Novita Angie: 'Aku Melihat Sekarang, Kenyamanan Is Beyond Cinta'

Work
WOOP.ID/YOGO TRIYOGO

Penyiar radio ini bercerita tentang pernikahan beda agama, nyaman vs cinta, dan tuntutan media sosial.

"Aku memang suka ngomong, cerita—apalagi sekarang ngomong dan dibayar," celetuk Novita Angie seraya tertawa. Dia adalah tipe narasumber favorit para jurnalis. Di saat orang terkenal lain mungkin hanya akan senyum-senyum dan menjawab dengan dengan nada diplomatis ketika ditanya 'apakah sedang berdiet', Angie merespon: "Aduh, ketahuan, deh," sambil terbahak. "Ngeliat bungkusan teh di dapur, ya?" tanyanya penasaran, dan membelalakkan mata. Saya mengangguk. "Haha, sebenarnya karena merasa sudah nggak enak aja, pake baju makanya diet," terangnya dengan suara beratnya. 

Sebelum ayahnya meninggal (1 Desember tahun lalu), Angie mengaku seorang yang berolahraga rutin, "paling tidak empat kali seminggu." Namun karena kesibukan mengurusi pemakaman dan lain sebagainya, "menjadi kendor." Selain itu, "Coba sih, olahraga gila-gilaan lagi, tapi habis itu badan sakit semua! Umur memang tidak bisa bohong. Makanya coba diet dan makan sehat dulu," ucapnya seraya tertawa.

Salah satu yang dihindarinya adalah: nasi dan mie instan. Waduh, kenikmatan dunia itu! "Iyaaa," jawabnya dengan nada memelas dan ekspresi sedih. "Lagi hujan-hujan begini orang makan mie instan, jahat banget, kan?" katanya dengan nada minta dikasihini. Dan cobaannya semakin berat, karena anaknya suka makan mie. "Kalau datang kangennya, dan anakku mesan mie, aku bilang , 'Mami minta sesuap boleh?' Haha kangen!" ujarnya terbahak. 

Novita Angie memulai karirnya sebagai salah satu Finalis Gadis Sampul 1992 saat masih berusia 16 tahun. Lalu dilanjutkan dengan membintangi beberapa sinetron, pembawa acara, dan akhirnya berhasil mewujudkannya cita-cita utamanya sebagai penyiar radio pada tahun 1997, di radio Mustang Jakarta. Kenapa penyiar? "Papaku tuh, penyiar radio, radio Elshinta—tapi Elshinta jaman dulu, ya. Dari situlah, sebelum Papa punya aku, Papa sudah menjadi penyiar radio. Papa baru berhenti siaran tuh, pas... hmm..," Angie berhenti sebentar, "aku berumur 21 tahun. Lama banget! Dan aku sering bawa siaran. Ini pekerjaan yang menyenangkan, terutama karena aku suka musik, aku suka ngomong. It’s a good combination, it’s a perfect combination. Dan dibayar pula. Haha." 

Dan sampai sekarang pun, jika ada seseorang yang mendatanginya dan berujar, 'Aku dengarin kamu lho, setiap pagi,' Angie mengaku sangat, sangat senang. "It’s something like you are very passionate about, yang benar-bener cita-cita.Kalau tv, pakai body language, itu ketolong. Pakemakeup, baju bagus. Sementara di radio, kita 'busuk', lho. Kadang-kadang cuma mandi belum pake makeup, kadang juga lipstikan.Tapi orang tetap mau dengerin omongan kita, padahal masih pagi. It’s challenge. Apalagi sebelum berangkat ada problematika domestik, yah anak belum ngerjain PR-lah, si mbak tiba-tiba bilang ''ibu saya mau berhenti. Waaah...  menjaga emosi tetap stabil, itu sulit," tegas penyiar yang menyapa pendengarnya dari Senin-Jumat, pukul 6 sampai 10 pagi di acara Breakfast Club, Cosmopolitan FM. 

Dari pertama kali muncul sampai sekarang dirinya dikenal dengan nama Novita Angie, apakah itu nama sebenarnya? 

