Mengapa Kita Jarang Membicarakan Bunuh Diri?

Work
ISTOCK

Dengan serius. 

Beberapa waktu belakangan kasus bunuh diri seringkali terdengar dan menjadi berita utama. Terlepas dari kita kenal atau tidak dengan individu yang melakukan bunuh diri tersebut, peristiwa semacam ini seringkali menghadirkan banyak pertanyaan di benak kita. Namun, seringkali kita menolak membicarakannya dengan serius atas dasar satu dan banyak alasan. WOOP bertanya kepada Mellia Christia, M. Si., M. Phil., Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tentang subjek yang sensitif ini. 

Mengapa kita jarang sekali membicarakan buruh diri? Menyebutnya pun seperti takut, seperti sesuatu yang tabu?

Bunuh diri terjadi karena disebabkan oleh banyak hal, dan salah satunya adalah karena masalah psikologis yang menjadi faktor resiko terjadinya bunuh diri. Masalah psikologis sendiri sudah memiliki stigma negatif di masyarakat, sehingga ketika bunuh diri terjadi karena masalah psikologis yang menyebabkannya, maka stigma pada bunuh diri pun melekat. Selain karena gangguan mental, bunuh diri juga kerap kali menjadi tabu karena dikaitkan dengan ajaran agama yang melarang seseorang melakukan bunuh; sehingga orang yang melakukan bunuh diri ataupun keluarga yang ditinggalkan mendapatkan stigma karena melanggar ajaran  agama. Bisa dibayangkan bagaimana seseorang yang melakukan bunuh diri akan dianggap melakukan perbuatan dosa, demikian juga dengan keluarga yang akan mendapatkan stigma negatif karena salah satu anggota keluarganya melakukan bunuh diri. Jika bunuh diri berhasil, maka keluarga yang ditinggalkan akan mendapatkan stigma. Selain menghadapi duka cita, keluarga juga menghadapi stigma yang ada di masyarakat.

Seringkali ketika seseorang bunuh diri, kebanyakan pihak lain merespon dengan nada tidak percaya. Sebenarnya, bisakah tendensi seseorang yang ingin bunuh diri dideteksi dari awal? Apakah sebelum komit melakukannya, mereka biasanya sudah mengirimkan signal-signal tertentu?

Seseorang yang akan melakukan bunuh diri biasanya bukan terjadi tiba-tiba. Ada serangkaian tanda-tanda yang terjadi sebelumnya, misalnya ada masalah psikologis yang awalnya ringan, tapi kemudian karena tidak ditangani dengan baik maka menjadi semakin serius dan parah.

Bunuh diri sendiri merupakan suatu continuum, yang dimulai dari
pikiran-pikiran bunuh diri, melakukan perilaku-perilaku menyakiti diri
sendiri, dan akhirnya melakukan tindakan bunuh diri. Jadi,
yang penting dilakukan adalah mengenali jika ada orang-orang di sekitar
kita yang menunjukkan perilaku-perilaku seperti mengucapkan adanya keinginan bunuh diri, menunjukkan kehilangan harapan atau pesimisme, adanya perilaku-perilaku menyakiti diri sendiri, emosi yang cenderung sedih terus menerus, dll.

Yang dapat dilakukan adalah melakukan pendekatan kepada mereka, mengajak mereka untuk bicara dan sharing, dan jika keadaannya sulit ditangani, maka bisa dilakukan pemeriksaan pada tenaga kesehatan
mental profesional.

Seringkali ketika mendengar seseorang bunuh diri, kita merespon, "Apa ya, yang sebenarnya dipikirkan mereka?" Selain itu, adakah perbedaan antara kasus yang terjadi pada orang muda dengan kaum dewasa?

Seseorang melakukan bunuh diri ketika ia mengalamai masalah dan merasa tidak memiliki pilihan pemecahan masalah dalam hidupnya. Jadinya ia memilih mengakhiri kehidupan karena biasanya tekanan masalah dirasakan sangat berat. Selain itu, biasanya orang-orang tersebut merasa bahwa ia tidak dapat melihat masa depan secara positif (pesimis).

Pada budaya-budaya tertentu, seperti Jepang, dimana harga diri pribadi sangat penting, dan betapa pandangan masyarakat mengenai diri seseorang sangat krusial, maka ketika harga diri itu terancam dan untuk menghindari rasa malu dan penilaian negatif secara sosial, maka bunuh diri merupakan cara untuk mengatasinya.

