Narsis vs. Pede: Apa Bedanya?

Work
ISTOCK

Apakah suka selfie artinya narsis?

“Gila, gue keren banget, ya,” kata seorang teman. Ada lagi, “Eh eh, kayaknya dia suka sama gue,” ujar teman yang lainnya. Tidak usah kaget, kamu pasti punya teman macam ini. (Atau, jangan-jangan kamu yang sering mengeluarkan celetukan itu?) Sebenarnya mereka itu narsis atau terlalu pede, ya?

“Narsis sudah tentu tidak lagi asing di telinga kita semua. Istilah narsis sering dikaitkan dengan orang yang suka mengagumi dirinya secara berlebihan. Tak jarang orang yang suka memotret diri sering diberi label narsis oleh orang disekitarnya. Padahal orang yang suka memotret dirinya sendiri belum tentu memiliki kepribadian narsis,” kata Irene Raflesia, S. Psi, M. Psi., seorang psikolog klinis dewasa dari Klinik Pelangi, Cibubur.

Untuk menyegarkan ingatan, kata narsis ini berasal dari Narcissus, seorang pemburu dalam mitologi Yunani. Dalam perjalanannya, Narcissus yang hendak mengambil air untuk diminum jatuh cinta pada bayangan dirinya di permukaan air. Khawatir bayangannya akan hilang saat permukaan air disentuh, ia rela mati kehausan demi mengagumi bayangannya sendiri. “Dari cerita seorang Narcissus, seorang Sigmund Freud memperkenalkan konsep Narcissism untuk menjelaskan kekaguman berlebihan pada dirinya sendiri. Sementara itu, gangguan kepribadian narsistik ditandai dengan adanya kekaguman berlebihan pada diri sendiri, kurangnya empati terhadap orang lain, dan adanya kebutuhan untuk selalu dipuja oleh orang lain,” Irene menjelaskan.  

Selain itu, “orang dengan gangguan ini biasanya terpaku pada fantasi bahwa ia memiliki kesuksesan, kekuasaan, kepandaian, dan kecantikan yang lebih daripada orang lain, dan karenanya ia yakin bahwa ia layak mendapatkan perlakuan khusus. Namun, tak jarang ia juga merasa dunia berputar pada diri mereka dan meyakini bahwa orang lain merasa iri dengan apa yang dimilikinya,” sambungnya. 

Ibarat Bumi sebelum teori Copernicus muncul, yakni bahwa Bumi adalah pusat tata surya. Padahal, masih ada matahari.

“Orang dengan gangguan kepribadian narsistik memiliki keinginan kuat untuk menunjukkan pada dunia bahwa ia jauh lebih superior daripada orang lain. Biasanya, mereka haus akan pujian dari orang banyak,” ujar Irene. “Atau dengan kata lain, ketika mereka mendapatkan dukungan, ia akan merasa bangga luar biasa. Namun sebaliknya, ketika tak mendapatkan perhatian orang lain, ia akan merasa malu dan bukan tak mungkin bereaksi dengan cara marah dan menunjukkan agresi,” sambungnya.

Sama seperti semua hal di dunia ini, gangguan kepribadian ini juga ada penyebabnya. 

“Para ahli memandang banyak faktor yang berkontribusi pada masa perkembangan seseorang hingga ia dapat dianggap memiliki gangguan ini. Faktor lingkungan, genetik, neurobiology, dan pola asuh turut berperan dalam terbentuknya gangguan ini. Selain itu, pola asuh yang tidak konsisten, tidak peka, terlalu memanjakan, mengabaikan, kritik berlebihan, adanya trauma, kekerasan pada anak dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan kepribadian pada umumnya,” paparnya.

Rumit dan berlapis-lapis? Bisa jadi. Namun, jika dikaitkan dengan rasa percaya diri, apakah orang yang memiliki level kepercayaan diri yang tinggi bisa disebut narsis? 

