain tidak memiliki informasi lain tentang sang pengumbar." 

Menilik dan mempertimbangkan semua opsi tersebut, Dholakia menyimpulkan bahwa "kita semua mempromosikan diri di media sosial dengan satu dan lain cara." Ini biasanya kita lakukan untuk menyampaikan pendapat, kemampuan, kompetensi dan kehebatan kita—apalagi jika ada hubungannya dengan nasib pekerjaan kita. Akan tetapi, "Kita harus hati-hati saat melakukannya. Sebaiknya cari cara untuk memaksimalkan informasi dan artinya kepada mereka yang membacanya, daripada hanya untuk mengumbar tanpa alasan yang jelas," tutupnya.