Masa muda memang masa yang cukup rentan terjadinya bunuh diri, karena merupakan periode pencarian identitas, sehingga ketika perkembangannya tidak menumbuhkan pribadi yang sehat, dengan konsep diri negatif dan harga diri yang rendah, maka kehidupan remaja menjadi masa yang berat. Remaja tanpa adanya dukungan sosial yang tinggi dan kemampuan untuk menghadapi masalah dan stress dengan konstruktif, maka dapat menimbulkan perasaan tidak berdaya, pesimis terhadap masa depan. Lalu sangat mungkin perilaku-perilaku bunuh diri muncul. Pada orang dewasa, dimana kematangan dan identitas pribadi sudah terbentuk, maka kemampuan menghadapi masalah dan ketahanan stress juga menjadi lebih baik.

Apakah gender mempengaruhi tendensi melakukan bunuh diri? Misalnya, perempuan lebih besar kemungkinannya atau sebaliknya? 

Berdasarkan penelitian yang ada, memang bunuh diri lebih banyak
dilakukan oleh laki-laki daripada perempuan. Salah satu hal yang dapat menjelaskan hal ini adalah karena kecenderungan laki-laki untuk menyimpan sendiri permasalahannya, sedangkan perempuan lebih mau berbagi ketika menghadapi masalah. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya masalah, sehingga lebih dapat ditangani, daripada hanya disimpan sendiri. Laki-laki juga kurang dapat mengekspresikan emosinya secara terbuka dibandingkan perempuan.

Ada yang bilang bunuh diri itu bisa jadi faktor genetik. Benarkah?

Yang dipengaruhi oleh faktor genetiknya bukanlah bunuh dirinya, tetapi
faktor penyebab atau predisposisinya yang menyebabkan seseorang
melakukan bunuh diri. Meskipun demikian, faktor genetik saja bukan
satu-satunya faktor penyebab. Ada banyak faktor lain seperti
pengaruh lingkungan, proses belajar, dll, yang jika dilengkapi dengan
faktor genetik dapat mencetuskan masalah tertentu.

Sebenarnya adakah yang bisa kita lakukan sebagai masyarakatterhadap isu mental health ini? 

Berdasarkan penjelasan di atas, sebagai masyarakat yang bisa
dilakukan adalah bagaimana mendeteksi permasalahan psikologis secara awal, sehingga dapat diberikan intervensi sedini mungkin, dan tidak membuat masalah menjadi lebih parah.

Selain itu dalam hal stigma yang melekat pada bunuh diri, dapat dilakukan dengan meminimalisir pemberitaan yang cenderung menyudutkan, memberikan judgement negatif pada orang yang melakukan bunuh diri dan keluarga yang ditinggalkan. Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental merupakan hal yang paling minimal yang dapat kita lakukan.

Dukungan dari keluarga, teman dan lingkungan sosial
merupakan hal yang paling penting untuk orang-orang yang memiliki
kerentanan untuk melakukan bunuh diri. Beberapa hal yang bisa dilakukan dan diperhatikan saat membantu mereka misalnya sebagai berikut:

1. Anggap semua ancaman bunuh diri adalah sesuatu yang serius. Meskipun hanya bentuk "cry for help", tetap harus ditanggapi dengan serius, tetap berikan pertolongan, misalnya dengan mendengarkan secara serius. 

2. Sebagai penolong berusaha melakukan yang terbaik untuk membantu menyelamatkan hidup orang lain. Namun, penolong tidak bertanggung jawab terhadap setiap keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh orang yang akan ditolong. 

3. Saat melihat tanda-tanda: lakukan cross check. Tanyakan: "Dari ceritamu, saya menangkap kesan bahwa kamu sempat berpikir bunuh diri. Benarkah?" Jangan takut untuk konfrontasi terlebih jika pertanyaan tersebut tepat untuk ditanyakan. Dan seseorang tidak akan bunuh diri, hanya karena pertanyaan yang berkaitan dengan bunuh diri. 

4. Pergunakan ambivalensi yang bersangkutan untuk mendukung dorongan untuk tetap hidup. 

5. Sebagian besar pemikiran bunuh diri hanya bersifat sementara. Pemikiran bunuh diri yang kuat akan bertahan satu waktu tertentu, tapi tidak untuk selamanya. Bantu membuat perencanaan jika pikiran tersebut muncul lagi di waktu mendatang. 

6. Sebagai penolong, kita harus ingat bahwa ada dampak jangka panjang dari perasaan sakit yang mendalam.

7. Segera minta bantuan profesional jika menyadari bahwa seseorang kemungkinan akan melakukan bunuh diri. Jangan membuat keputusan sendiri dalam situasi seperti ini.