Novita Angie: 'Aku Melihat Sekarang, Kenyamanan Is Beyond Cinta'

Novita Angie: Aku Melihat Sekarang, Kenyamanan Is Beyond Cinta
WOOP.ID/YOGO TRIYOGO

Penyiar radio ini bercerita tentang pernikahan beda agama, nyaman vs cinta, dan tuntutan media sosial.

Meski begitu, "Cuma waktu itu kita ada yang miss, yaitu soal anak," Angie mengakui. "Itu baru kita omongin pada saat aku hamil. Tapi kesepakatannya kita keep it to ourselves, walaupun ada beberapa teman dekat yang sudah tahu. Itu yang agak telat. Untungnya learning by doing, kita udah sampai pada tahap 'sudah cukup mengerti dan mengenal satu sama lain'—jadi pembahasannya juga tanpa berantem."

Bagaimana bisa? 

"Karena kita memang menjalani ini dengan sadar bahwa kita berbeda," jawabnya dengan tegas. Dengan kening sedikit berkerut, Angie melanjutkan, "Dan mungkin balik lagi ke jaman dulu, kita tuh, diajarin PMP—Hahaha, jauh banget ya, generasinya," potongnya seraya tertawa. 

"Diajarin toleransi," lanjutnya dengan tegas. "Diajarkan banget yang namanya kerukunan beragama. Mungkin Papa dan Mama beda agama, jadi memang kerukunan beragama menghargai, toleransi, dari kecil memang terpatri dalam lubuk dan sanubariku," ujarnya sambil meletakkan tangan di dada. "Suamiku orangtuanya diplomat, banyak pergi ke luar yang mungkin membuat pikiran mereka juga sangat terbuka. Jadi walaupun taat beribadah—mertuaku sudah haji—dari awal saling menghargai. Kayak aku Natalan, dikasih kado sama mertua. Lebaran, sungkem ama mertua. Puji Tuhan sampai sekarang masih nggak pernah kita berantem soal ini sedikitpun," tegasnya. 

"Yang pasti aku tahu dari awal, apa yang dia suka dan nggak suka. Udah titik. Nggak akan aku tanya-tanya lagi. Apa yang bisa kulakukan, yah dilakuin. Aku nemenin dia saur, bangunin sholat Ied. Nggak serve something yang haram. Pokoknya saling menghargai," paparnya. 

Bagi kebanyakan orang berbeda keyakinan merupakan kondisi yang tidak bisa diperdebatkan—entah salah satu pihak mengalah, atau putus, melanjutkan hidup masing-masing dan bertemu orang lain. Kenapa waktu itu, Angie memilih suaminya?

"Orangnya pendiam, nggak banyak omong," ujarnya diikuti dengan tawa. "Dan dia banyak ngalah sih, walaupun dia orangnya keras, dia banyak ngalah," terangnya dengan intonasi yang lebih kalem

"Dan nggak tahu yah, dari awal cuma dengan dia tuh, aku berani langsung bilang, 'eh, kalau kita sampai kawin ya...' Nggak tahu ya, dari awal aku memang nyaman banget sama dia. Padahal dulu pas masih pacaran, aku ketemu dia hampir tiap hari, karena rumahnya dekat. Dan baru dia cowok yang nggak bikin aku bosan. Seriously," ujarnya dengan tatapan dan ekspresi serius. "Dan dia juga dulu, dekat sama cewek, seminggu, ah udah, ah bosan. Sebulan, udah ah. Dan aku pacar keduanya."

Sementara bagi Angie sendiri: "Dia pacar kesekian. Hahaha," terbahak. "Tapi dia pacar yang paling lama," tegasnya. 

Ada yang bilang semakin lama pernikahan, perasaan cinta akan berubah menjadi sesuatu yang lain. Apakah masih cinta?

"What is love, sih?" jawab Angie sedikit berfilosofi. "Aku aja bingung mendefinisikan cinta," ujarnya pendek. 

Terdiam beberapa detik, "Companionship kali ya," jawabnya tegas. "Pendapat itu ada benarnya, tapi begini walaupun aku lagi kesal banget sama dia, dan terlintas apa ‘gue pulang aja ke rumah ibu gue ya?' Terus kalau pulang, walaupun misalnya aku bisa melakukan banyak hal sendiri, but I know for sure I can’t live without him," ujarnya tanpa ragu.

"Waktu aku bilang itu ke dia, jawabannya dia, ‘Ah, kamu 'kan bisa hidup sendiri, lho. Bisa ini, itu, ngambil keputusan, bahkan seringkali kamu yang ngambil keputusan. Masa sih, kamu nggak bisa hidup tanpa aku?’ Begitu tanggapannya.

"Nggak tahu ya, aku merasa dialah yang bisa membuat aku tegak. Jalan. Pede. Knowing ada dia. Itu sih, knowing ada dia, he’s my number one support system, bukan hanya dalam mengurus anak—orang 'kan mengidentikkan support system dengan ngurus anak ya—bukan, in everything," tuturnya, "dalam setiap langkah yang aku ambil."

Namun, apakah tidak bisa hidup tanpa = cinta?