"Novita Anggraini," jawabnya dengan tegas. "Jadi," katanya sambil mengangkat jari telunjuk seperti pendongeng yang hendak memulai cerita, "balik lagi cerita Papaku waktu masih menjadi penyiar radio, lagu favoritnya adalah Angie dari Rolling Stone." Ahaaa... "Iya 'kan, sudah dapat 'kan? tanyanya dengan mata berbinar. "Jadi, pas aku lahir tahun 1975, lagu itu lagi hits banget jadi Papa tuh, selalu mutarin lagu itu, hmm," terdiam dan berpikir beberapa detik, "entah sebagai penutup atau pembuka siarannya, deh. Nah, namaku Novita Anggraini, tadinya mau dipanggil Anggi, tapi karena Papa suka lagu Angie [menepukkan tangan], dipanggillah Angie [menepukkan tangan lagi]. Gitu. Lumayanlah ya, namanya menjual. Haha," kelakarnya, terbahak. 

Sore itu Novita Angie menerima saya, atau lebih tepatnya asisten rumah tangganya, di rumahnya, karena "perkiraan waktunya salah. Tadinya mikir jam 5 pasti sudah bisa sampai di rumahlah dari syuting, tapi ternyata molor. Maaf, ya," ujarnya dengan intonasi tidak enak. Sebelum mengobrol, Angie berfoto terlebih dahulu. "Perlu ganti baju nggak?" tanyanya sambil menunjukkan wardrobe-nya hari itu: kulot hitam, T-shirt putih, scarf berwarna hijau-putih, dan white loafers. Tidak perlu, jawab saya. Dan meski sudah menjadi penyiar radio profesional, Angie masih fasih berfoto—bisa dilihat dari senyum dan telengan kepalanya. 

Satu hal yang paling mencolok (selain suara gonggongan Chihuaha—kalau memang bisa disebut gonggongan) dari rumah yang ditempati bersama suami dan dua orang anaknya yang beranjak remaja ini adalah foto bertebaran di mana-mana. Di setiap sudut dan nyaris setiap permukaan meja. "Walau ada sosial media, tetap aja rasanya nggak sah kalau nggak dicetak dan dibingkai," jelasnya. Foto bersama anak-anak, bersama 'girl squad-nya" (Ersa Mayori, Mona Ratuliu, Meisya Siregar, Nola Baldy), dan foto bersama suaminya, Sapto Haryo Rajasa. Di sebuah sudut, terdapat dua foto besar yang mengabadikan upacara pernikahannya dengan sang suami dalam busana Jawa. "Ih, masih tirus, ya," candanya, tertawa kecil. 

Tepatnya, tanggal 29 Juni 2001, hampir 17 tahun—plus lima tahun pacaran. Jika tidak salah hitung, hampir 22 tahun bersama-sama. Lama. Bukan angka kecil, terutama untuk pasangan yang menikah dengan keyakinan yang berbeda dan sudah diwanti-wanti dari berbagai pihak bahwa 'pasti bakal banyak berantemnya.' "Boook... pernikahan mana sih, yang nggak ada berantemnya,” Angie melebarkan mata. "Gila kali kalau nggak ada berantemnya, kawin ama patung kali. Mana ada sih, apalagi pas lo lagi PMS, pasti kayak macan," tanyanya dengan nada meninggi.

Sambil mengangkat jari telunjuk dan tengah, "Believe it or not, Puji Tuhan banget, dari pacaran sampai sekarang, kita nggak pernah sekalipun berantem soal agama. Nggak pernah sekalipun," ulangnya dengan nada tegas. Menurutnya pembicaraan soal perbedaan keyakinan ini dilakukannya... bahkan ketika belum resmi berpacaran. 

"Nah, ini geer banget nih, ya," ucapnya dengan nada tidak habis pikir, menggeleng-gelengkan kepala seperti tidak mempercayai diri sendiri. "Justru sebelum menikah, eh… salah sebelum pacaran," tidak bisa menahan diri, Angie terbahak, dan melanjutkan, "sebenarnya pembicaraan ini sudah aku lakukan sebelum pacaran. Jadi, sebelum kita dekat, aku bilang: ‘Gini nih, bukannya gue kegeeran, atau nakutin nih, tapi aku mau kasih tahu nih, dari awal, kalau nih nanti kita pacaran, terus akhirnya kita memutuskan untuk kawin, hmm… gue tuh nggak akan pindah agama dan gue juga nggak akan meminta lo untuk pindah agama,'" Angie menceritakan ulang "the it conversation" itu. Menolehkan kepala ke kiri selama pembicaraan, seakan-akan laki-laki yang sekarang sudah menjadi suaminya tersebut berada tepat di sisinya. 'Karena [menepukkan tangannya], buat gue agama itu very [dengan penuh tekanan], principal. Itu hubungan you personal [menunjukkan jarinya ke depan] and your creator. Jadi, nggak ada sangkut pautnya dengan yang lain. Walaupun misalnya keluarga gue akan minta lo untuk pindah agama, gue nggak akan [menggelengkan kepala beberapa kali]. Dan kalaupun [penuh penekenan] satu saat ada yang pindah agama, itu karena terpanggil. Bukan karena ada yang minta. Aku nggak akan minta dan begitu pula sebaliknya, I hope you never ask me to convert'.

