Mery Kasiman: 'Pemalu Memang, Tapi Sudah Ditodong, Yah Mau Nggak Mau Nekat'

Mery Kasiman: Pemalu Memang, Tapi Sudah Ditodong, Yah Mau Nggak Mau Nekat
WOOP.ID

Pianis dan komposer orkestra ini bercerita bagaimana "menyerah" dan mencoba tantangan baru di usia 35 tahun.

Mery Kasiman seorang perempuan biasa. Punya pekerjaan tetap, seorang anak perempuan bernama Emily (saat bertemu dan bertanya berapa umurnya, perempuan cilik ini mengacungkan kelima jari tangan kanannya dengan semangat), dan seorang suami bernama Julian Marantika (pemain musik). Memakai makeup seperlunya. Saat akan memulai sesi wawancara ini, Mery berganti baju. WOOP menyediakan wardrobe (white silky frilly ruffle blouse), tapi memilih memakai bajunya sendiri karena "lebih nyaman dan dingin": sleeveless black jumpsuit. Oh well, can't argue with that. Tidak sampai lima menit, dia sudah siap. Saya berujar bahwa saya terkejut karena tidak menyangka persiapannya tidak memakan waktu lama. Mery tertawa geli dan merespon, "cuma pakai lipstik, kok." Dan, menyisir rambut atas nama formalitas. 

Namun, jika kamu tahu profesi kesehariannya, Mery bukan perempuan. Dia seorang guru (hari ini hari Guru Sedunia), tepatnya guru musik di Sjuman School of Music atau lebih tepatnya, "Saya academy director di Sjuman School of Music sudah dua-tiga tahunan ini," katanya dengan kecepatan supersonik, dalam satu nafas, suara pelan seperti malu-malu.  

Nada bicaranya tidak selalu cepat. Terkadang pelan dan hati-hati, terutama ketika membicarakan sesuatu yang lebih serius, seperti early music program. "Waktu itu pas selesai sekolah dulu, aku ngebayangin kalau misalnya... hm… apa namanya, biasanya 'kan selalu ngajar di tempat orang, atau ngajar private, belum pernah ada keleluasan untuk bikin program atau kurikulum yang aku pengen. Nah, begitu Aksan [Wong Aksan] tawarin, aku ingat ‘wah, dulu tuh, pengen bikin program, salah satunya early music program itu, yaitu anak-anak belajar musik sejak dini tapi kita combine dengan lagu-lagu anak Indonesia.' Dan waktu ditawarkan sama Aksan, dan berpikir ini merupakan ruang untuk bikin itu, yah akhirnya mengiyakan," jelasnya dengan serius. 

Seperti tenaga pengajar lainnya di sekolah tersebut, profil Mery yang terpampang di situs resmi Sjuman School of Music. Dan informasi tersebut semakin membuat perempuan satu ini tidak biasa. Lahir dan besar di Jakarta, 34 tahun yang lalu, "Eh, tahun ini 35! haha..." ujarnya sambil terbahak, sama sekali tidak bermaksud mendiskon umur. Mulai belajar piano sejak umur tujuh tahun, belajar dari nama-nama besar seperti Aning Katamsi,Benny Likumahuwa, dan Jelia Megawati Heru (serta mengikuti berbagai masterclass di dalam dan luar negeri). Menyelesaikan program master di Institut Musik Daya Indonesia dan membuat berbagai proyek (sebagian dalam bentuk big band), bertindak sebagai pianis, kibordis, komposer, dan arranger (dia menjadi salah satu pengisi acara di TP Jazz Bandung Festival 2017 tanggal 6 Oktober ini). 

Saat saya mengatakan bahwa saya pernah mencoba profesi guru, tapi hanya bertahan tiga bulan dan menyerah, dia tertawa. Harus sabar kan, ya, begitu tanya saya. 

