Merayakan atau Tidak Merayakan: Hari Laki-Laki Internasional (oleh Kartika Jahja)

Work
ISTOCK

Tanggal 19 November lalu adalah hari Laki-Laki Internasional. Kartika Jahja, musisi independen dan aktivitas, menuliskan pandangannya tentang apakah harus ikut atau abstain merayakan hari itu.

Kenapa saya seorang feminis?

Beberapa bulan lalu, saya pergi ke pesta mengenakan kaus dengan tulisan ‘Feminism: the radical notion that women are people’ (Feminisme: sebuah gagasan radikal bahwa perempuan adalah manusia). Kaus itu jarang saya pakai. Sebab setiap saya memakainya, sering ada komentar rese dari orang-orang yang gagal paham dengan pesannya. Namun setelah mencoba beberapa atasan, kaus itu paling keren dipadankan dengan rok tartan baru saya. Maka pergilah saya ke pesta mengenakan kaus feminis saya.

Di luar dugaan, rupanya malah cukup banyak yang menyukai kaus itu. Mulai dari tawa setuju, high-five, sampai yang menanyakan di mana saya membelinya karena ia juga mau beli. Sampai ketika sedang ngobrol santai dengan beberapa teman di satu sudut, seorang laki-laki yang saya tidak kenal menghampiri saya dan membaca tulisan di kaus saya keras-keras. Lalu katanya, “Ya, gue juga tau perempuan itu manusia. Memangnya siapa yang bilang kalian monyet?” Sebelum saya sempat merespon, teman saya lebih dahulu menyahut “Ya, tapi sering kami diperlakukan lebih buruk dari monyet piaraan, bukan?”

Laki-laki itu menjawab, “Boss di kantor gue cewek. Ibu gue lebih galak dari bapak gue. Perempuan udah bisa jadi direktur, tetap dapat tempat duduk di bus, masih kurang juga?”

Memandang dunia dengan kacamata kuda yang memblokir hal-hal yang tak sedap dipandang memang nyaman. Tapi sementara ia mempersoalkan tempat duduk di bus, perempuan menghadapi persoalan-persoalan yang lebih krusial dan nyata. Kita mulai dari statistic, ya: 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami kekerasan - baik kekerasan fisik, psikis, atau seksual. Lebih dari 100 juta anak perempuan putus sekolah karena berbagai alasan seperti pernikahan bawah umur, atau tradisi yang bias gender (contohnya, “perempuan tidak perlu sekolah, lebih baik bantu-bantu di rumah”). Lebih dari 20 juta perempuan di seluruh dunia - dewasa dan anak - diperdagangkan dan terperangkap dalam industri seks bernilai triliunan dollar. Perkosaan dan pelecehan seksual terjadi setiap beberapa menit di jalanan, kendaraan umum, bahkan ruang pribadi.

Mungkin fakta-fakta ini terasa jauh dari realita kita, perempuan-perempuan yang cukup beruntung untuk dibesarkan dengan berkecukupan, menempuh pendidikan tinggi, dan punya pekerjaan yang nyaman. Tapi nyatanya kita tidak benar-benar aman. Tahun 2012 saya pertama kali membuka diri di media cetak sebagai penyintas perkosaan. Semenjak itu sampai sekarang, sedikitnya dalam satu bulan ada 4 sampai 5 perempuan yang saya kenal maupun tidak kenal, datang ke saya dan bercerita tentang kekerasan yang dialaminya; perkosaan di rumahnya sendiri, pelecehan di tempat kerja, manipulasi seksual dari dosen, penyiksaan psikis dalam pacaran, kekerasan dalam rumah tangga, dan banyak lagi. Mereka adalah ibu, nenek, mahasiswi, asisten rumah tangga, guru sekolah, CEO perusahaan startup, penyiar radio, aktivis, dan lain sebagainya. Kekerasan terhadap perempuan tidak mengenal kelas. Dan saat seorang perempuan berani bersuara tentang kekerasan yang dialaminya, ia akan berhadapan dengan orang-orang yang menghakimi dan menyalahkannya habis-habisan.

Belum lagi hal-hal sepele yang tidak sepele dampaknya seperti lelucon seksis di media, objektifikasi tubuh perempuan sebagai alat untuk jualan produk, berbagai aturan dan standar kecantikan konyol yg dibebankan pada tubuh kita, daftarnya panjang tak habis-habis.