Menarik nafas sebentar, lalu, "Gilaaa yah, aku berani ya, untung nggak kabur. Haha," celetuknya seperti baru tersadar betapa beraninya langkahnya memulai pembicaraan tersebut. 

Saat itu Angie masih berusia 19 tahun—dan topik sesensitif itu sulit didiskusikan bahkan untuk pasangan yang secara usia lebih dewasa. Memutar bola matanya, "Aku nggak mau buang-buang waktu, soalnya pacarku yang sebelumnya putus gara-gara beda agama. Eh.. nggak ding," ralatnya cepat, "aku putus gara-gara ketemu suamiku! Hahaha… gitu, deh." 

Meski begitu, "Cuma waktu itu kita ada yang miss, yaitu soal anak," Angie mengakui. "Itu baru kita omongin pada saat aku hamil. Tapi kesepakatannya kita keep it to ourselves, walaupun ada beberapa teman dekat yang sudah tahu. Itu yang agak telat. Untungnya learning by doing, kita udah sampai pada tahap 'sudah cukup mengerti dan mengenal satu sama lain'—jadi pembahasannya juga tanpa berantem."

Bagaimana bisa? 

"Karena kita memang menjalani ini dengan sadar bahwa kita berbeda," jawabnya dengan tegas. Dengan kening sedikit berkerut, Angie melanjutkan, "Dan mungkin balik lagi ke jaman dulu, kita tuh, diajarin PMP—Hahaha, jauh banget ya, generasinya," potongnya seraya tertawa. 

"Diajarin toleransi," lanjutnya dengan tegas. "Diajarkan banget yang namanya kerukunan beragama. Mungkin Papa dan Mama beda agama, jadi memang kerukunan beragama menghargai, toleransi, dari kecil memang terpatri dalam lubuk dan sanubariku," ujarnya sambil meletakkan tangan di dada. "Suamiku orangtuanya diplomat, banyak pergi ke luar yang mungkin membuat pikiran mereka juga sangat terbuka. Jadi walaupun taat beribadah—mertuaku sudah haji—dari awal saling menghargai. Kayak aku Natalan, dikasih kado sama mertua. Lebaran, sungkem ama mertua. Puji Tuhan sampai sekarang masih nggak pernah kita berantem soal ini sedikitpun," tegasnya. 

"Yang pasti aku tahu dari awal, apa yang dia suka dan nggak suka. Udah titik. Nggak akan aku tanya-tanya lagi. Apa yang bisa kulakukan, yah dilakuin. Aku nemenin dia saur, bangunin sholat Ied. Nggak serve something yang haram. Pokoknya saling menghargai," paparnya. 

Bagi kebanyakan orang berbeda keyakinan merupakan kondisi yang tidak bisa diperdebatkan—entah salah satu pihak mengalah, atau putus, melanjutkan hidup masing-masing dan bertemu orang lain. Kenapa waktu itu, Angie memilih suaminya?

"Orangnya pendiam, nggak banyak omong," ujarnya diikuti dengan tawa. "Dan dia banyak ngalah sih, walaupun dia orangnya keras, dia banyak ngalah," terangnya dengan intonasi yang lebih kalem

"Dan nggak tahu yah, dari awal cuma dengan dia tuh, aku berani langsung bilang, 'eh, kalau kita sampai kawin ya...' Nggak tahu ya, dari awal aku memang nyaman banget sama dia. Padahal dulu pas masih pacaran, aku ketemu dia hampir tiap hari, karena rumahnya dekat. Dan baru dia cowok yang nggak bikin aku bosan. Seriously," ujarnya dengan tatapan dan ekspresi serius. "Dan dia juga dulu, dekat sama cewek, seminggu, ah udah, ah bosan. Sebulan, udah ah. Dan aku pacar keduanya."

Sementara bagi Angie sendiri: "Dia pacar kesekian. Hahaha," terbahak. "Tapi dia pacar yang paling lama," tegasnya. 

Ada yang bilang semakin lama pernikahan, perasaan cinta akan berubah menjadi sesuatu yang lain. Apakah masih cinta?

