Perempuan: Satu-satunya Harapan Dunia untuk Bisa Menjadi Lebih Baik

Perempuan: Satu-satunya Harapan Dunia untuk Bisa Menjadi Lebih Baik
ISTOCK

#HariPerempuanSedunia. #InternationalWomen'sDay. 

Hentikan apapun yang sedang kamu kerjakan atau pikirkan saat ini, untuk satu menit coba mengheningkan cipta dan bersyukur: kamu adalah seorang perempuan. Terlepas dari begitu banyak problematika menjadi wanita—PMS, tekanan untuk kurus dan memiliki rambut lurus, dibombardir pertanyaan 'kapan menikah' atau 'kapan punya anak', disuit-suitin di jalan, dll—tapi ternyata juga satu-satunya gender yang dapat menyelamatkan dunia. Well, paling tidak itu yang dituliskan oleh Mark Goulston, M.D, Clinical Assistant Professor of Medicine di Neuropsychiatric Institute UCLA. 

Menurutnya, dunia tidak memerlukan revolusi untuk membuat dunia lebih baik, tapi evolusi. Dan satu-satunya yang mampu mengevolusi sebuah tempat menjadi lebih penuh rasa kepedulian adalah para perempuan. "Laki-laki terlalu kompetitif, membutuhkan kemenangan (terkadang tidak peduli apapun resikonya), tidak bisa menerima kekalahan dan terlalu mudah dan siap digoda oleh kekuasaan, ego personal dan ketamakan," tulisnya di Psychology Today

Eits, bukan berarti perempuan sempurna, ya. Kita, para perempuan tahu benar kekurangan dan kelemahan kita. Bahkan kebanyakan wanita mengatakan kepada Mark bahwa, "perempuan paling hebat lebih baik daripada laki-laki terbaik di dunia, tapi perempuan yang jahat akan lebih kejam daripada pria terjahat di dunia sekalipun." Sebegitu mengerikannya perempuan ketika benci atau agresif dengan perempuan lain. Tidak perlu jauh-jauh, lihat saja sahut-sahutan komentar di media sosial. 

"Namun, fokus saya di sini bukan kepada perempuan-perempuan terjahat, tapi para perempuan terbaik dan apa yang bisa mereka bawa ke dunia atau yang lebih penting lagi, bagaimana [mereka] bisa mengubah dunia, yang para laki-laki—paling tidak yang versi modern—sepertinya tidak bisa lakukan." 

Namun kenapa sih, perempuan lebih memiliki kapasitas melakukan hal super besar tersebut? Sebagai seorang dokter, Goulston berargumen dari sisi medis.

Perempuan Memiliki Oksitosin dan Estrogen, Laki-laki Punya Adrenalin dan Testosteron

Sedikit bernostalgia dengan kelas biologi, oksitosin merupakan hormon yang bertanggung jawab merangsang kontraksi pada rahim saat persalinan—dan juga dikenal sebagai hormon cinta, yang berhubungan dengan keinginan untuk dekat dengan si bayi dan "bersabar dengan bayi yang terus menerus menangis, alih-alih membuangnya keluar jendela," terang Goulston. Sementara estrogen membuat perempuan ingin menciptakan sarang atau rumah, tentang "membangun komunitas dan menciptakan koneksi di antara orang-orang di sekitar mereka."

Versus: adrenalin dan testosteron pada laki-laki. "Adrenalin lebih fokus kepada kemenangan dan kekuasaan," dan tidak heran jika banyak pria diberi label "adrenaline junkie. Dan begitu mereka merasakan itu, para pria akan melakukan hal-hal tidak masuk akal untuk menghindari adrenaline crash." Lalu, ada testosteron, yang adalah lagi-lagi "tentang agresi dan bisa jadi berguna saat harus melindungi rumahnya, tapi terkadang hanya agresi tanpa alasan yang jelas," lanjut Goulston. 

Perempuan dan Corpus Callosum 

Mungkin hanya dokter atau yang berkonsentrasi saat guru biologi menjelaskan yang tahu hal ini. Intinya, seperti yang kita tahu manusia memiliki otak kiri (berhubungan dengan hal-hal rasional) dan kanan (berkaitan dengan hal-hal emosional), dan yang menghubungkan dua otak ini adalah sebuah serat konektor bernama corpus callosum. Dan coba tebak, siapa yang memiliki serat lebih tebal? "Jaringan tersebut lebih tebal pada perempuan dibandingkan pria," jelas Goulston. Artinya, artinya... "otak kiri dan kanan perempuan lebih terkoneksi dan setiap bagian bisa memitigasi efek bagian lain dibandingkan pada pria," paparnya.  

Yep, yep, banyak yang cenderung menganggap perempuan lebih emosional. Tunggu dulu, karena kurangnya koneksi antara otak kanan dan kiri para pria, intensitas baik emosi dan logika pada kaum Adam ternyata bisa jauh lebih hebat daripada perempuan. "Ini bisa menjelaskan mengapa pria bisa sangat 'dingin' dan logis dan/atau memiliki sikap yang eksplosif ketika emosi mereka terprovokasi. Ini juga menerangkan bahwa meskipun perempuan menjerit dan berteriak lebih sering daripada pria, tapi pria memilih kekerasan dan menyebabkan perang lebih sering daripada laki-laki," Goulston menuliskan. 

Jadi... presiden perempuan di tahun 2019?