Jadi, pernyataan di kaus saya tidak berlebihan. Perempuan memang belum dipandang dan diperlakukan seperti manusia yang setara. Maka saya memilih menjadi feminis karena itu terasa masuk akal. Sebab di dunia di mana ketidakadilan diberlakukan sebagai norma, maka melawan norma menjadi sebuah kewajiban.

Kenapa saya meragukan Hari Laki-Laki Internasional?

Apabila hidup adalah sebuah perlombaan maraton, kita tidak lagi berada di masa perempuan dilarang mendaftar. Sekarang kita sudah boleh ikut berlomba, tapi teman-teman kita yang laki-laki mengenakan sepatu lari, sementara kita berlari dengan stilleto high heels sambil menggendong anak, menenteng pekerjaan rumah tangga, dan tetap harus tersenyum sambil berlari karena perempuan tidak boleh jutek. Berkat perempuan-perempuan pendahulu kita yang memperjuangkah hak-hak perempuan, hari ini kita sudah punya pilihan yang jauh lebih banyak untuk mewujudkan diri. Tapi PR kita masih banyak, jeung. Kita masih berada di posisi yang rentan selama patriarki masih berjaya.

Dalam masyarakat patriarkis, ada hierarki yang ditanamkan kepada kita sejak kita lahir hingga dewasa, bahwa laki-laki punya posisi yang lebih tinggi dari perempuan. Ini yang disebut privilese laki-laki atau male privilege. Laki-laki dibesarkan untuk menjadi pemimpin, dibiasakan jadi pengambil keputusan. Pendapatnya lebih didengar dan dipercaya. Ia bisa bergerak lebih bebas tanpa mengkhawatirkan pelecehan atau perkosaan, bisa mengekspresikan dirinya tanpa dibebani berbagai stigma dan penghakiman, dan ia tak dibanduli beban-beban ganda. Secara representasi, tokoh-tokoh spiritual, pemimpin, ilmuwan, dan seniman laki-laki jauh lebih banyak tercatat dalam sejarah dan dirayakan pencapaian-pencapaiannya dibandingkan perempuan yang nyaris tak kebagian jatah dalam pencatatan sejarah seakan kita tak punya peran. Kelompok seniman Guerilla Girls, bahkan pernah membuat tagline sarkastik  “Apa perempuan harus telanjang dulu agar bisa masuk ke Met Museum?” Sebab 85% objek lukisan telanjang dalam museum itu adalah perempuan, tapi tak sampai 5% seniman perempuan yang karyanya dipamerkan di sana.

Dengan ketimpangan-ketimpangan ini, tak heran jika bidang-bidang yang mempengaruhi hidup kita - ekonomi, politik, sosial, dan spiritual - masih didominasi oleh laki-laki. Mulai dari penentu kebijakan pemerintah, pemuka agama, konglomerat korporasi, penguasa media, hingga kepala rumah tangga. Kendali masih dipegang oleh laki-laki, dengan perspektif laki-laki, dan seringkali hanya menguntungkan bagi laki-laki.

Inilah kenapa tumbuh gerakan-gerakan dari kelompok marjinal seperti perempuan, buruh, masyarakat adat, LGBTQ, dll. Dalam upayanya memberdayakan diri, kelompok-kelompok marjinal ini juga menunjuk tanggal-tanggal tertentu sebagai hari untuk merayakan eksistensinya.  Menumbuhkan kebanggaan terhadap identitasnya. Sebab sehari-hari mereka hidup di dunia di mana mereka dipinggirkan dan suara mereka ditenggelamkan.

Maka ketika pertama kali saya mendengar tentang Hari Laki-Laki Internasional, jujur saya sedikit mencibir. Dengan semua yang saya sebut di atas, bukankah setiap hari adalah harinya laki-laki?

Mengapa saya berubah pikiran tentang International Men’s Day?

Beberapa tahun lalu, saya berpikir bahwa bila saya menginginkan kesetaraan gender, maka saya harus memahami dua sisinya; sisi perempuan dan sisi laki-laki. Maka mulailah saya mempelajari maskulinitas lebih dalam.

Tidak ada yang salah dengan menjadi maskulin. Tapi masalah timbul ketika maskulinitas dianggap punya derajat yang lebih tinggi dari feminitas, kemudian diidentikkan dengan hal-hal destruktif seperti kekerasan, dominasi, dan ‘alergi’ akut terhadap sisi-sisi emosional yang manusiawi.