"What is love, sih?" jawab Angie sedikit berfilosofi. "Aku aja bingung mendefinisikan cinta," ujarnya pendek. 

Terdiam beberapa detik, "Companionship kali ya," jawabnya tegas. "Pendapat itu ada benarnya, tapi begini walaupun aku lagi kesal banget sama dia, dan terlintas apa ‘gue pulang aja ke rumah ibu gue ya?' Terus kalau pulang, walaupun misalnya aku bisa melakukan banyak hal sendiri, but I know for sure I can’t live without him," ujarnya tanpa ragu.

"Waktu aku bilang itu ke dia, jawabannya dia, ‘Ah, kamu 'kan bisa hidup sendiri, lho. Bisa ini, itu, ngambil keputusan, bahkan seringkali kamu yang ngambil keputusan. Masa sih, kamu nggak bisa hidup tanpa aku?’ Begitu tanggapannya.

"Nggak tahu ya, aku merasa dialah yang bisa membuat aku tegak. Jalan. Pede. Knowing ada dia. Itu sih, knowing ada dia, he’s my number one support system, bukan hanya dalam mengurus anak—orang 'kan mengidentikkan support system dengan ngurus anak ya—bukan, in everything," tuturnya, "dalam setiap langkah yang aku ambil."

Namun, apakah tidak bisa hidup tanpa = cinta?

"Nah itu dia, apa ya, yah…," ujarnya memicingkan mata dan kening berkerut. "Apa ya… hm… memang aku mungkin menyebutnya memang sudah teman hidup, sih. Half of my life itu sama dia. Aku udah lupa tuh, half of my life yang belum sama dia kayak apa rasanya," Angie berterus terang.

"Kalau dia pergi liputan, kangennya masih ada, kadang sampai nangis. Kalau dia pergi ke luar kota atau negeri, aku nganter ke airport, masih suka nangis, lho. 'Yah, dia jauh!' Banyak hal memang yang bisa kukerjakan sendiri, tapi once aku nggak bisa, aku tahu ada dia yang selalu aku bisa rely on. Justru karena semakin lama, malah nggak bisa kalau nggak ada dia. Aku ama dia tuh, Ying dan Yang banget kali, ya. He completes me," ujarnya jujur, tanpa bermaksud sok romantis. 

Saat sang suami pergi ke Brasil untuk meliput Piala Dunia tahun 2014, thanks to technology. "Video call, Skype. Waaah, billing kita mah, teleponan tiap hari. Gilaaa!" ujarnya geleng-geleng kepala. "Dia sih, sebenarnya lebih cuek, aku yang lebih demanding! Haha."

Masih sering bilang 'I love you?'

"Masih, masih, apalagi special moment. Rasa yang pengin bilang I love you itu, masih ada. Kita juga ngebahas, kalau nanti salah satu di antara kita mati, kamu kawin lagi nggak, ya? Suamiku bilang sih, dia nggak, 'tapi kamu kayaknya iya, ya?' Abis itu, kita ketawa bareng-bareng." 

Angie terdiam sejenak, dan tiba-tiba berkata, "Menjawab pertanyaan yang tadi tentang apakah cinta akan berubah seiring usia pernikahan, aku melihat sekarang, kenyamanan is beyond cinta. Iya 'kan?" tanyanya retorik. "Nyaman tuh, sesuatu yang nggak bisa dibeli, lho. Cinta itu—kadang-kadang kita ngefans sama orang—tapi nyaman itu beda, apalagi lo udah bertambah umurnya ya. Lo bisa punya teman ngobrol, tukar pikiran, nangis, ngomongnya bisa sembarangan kalau lagi marah 'brengsek ya!''  Nyaman is beyond everything now. Lo ngurus anak, apalagi dengan misalnya nih, kadang-kadang pasti ada orang yang beranggapan, 'Siaran pagi, ngambil rapor suami'—pasti ada yang ngomong seperti itu. Eh, kalau suaminya nggak masalah, yah nggak papa. Intinya lo melakukan itu karena sudah nyaman satu sama lain.

Di satu sudut rumah Angie, terdapat satu rak buku kayu berisikan buku-buku, mulai dari peta, tentang anjing sampai bola. "Oh, itu buku suamiku dan anakku," jawabnya cepat. "Aku nggak suka baca, sih," akunya sambil terkekeh. Dan karena tuntutan profesi dan keinginan untuk tidak hanya menjadi penyiar radio ecek-ecek, Angie berusaha untuk tahu isu dan peristiwa terbaru, salah satu sumber utamanya: "suamiku," ujarnya dengan geli. "Aku tahu banyak informasi berkat dia, bukan hanya seputar olahraga, tapi what's going one, what's happening, pengetahuan umum, dan lain sebagainya." 