"Haha... Dibilang harus sabar atau nggak sih, relatif, sih ya. Mungkin kalau dibandingin ngajarin anak kecil, kayaknya memang harus jadi agak sabar, sih," ujarnya seperti berusaha menaikkan ego saya yang terluka. Menurut Mery, terlepas dari "harus sabar," ada satu hal lagi yang menjadi tantangan terbesar sebagai seorang guru. "Konsistensi," katanya dengan intonasi tegas. "Jadi kan," lanjutnya, "kalau sebagai musisi kita punya banyak pekerjaan lain, maksudnya selain sebagai guru. Jadi kalau misalnya ada kerjaan main, kerjaan sebagai pianis, atau arranger, atau sebagai apa namanya, orkestrator, dan sebagainya, biasanya... hmmm ada baaanyak yang mungkin kalau sedang ngerjain ini, ngajarnya ditinggalin, atau gimana. Jadi itu kadang membuat sulit, sih. Kalau sudah komit jadi guru, apapun yang sedang kita lakukan, itu nggak ada excuse buat kita meninggalkan murid-murid," bebernya dengan nada final. 

Jika menginterpretasi biografi tadi, sepertinya... "Pernahlah, pasti pernah melakukan itu," jawabnya dengan lugas. "Cuma 'kan ada tanggung jawabnya, ya. Misalnya minggu ini udah ketahuan ini kita nggak bisa ngajar, jadi kita ganti di jam yang lain atau diganti sama guru yang lain yang sudah kita brief."

Alasannya terkadang melakukan hal tersebut? "Karena menurut aku guru tuh, juga harus berkarya sih, nggak bisa cuma guru diam doang di sekolah, nggak ngapa-ngapain. Dia harus keluar, harus main, harus bikin karya. Dia harus tahu supaya dia bisa ngebagiin lebih banyak ke murid-murid," Mery berkata panjang lebar. 

Selain itu, hal tersebut penting karena, "mereka juga akan berada di dunia itu, 'kan? Jadi kalau misalnya kita nggak pernah ada di dunia itu, nanti kita mau ngomong apa? Nanti mereka ngeliat kita juga duduk-duduk doang, nggak pernah perform. Nggak pernah ada kerjain lain. Jadi kayaknya mungkin kurang… apa ya [terdiam sejenak, seperti berusaha mencari kata-kata yang tepat]... mungkin kita bisa kasih inspirasi ke murid juga kalau kita main di konser atau main di gig, aransemen, dan lainnya."  

Dari beberapa video yang tersedia di YouTube dari penampilannya di berbagai panggung, kebanyakan musik yang dimainkan Mery adalah jazz (atau semacamnya). Apakah dia juga mendengarkan musik lain? 

"Haha, iya. Ada muridku, umur tujuh tahun, kemarin minta lagunya Despacito. Haha…," tuturnya terbahak. 

***

Mery juga pianis Potret. Sudah disebut 'kan, ya? Potret, band yang beranggotakan Melly Goeslaw, Anto Hoed, Wong Aksan, Nikita Dompas; band yang kemungkinan besar menjadi idola generasi yang besar pada tahun 90an. Mungkin akan membuatmu merasa sudah tua, tapi jangan bilang kamu tidak hapal lirik Salah dari atas ke bawah. Jangan takut, saya adalah salah satu generasi 90an yang (terlalu) bangga dengan periode tersebut dan berpendapat bahwa "tahun 90an paling T-O-P-B-G-T." Jika ada yang ingin mengutarakan keberatan dengan pernyatan tersebut, EGP. 

Beberapa tahun belakangan, band ini mulai aktif kembali dan Mery direkrut menjadi pianisnya sejak tahun 2013. Dari segi posisi di atas panggung, dirinya masih menjadi musisi yang bukan sorotan utama, atau memakai istilahnya, "seorang sideman. Mungkin karena aku memang nature-nya begitu sih, nature-nya kayak lebih di belakang," katanya berterus terang. 

Naturnya boleh saja seperti itu, tapi seringkali perubahan memiliki kekuatan lebih kuat. Jelmaannya kali ini dalam bentuk seorang produser musik bernama Jonathan "Jones" Mono, yang juga guru di Sjuman School of Music.