Saya beruntung punya pasangan hidup yang juga tertarik dengan feminisme. Darinya saya banyak belajar tentang bentuk-bentuk maskulinitas yang destruktif ini. Sama seperti banyak laki-laki, ia juga dibesarkan dengan tuntutan bahwa ia harus kuat, tak boleh menangis atau mengeluh. Saat ada masalah yang membebaninya, ia tak dibiasakan untuk membicarakannya atau meminta bantuan. Sebab laki-laki diharapkan untuk bisa menghadapi masalahnya sendiri.

Dalam relasi seksual, laki-laki juga didorong untuk menjadi penakluk. Semakin banyak perempuan yang ditaklukkannya, semakin sahih kemachoannya. Dalam relasi heteroseksual, ia diharapkan untuk lebih dalam segala hal dibanding pasangannya; lebih pintar, lebih kaya, lebih kuat. “Pernah mempertanyakan nggak, kenapa ada ekspektasi umum bahwa dalam hubungan pacaran atau pernikahan, cowok harus lebih mapan dan lebih tua dari pasangannya. Atau kenapa cewek enggan berpartner dengan laki-laki yang berbadan lebih kecil darinya? Alasannya kembali ke perspektif patriarkis bahwa cowok harus lebih segalanya dibanding ceweknya. Dan yang melanggengkan perspektif ini bukan hanya cowoknya, tapi juga ceweknya,” kata pasangan saya kepada saya suatu hari. Tapi apakah semua gagah-gagahan ini menandakan bahwa cowok selalu menang? Ternyata sebaliknya.     

Tekanan yang dibebankan pada laki-laki untuk jadi spesies unggul ini pada akhirnya justru lebih banyak mematahkan mereka. Banyak laki-laki yang terlibat tindakan kriminal mulai dari pelecehan, perampokan, hingga balap motor ilegal, yang mengatakan bahwa mereka melakukan semua itu sebagai pembuktian diri. Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan tingkat bunuh diri pada laki-laki tiga kali lebih tinggi dibanding perempuan. Ketika laki-laki menjadi korban kekerasan, seringkali mereka bungkam karena tak ingin dianggap lemah atau ‘banci’. Pasangan saya dan banyak laki-laki dalam hidup saya akhirnya memilih untuk melepaskan nilai-nilai maskulinitas yang destruktif ini, dan merangkul kesetaraan.

Meskipun laki-laki tidak mengalami penindasan sistemik dan historis seperti yang dialami perempuan, mereka juga berhadapan dengan beban-beban sehari-hari yang berkaitan dengan gendernya. Dan ini perlu dibicarakan dan dicari solusinya.

Hari Laki-Laki Internasional tidak mengibar-ngibarkan bendera kekuasaan laki-laki atas perempuan, atau mengeluhkan bahwa kemandirian perempuan membuat mereka sulit mencari istri, tidak juga menuding-nuding kita sebagai feminazi. Hari Laki-Laki Internasional mengangkat tema-tema yang valid dan memang perlu disoroti; tahun ini temanya adalah menghentikan bunuh diri pada laki-laki, dan tahun sebelumnya mengangkat opsi reproduksi.

Saya berubah pikiran tentang Hari Laki-Laki Internasional, sebab sebagai feminis, saya merasa tugas saya bukan hanya menyoroti bagaimana patriarki menindas perempuan, tapi juga bagaimana ia mencabik-cabik laki-laki. Hari Laki-Laki Internasional tidak mengecilkan isu-isu yang dihadapi perempuan, sebaliknya ia juga memperjelas bahwa sistem yang menjadikan perempuan sebagai objek seksual, sebagai mahluk inferior, adalah sistem yang sama dengan yang menuntut laki-laki untuk menjadi pengejar kekayaan hiper-maskulin yang tak boleh bicara soal perasaan dan ketakutan-ketakutannya. Semakin jelas bagi saya bahwa feminisme bukan tentang perempuan vs laki-laki, tapi perempuan dan laki-laki melawan patriarki. Meski terlambat sebulan, saya ingin mengucapkan selamat Hari Laki-Laki Internasional bagi teman-teman laki-laki di luar sana yang merangkul kesetaraan. Cheers untuk kita. Full steam ahead, comrades!