Pembicaraan dan tukar informasi ini biasanya terjadi di pagi hari—di dalam mobil—atau makan siang ("Ini ritual yang selalu kita usahakan lakukan setiap hari.") Selebihnya, jadwal mereka bagaikan langit dan bumi. Aryo yang berprofesi sebagai seorang wartawan bola baru bergerak ke kantor saat siang hari, pulang larut malam saat Angie hendak tidur. 

"Makanya aku selalu bilang sama anak-anak, 'Papi itu cuma bebas Sabtu dan Minggu, so please kalau diajakin Sabtu, Minggu nggak usah banyak tanya. Jangan yang, ‘ah, aku mau ini, itu,'" ujarnya sambil menggerakkan tubuh layaknya ABG yang alergi dan menolak berpartisipasi dalam acara para orangtua. 

Sesekali Angie memposting keakraban keluarga di Instagram pribadinya, "tapi sekarang jarang, karena suamiku susah difoto, dan anakku yang laki yang sudah mulai susah difoto," ujarnya dengan nada gemas. Sekalinya mau difoto, tiba-tiba si anak atau si suami meraih, misalnya sebungkus makanan ringan dan berkata 'product placement'. "Nah, kalau begitu 'kan sudah nggak mungkin diposting?" Angie dengan nada pura-pura mengeluh. 

Selebriti, orang terkenal dan media sosial memiliki hubungan simbosios mutualisme. Dan Angie mengakui hal ini bahwa seringkali calon klien mencari tahu kepribadian dan aktivitas mereka dari media tersebut. Akan tetapi, berkat postingan penuh kesadaran di akun pribadi para selebriti, membuat orang berpikir dunia pasangan selebriti itu selalu penuh cinta dan bunga-bunga daffofil'. Seperti selalu bahagia, cantik, dan mesra. 

"Nggaklah," jawabnya sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan tegas. "Tapi ini juga yang jadi obrolan aku sama teman-temanku yang berlima itu. 'Gila ya, kita tuh di-drive banget yah, sama netizen ya, dari cara kita berpakaian," ujarnya dengan nada berap-api.

Angie melepaskan jaket denimnya, dan melanjutkan, "Kayak kemarin ada satu comment yang sampai membuat kita… 'Astaga!'" ujarnya menggeleng-gelengkan kepala. 

"Jadi, kita foto ulang tahun Mona, ber-10, lagi lengkap. Aku buka aja fotonya, biar kebayang," ujarnya seraya merogoh kantong celananya dan mengambil iPhone-nya, menyentuh layarnya dan mencari-cari foto yang dimaksudkan. Ceritanya: ada seseorang di Instagram yang mengeluh karena Angie berdiri 'terlalu menempel' dengan pria yang bukan suaminya. Untuk yang satu ini, Angie agak sedikit sewot. "Jadi sekarang kalau kita berfoto ber-10, posisi harus diatur banget, nih?" tanyanya dengan nada sedikit emosi. 

"And then, we have to admit, dengan adanya sosial media memang men-drive kita, banyak yang akhirnya memilih untuk memberi apa yang mereka. They want a perfect family, OK we give that to them.They want yang… ceritanya bahagia, dikasih, diberi. Jadi kadang-kadang posting itu hanya untuk... duh, untuk memuaskan netizen, ya," ujarnya dengan nada prihatin.

"Sampai ada satu teman yang bilang, dia lagi detox karena dia sebel banget. Dia bilang, 'Nggak, lagi nggak pengen di-comment, baik bagus atau buruk. Malas'," katanya menirukan intonasi mengamuk temannya. 'Yah, kadang-kadang dunia selebritas itu juga hidup dari media sosial juga. Banyak yang akhirnya yah… yah… client juga melihat dari sosial media, kayak apa kehidupan mereka," aku Angie. 

Dan sepertinya memproyeksikan kehidupan para selebritis yang sempurna? 

"Pencitraan? Pasti ada juga," Angie mengakui dengan maklum. "Tapi ada juga kayak teman-temanku, they are a happy family, tapi balik lagi setiap keluarga pasti punya konflik yang berbeda-beda, yang mungkin nggak akan kita share di publik. Bukan karena kita ingin terlihat selalu bagus, NO," ujarnya tegas, menggerak-gerakkan telunjuk seperti seorang guru.

