Mengapa Sangat Mudah Menghakimi Orang Lain (Padahal Tidak Kenal)

Mengapa Sangat Mudah Menghakimi Orang Lain (Padahal Tidak Kenal)
ISTOCK

Kita seringkali merasa paling benar dan tahu segalanya.

Satu hal yang lebih gampang dan cepat dibandingkan masak telor dan mi instan: menghakimi orang lain. Lidah memang tidak bertulang, apalagi hati. Mengapa kita begitu tangkas dan sangat "berinisiatif" saat menilai seseorang? Padahal, seringkali, jangankan kenal, melihat pori-porinya saja baru hari itu!

"Ya memang, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah lepas dari membuat penilaian. Dari sejak bangun tidur, kita sudah dihadapkan pada ragam situasi yang menuntut kita untuk menimbang risiko, untung-rugi, dan kewajaran dalam bertindak pada situasi tertentu," jelas Irene Raflesia, S. Psi, M. Psi., psikolog klinis dewasa dari Klinik Pelangi, Cibubur. Menurutnya, dari memulai hari saja, kita sudah menilai apakah akan berangkat atau tinggal di rumah, pakai baju model dan warna apa, pergi sama siapa, naik apa dan bahkan sampai rumah jam berapa. "Penilaian ini juga sering kita terapkan tak hanya pada diri sendiri tetapi juga terhadap orang lain. Misalnya, ada rekan kerja yang selalu pulang larut malam padahal sejauh yang kita ketahui, tak banyak kerjaan yang perlu diselesaikan. Nah, situasi ini tak jarang menimbulkan dugaan-dugaan yang belum tentu sesuai dengan kenyataan yang terjadi.”

Manusia memang salah satu mahluk paling kreatif. “Ragam dugaan pun ada di dalam benak kita. Dalam situasi seperti ini, kita menjadi sulit untuk membedakan apakah kita memberikan penilaian atau justru malah menghakimi orang lain,” kata Irene.

“Saking seringnya memberikan penilaian, terkadang lupa bahwa penilaian kita itu sifatnya subjektif. Artinya, kita membuat penilaian berdasarkan situasi yang diketahui dari sudut pandang, keyakinan, dan pengalaman pribadi kita saja. Bisa jadi di kebanyakan waktu, kita sebetulnya tidak punya data yang cukup, tapi kita sudah mengambil kesimpulan sendiri,” lanjutnya.

Contoh paling gampang adalah media sosial dan dunia maya. Berbekal satu postingan, satu foto atau satu video, atau satu siluet, seringkali penilaian negatif yang cenderung lebih cepat muncul. Misteri apakah ini?

“Begini, otak kita dirancang untuk lebih peka terhadap pengalaman-pengalaaman negatif,” ujarnya. Serius? “Leluhur kita terlatih untuk mewaspadai bahaya lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Hal inilah yang secara turun-temurun membantu mereka bertahan hidup dan mewariskan hal ini kepada generasi penerusnya. Hal ini juga dibuktikan oleh penelitian John Cacioppo, PhD., dari University of Chicago, yang menunjukan adanya peningkatan aktivitas sel otak ketika ditunjukkan stimulus negatif.”

Irene melanjutkan bahwa penelitian tersebut membuktikan bahwa sikap kita lebih dipengaruhi oleh informasi negatif ketimbang informasi yang bersifat positif atau netral. “Dengan demikian, tak heranlah kita kadang secara tak sadar terjebak dalam memberikan penilaian yang negatif baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Ya, pada dasarnya, proses penilaian ini bertujuan untuk melindungi diri kita dari hal-hal yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan bagi diri kita,” maklumnya. 

Bagaimanapun sesuatu yang berlebih memberikan efek negatif—sama halnya terlalu sering menilai negatif orang lain. Untuk itu, tetap harus dan perlu mengenali tanda-tanda apakah kita terlalu sering memberikan penilaian negatif atau menghakimi orang lain. Berikut tanda-tanda yang harus kita kenali:

  1. Kita seringkali membuat penilaian buruk terhadap moralitas orang lain.

  2. Kita memiliki sistem penilaian tidak terstandar dan fokus pada kepentingan pribadi atau kelompok. "Misalnya, kita boleh sedangkan orang lain tidak boleh."

  3. Kita seringkali mengambil kesimpulan negatif secara sepihak terhadap orang lain.

  4. Kita terlalu sering mengambil kesimpulan terburu-buru, hanya berdasarkan pada satu tindakan saja. "Yaitu, menilai moral orang buruk berdasarkan satu kejadian, bukan menilai tindakannya yang salah."

  5. Kita jarang mempertimbangkan situasi, data, pengalaman, sistem nilai, keyakinan, dan sudut pandang orang lain yag terlibat serta merasa paling tahu tentang situasi tersebut (padahal tidak berkaitan secara langsung).

“Tentunya, penilaian negatif dapat merusak pandangan kita terhadap diri sendiri, orang lain dan juga memberikan pengaruh buruk terhadap keharmonisan di lingkungan sekitar. Belum lagi jika penilaian ini kita sampaikan pada orang terdekat kita. Ini malah akan menjadi bahan pergunjingan atau gosip tentang orang lain. Selain itu, penilaian negatif juga bisa membatasi kemampuan kita untuk memahami perbedaan dan mengurangi simpati terhadap orang lain,” tuturnya.

Susah memang untuk tidak memberikan nilai secara spontan dan otomatis—tapi bukan berarti tidak mungkin. Irene memberikan tips supaya kita belajar untuk pelan-pelan berhenti menilai negatif orang lain: