Merayakan atau Tidak Merayakan: Hari Laki-Laki Internasional (oleh Kartika Jahja)

Merayakan atau Tidak Merayakan: Hari Laki-Laki Internasional (oleh Kartika Jahja)
ISTOCK

Tanggal 19 November lalu adalah hari Laki-Laki Internasional. Kartika Jahja, musisi independen dan aktivitas, menuliskan pandangannya tentang apakah harus ikut atau abstain merayakan hari itu.

Beberapa tahun lalu, saya berpikir bahwa bila saya menginginkan kesetaraan gender, maka saya harus memahami dua sisinya; sisi perempuan dan sisi laki-laki. Maka mulailah saya mempelajari maskulinitas lebih dalam.

Tidak ada yang salah dengan menjadi maskulin. Tapi masalah timbul ketika maskulinitas dianggap punya derajat yang lebih tinggi dari feminitas, kemudian diidentikkan dengan hal-hal destruktif seperti kekerasan, dominasi, dan ‘alergi’ akut terhadap sisi-sisi emosional yang manusiawi.

Saya beruntung punya pasangan hidup yang juga tertarik dengan feminisme. Darinya saya banyak belajar tentang bentuk-bentuk maskulinitas yang destruktif ini. Sama seperti banyak laki-laki, ia juga dibesarkan dengan tuntutan bahwa ia harus kuat, tak boleh menangis atau mengeluh. Saat ada masalah yang membebaninya, ia tak dibiasakan untuk membicarakannya atau meminta bantuan. Sebab laki-laki diharapkan untuk bisa menghadapi masalahnya sendiri.

Dalam relasi seksual, laki-laki juga didorong untuk menjadi penakluk. Semakin banyak perempuan yang ditaklukkannya, semakin sahih kemachoannya. Dalam relasi heteroseksual, ia diharapkan untuk lebih dalam segala hal dibanding pasangannya; lebih pintar, lebih kaya, lebih kuat. “Pernah mempertanyakan nggak, kenapa ada ekspektasi umum bahwa dalam hubungan pacaran atau pernikahan, cowok harus lebih mapan dan lebih tua dari pasangannya. Atau kenapa cewek enggan berpartner dengan laki-laki yang berbadan lebih kecil darinya? Alasannya kembali ke perspektif patriarkis bahwa cowok harus lebih segalanya dibanding ceweknya. Dan yang melanggengkan perspektif ini bukan hanya cowoknya, tapi juga ceweknya,” kata pasangan saya kepada saya suatu hari. Tapi apakah semua gagah-gagahan ini menandakan bahwa cowok selalu menang? Ternyata sebaliknya.     

Tekanan yang dibebankan pada laki-laki untuk jadi spesies unggul ini pada akhirnya justru lebih banyak mematahkan mereka. Banyak laki-laki yang terlibat tindakan kriminal mulai dari pelecehan, perampokan, hingga balap motor ilegal, yang mengatakan bahwa mereka melakukan semua itu sebagai pembuktian diri. Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan tingkat bunuh diri pada laki-laki tiga kali lebih tinggi dibanding perempuan. Ketika laki-laki menjadi korban kekerasan, seringkali mereka bungkam karena tak ingin dianggap lemah atau ‘banci’. Pasangan saya dan banyak laki-laki dalam hidup saya akhirnya memilih untuk melepaskan nilai-nilai maskulinitas yang destruktif ini, dan merangkul kesetaraan.

Meskipun laki-laki tidak mengalami penindasan sistemik dan historis seperti yang dialami perempuan, mereka juga berhadapan dengan beban-beban sehari-hari yang berkaitan dengan gendernya. Dan ini perlu dibicarakan dan dicari solusinya.

Hari Laki-Laki Internasional tidak mengibar-ngibarkan bendera kekuasaan laki-laki atas perempuan, atau mengeluhkan bahwa kemandirian perempuan membuat mereka sulit mencari istri, tidak juga menuding-nuding kita sebagai feminazi. Hari Laki-Laki Internasional mengangkat tema-tema yang valid dan memang perlu disoroti; tahun ini temanya adalah menghentikan bunuh diri pada laki-laki, dan tahun sebelumnya mengangkat opsi reproduksi.

Saya berubah pikiran tentang Hari Laki-Laki Internasional, sebab sebagai feminis, saya merasa tugas saya bukan hanya menyoroti bagaimana patriarki menindas perempuan, tapi juga bagaimana ia mencabik-cabik laki-laki. Hari Laki-Laki Internasional tidak mengecilkan isu-isu yang dihadapi perempuan, sebaliknya ia juga memperjelas bahwa sistem yang menjadikan perempuan sebagai objek seksual, sebagai mahluk inferior, adalah sistem yang sama dengan yang menuntut laki-laki untuk menjadi pengejar kekayaan hiper-maskulin yang tak boleh bicara soal perasaan dan ketakutan-ketakutannya. Semakin jelas bagi saya bahwa feminisme bukan tentang perempuan vs laki-laki, tapi perempuan dan laki-laki melawan patriarki. Meski terlambat sebulan, saya ingin mengucapkan selamat Hari Laki-Laki Internasional bagi teman-teman laki-laki di luar sana yang merangkul kesetaraan. Cheers untuk kita. Full steam ahead, comrades!