"Kalau aku sih, menganut paham seperti ini: kalau lagi punya masalah, misalnya kesal sama pasangan, dan mengumbarnya di sosial media, it's like sedang mengumbar aib sendiri," Angie menekankan. "Bukan karena kita nggak mau sharing, kita juga realise bahwa—apalagi kalau cuma masalah yah itu lagi-itu lagi—rumah tangga mana ada sih, yang nggak ada berantemnya!" tanyanya sedikit emosi. "Cuma kalau selama kita masih bisa menyelesaikan masalahnya, kayaknya nggak perlu di-share. Bukan karena kita maunya bagus-bagusnya aja ya, even ke teman-teman kita pun [menepukkan tangan] sometimes kita nggak share, apalagi kalau berantem hebat. Kecuali kalau ada satu permasalahan yang mentok nih, baru deh, 'Eh, what do you think?' tapi kalau masalahnya itu lagi, itu lagi yang bikin berantem, alah... udahlah," ujarnya sambil menepiskan tangan. 

Dan adakah hal-hal yang menjadi panduan postingannya sekarang?

"Sekarang sih, lebih ke baju," katanya sambil menarik nafas cukup panjang. "Berpakaian," lanjutnya, "yah, karena itu tadi, yah kita posisinya gitu aja, ada yang bilang ‘Mbak, mau nggak mau ditutup auratnya', tuturnya dengan nada sedikit geli. "Tapi itu sih, kalau aku ter-drive-nya masalah itu. Sebelum foto baju dibenarin dulu, nih. Terus aku juga nggak mau memfoto anak perempuanku dengan celana pendek, yah karena sudah tahu, tahu, yah." 

Dan jika diperhatikan, Angie memang tidak terlalu mengumbar kedekatannya dengan suami di Instagramnya. 

"Kemesraan? Nggak terlalu banyak sih, mungkin kalau lagi ada event, atau lagi liburan," ujarnya dengan nada pelan. "Balik lagi sih, people like to see something nice. Sisi positifnya adalah semoga meng-encourage orang to have keluarga yang harmonis. Bukan yang bebas dari masalah. Orang logisnya harus tahulah yah, keluarga mana sih, yang tidak ada masalahnya? Nggak pernah berantem," cerocosnya sambil mengangkat kedua tangannya. "But jika orang ingin memperlihatkan kemesraan di medsos lebih tujuannya ke 'OK, mereka bisa, why can’t we? Kadang-kadang aku pun merasa gitu, kadang aku juga berpikir ‘Mereka pasti punya masalah, ya’ tapi kalau mereka bisa melaluinya, kenapa aku nggak? Karena nggak mungkin, "katanya dengan penuh penekanan, "walaupun sahabat-sahabatku nggak cerita, tapi pasti adalah berantem hebatnya—bukan hanya berantem kecil, tapi berantem hebatnya. Pasti adalah momen-momen ‘Aduh apa gue pulang dulu ke rumah nyokap gue, ya', dengan nada putus asa dan lelah, "but we dont just share it. Dan aku tidak menganggapnya sebagai usaha mereka untuk jaim, ya. Justru respect them. Karena kalau kita lagi berantem, biasanya kita menganggap diri kita paling benar, dong? Yang kita lakukan apa? Menjelekkan suami kita dong, orang yang kita ajak berantem. Why should you talk about it?" ujarnya dengan nada tidak habis pikir. 

Dan bagaimana sesi berantem seorang Angie dan suami?

"Di saat berantem itu justru kita omongin semuanya," katanya sambil mengeluarkan suara orang sedang berantem dan berdebat intens. "Langsung saat itu juga. Ibarat kata nih, kita langsung naik ring, langsung bak-buk-bak-buk… [memeragakan dua petinju yang sedang beraksi]. Jarang diam-diam, pokoknya dikasih ‘aku sebal’, 'aku nggak suka,'" katanya dengan suara merepet. "Baru setelahnya, diam-diaman," terangnya.

"Tapi nggak lama kok," tambahnya. "Paling lama sih, waktu itu cuma dua apa tiga hari ya," kenangnya. "Suamiku tuh, udah tahu aku orang pemaaf, gampang sekali yang ‘yah udah, deh, udah’. Namun, karena gengsi aja, tetap diam. Haha. Namanya juga perempuan. Haha," ujarnya tertawa geli.