Pelecehan Seksual: Apakah Memang Terjadi Karena Cara Perempuan Berpakaian?

Pelecehan Seksual: Apakah Memang Terjadi Karena Cara Perempuan Berpakaian?
ISTOCK

Masih banyak yang menganut perspektif ini (padahal sudah 2018!). 

Satu topik yang seringkali kita bicarakan hanya ketika ada "sesuatu" (baca: kasus heboh): pelecehan seksual. Idealnya, subjek ini dimengerti oleh semua orang, tidak hanya perempuan, tapi juga laki-laki. Namun bisa dimengerti karena ini sesuatu yang sensitif dan menakutkan apalagi bagi yang pernah mengalaminya. Belum lagi jika perempuan mengungkit-ungkitnya akan dianggap lebay dan geer, "sok cantik, deh." Plus, ada anggapan bahwa pelecehan seksual terjadi karena "perempuan mau—lihat saja dari pakaiannya!" 

Oleh karena itu, Woop menghubungiZoya Amirin, seorang Psikolog Seksual, dan bertanya: seberapa pengaruhnya sih, pakaian seksi dengan pelecehan seksual? 

PELECEHAN SEKSUAL ADALAH...

"Pelecahan seksual itu sebenarnya adalah sebuah bullying ataupun coercion, artinya pemaksaan terhadap kealamian dari seksualitas," jelas Zoya. Artinya, perilaku-perilaku yang tidak diinginkan, tidak pantas, menjanjikan segala sesuatu yang berhubungan dengan pertukaran yang berhubungan dengan seksualitas. "Misalnya, 'cium dong? Kalau kamu nggak cium, ntar begini lho'. Atau, 'ayo dong, nengok dong. Seksi, seksi nengok, dong?'" ujarnya memberikan contoh. Intinya, "ada kata-kata, perbuatan, tingkah laku yang membuat si individu menjadi tidak nyaman dengan seksualitasnya." 

DAN PELECEHAN SEKSUAL JUGA SERING TERJADI DI KANTOR

"Benar sekali," Zoya mengiyakan. Menurutnya, pelecehan seksual di tempat kerja dapat dalam bentuk kata-kata atau ucapan, bahasa tubuh yang membuat orang tidak nyaman dengan seksualitasnya dan akhirnya keluar dari pekerjannya, dimutasi, atau bahkan dipecat. 

BAGAIMANA DENGAN CELETUKAN BERBAU FISIK DARI LAWAN JENIS DI KANTOR, APAKAH BISA DIKATAKAN PELECEHANAN SEKSUAL?

"Jika si individu merasa nggak nyaman, nggak disebut begitu. Kalau si orang tersebut merasa tersinggung secara seksual, maka terjadi pelecehan," papar Zoya. "Susah memang ya, tergantung bagaimana si individu menghargai batasan dirinya," tambahnya. 

ADA YANG MENGANGGAP BAHWA PELECEHAN SEKSUAL TERJADI KARENA CARA BERPAKAIAN PEREMPUAN... 

"Salah," respon Zoya dengan tegas. "Mungkin ini konsep yang sama-sama harus kita perbaiki karena masih banyak orang berpikiran bahwa pelecehan seksual itu terjadi karena perempuannya berpakaian ehm... mengundang, misalnya." Dia menjelaskan bahwa terkadang jika si perempuan memang sudah cantik dan menarik, "mau dia pakai jilbab atau karung goni sekalipun, istilahnya dia tetap cantik auranya—apakah salah?" tegasnya. "Yang harus disalahkan adalah laki-laki," tekannya.

Menurutnya, perempuan dipersilakan menggunakan pakaian yang dirasa nyaman, sesuai dengan cuaca dan sekitarnya, atau berdasarkan kepercayaan dan iman yang dia miliki," tekannya. "Kalau dia mau pakai jilbab, kita harus hargai. Kalau dia nggak mau pakai, jilbab kita harus hargai. Kalau dia mau pakai bikini atau baju renang muslim, yah kita harus hargai, dong. Jadi ketika menyalahkan perempuan karena pakaiannya itu sama saja dengan blaming the victim. Hal-hal seperti inilah yang membuat banyak orang, membuat penghargaan terhadap perempuan rendah sehingga pelecehan seksual lebih banyak terjadi. Jadi, caranya adalah berhenti menyalahkan korban."

Setiap perempuan, menurut Zoya, "pelacur sekalipun, tidak pantas dilecehkan. Mau colek pelacur, bayar dong? Kalau misalnya apakah karena dia pelacur, boleh dipegang-pegang sembarangan, 'kan nggak! Sebelumnya, harus ada semacam perjanjianlah. Jadi, intinya tidak ada seorang perempuan pun yang berhak dilecehkan hanya karena apa yang dia gunakan. Setiap individu baik laki-laki maupun perempuan, berhak menggunakan pakaian yang dianggap nyaman, sesuai dengan believe yang dia miliki, sesuai dengan kenyamanan, cuaca atau situasi. Ketika seorang individu sudah berpakaian appropriate, sesuai dengan tema pestanya, nyaman dengan seksualitasnya dan dengan tubuhnya, kita harus hargai dong. Di situlah asal budaya melecehkan atau tidaknya itu, yaitu dari penghargaan," tekannya. 

TIDAK JARANG KITA MENGANGGAP TINDAKAN ATAU CELETUKAN BERBAU SEKSUAL ITU NORMAL... 

"Karena terlalu banyak perempuan atau bahkan laki laki takut dan tertekan dengan situasi atau si pelaku pelecehan," ujarnya. "Yah serba salah gitu ya, kebanyakan celetukan itu dianggap, ehm... mungkin bukan dianggap normal sih, mungkin diacuhkan, didiamkan. Banyak orang tidak mau stand up for it karena dia merasa takut. Kayak misalnya, 'aduh gimana ya, nanti kebanyakan komentar, disalahin', atau, 'kalau komentar nanti takutnya malah terjadi kekerasan'. Jadi bukan dianggap normal, tapi memilih diam karena takut, misalnya karena pelaku pelecehan memiliki posisi, kekuatan atau apapun yang lebih.

Zoya paham betul bahwa hal ini mudah dikatakan, tapi sulit dilakukan. "Saya juga beberapa kali pernah mengalami pelecehan seksual misalnya berupa sentuhan yang sebenarnya tidak membuat saya nyaman, tapi saya cuma menghindar aja. Saya nggak berkeras gitu, untuk ngotot karena orangnya lumayan powerful," akunya. "Itu yang menakutkan juga sih, jadi saya paham. Atau kadang-kadang kalau di jalan mau negor, tapi mereka segerombolan laki-laki gitu, saya mau ngapain? Yah, saya diam aja. Tapi saya menghindar, mungkin nggak lewat jalan itu lagi—kalau saya ada pilihan. Saya akan cari jalan lain sehingga saya tidak perlu bertemu dengan geng tersebut, misalnya. Yah kayak gitu-gitu, misalnya kalau lagi jalan disuit-suitin, 'cewek, cewek, seksi banget, sih?' Mau apa, gitu? Mau datangin, mereka lagi segerombolan. 'Kan seringnya begitu dan itu 'kan menakutkan, kalau buat saya," terang Zoya.