Irene menjelaskan bahwa kepercayaan diri (confidence) berakar dari rasa keberhargaan diri (self-esteem). Dua konsep ini dekat, serupa tapi tak sama. “Rasa keberhargaan (self-esteem) adalah pandangan atau penilaian seseorang secara umum terhadap nilai dirinya sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Self-esteem ini terbentuk dari pikiran, perasaan, pengalaman, dan hubungan kita dengan orang lain sepanjang hidup kita,” ujar Irene.

Menurutnya, self-esteem dibagi menjadi dua, yakni yang baik dan yang buruk:

  1. Self-esteem yang baik terbentuk ketika seseorang meyakini bahwa ia berharga, kompeten, dicintai, dan diterima baik oleh diri sendiri maupun orang lain.

  2. Self-esteem yang tidak sehat terbentuk ketika seseorang percaya bahwa dirinya tidak kompeten, ditolak, tidak dicintai, dan tidak bernilai di mata orang lain.

“Ibaratnya perjalanan hidup, kadang ada kalanya situasi dan pengalaman kita menghasilkan self-esteem yang sehat (tinggi). Namun, ada kalanya juga ketika kita terpuruk, self-esteem bisa turut menjadi buruk. Biasanya perubahaan self-esteem ini sifatnya tidak secara mendadak, drastis atau cepat berubah, tapi perubahan ini lebih terpengaruh akibat masalah yang datang bertubi-tubi. Dengan kata lain, penilaian ini terbentuk dari waktu ke waktu. Ketika self-esteem kita meningkat, kita akan merasa nyaman dengan diri kita,” jelasnya.

Lalu apa perbedaan orang yang memiliki gangguan kepribadian narsisistik dengan yang memiliki rasa keberhargaan diri tinggi?

“Perbedaan utama terletak di tiga aspek: mindset yang melandasi, hubungan kita dengan diri kita, dan hubungan kita dengan dunia luar,” jawabnya. 

Irene menjabarkannya sebagai berikut:

1. Orang yang memiliki harga diri punya mindset bahwa dirinya berkecukupan, orang dengan gangguan kepribadian narsisistik mempunya mindset yang dilandasi takut akan kegagalan.

Implikasinya: pada orang narsisistik, ada dorongan besar untuk mengalahkan dan mengungguli orang lain. Dorongan untuk membuat dirinya bersinar walau harus mengorbankan orang lain. Tidak ada kata cukup bagi orang ini untuk memenangkan semua hal. Jadinya, sulit bagi mereka untuk ikut senang dengan orang lain apabila orang lain unggul pada satu hal yang diidamkan oleh orang dengan gangguan ini. Begitu pula sulit bagi mereka untuk memahami kebutuhan orang lain, karena cenderung menganggap dirinya lebih penting daripada orang lain.

2. Orang yang harga diri tinggi memiliki hubungan yang harmonis dengan dirinya, orang dengan gangguan kepribadian narsisistik punya konflik internal yang kompleks (tidak harmonis).

Implikasinya: orang yang harga diri tinggi tidak mengukur harga dirinya dengan membandingkan dengan orang lain, melainkan dengan diri mereka. Orang dengan gangguan kepribadian narsisistik selalu membandingkan diri dengan orang lain, dan bahkan merasa dirinya lebih unggul apabila mereka dapat membuat orang lain merasa berada di bawahnya.

“Dengan kata lain, orang yang memiliki harga diri tinggi lebih fokus kepada kebutuhan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Sedangkan, orang dengan gangguan kepribadian narsisistik akan lebih fokus pada dirinya sendiri,” tegasnya. 

Atau, dengan kata lain: orang yang suka selfie belum tentu memiliki kecenderungan narsistik. Sepanjang ketika berfoto, kamu memperhatikan orang-orang dan di lingkungan di sekelilingmu. Perhatikan baik-baik, jangan sampai kamu membuat orang lain terganggu, atau membuat dirimu celaka hanya karena ingin menghasilkan selfie dramatis di tepi jurang.