Saat Anak Meminta Dibelikan MainanBagaimana Orangtua Menjawab tanpa Berbohong?

Saat Anak Meminta Dibelikan MainanBagaimana Orangtua Menjawab tanpa Berbohong?
iSTOCK

"Nanti ya, tunggu gajian."

Skenario ini sering terjadi saat orangtua dan anak melewati sebuah toko mainan: si kecil meminta dibelikan sesuatu, si ayah/ibu (otomatis atau berpikir ini adalah respon yang tepat untuk menghindari transaksi jual beli atau rengekan anak) menjawab, "bulan depan ya, kalau ayah/ibu sudah gajian." Selesai. Anak mengangguk. Keduanya berpegangan tangan dan melenggang menjauhi toko; sesekali anak melirik ke belakang, seperti mencoba mengingat posisi toko. 

Sebulan kemudian, orangtua dan anak melewati toko yang sama, dan anak dengan percaya dirinya sambil melompat-lompat masuk ke dalam toko. Mengitari toko, membelalakkan mata, meraih sebuah boneka/ mobil-mobilan dan berkata: "beli ini ya, 'kan sudah gajian," dengan mata berbinar dan senyum lebar. Gotcha! Kira-kira, apa reaksi orangtua: mengelak, beralasan lagi—atau "berbohong" dengan memakai alasan lain? Sebut saja orangtua dengan ekspresi menyesal, meraih mainan tersebut dan berkata, "gajian bulan depan, ya." 

"Hal itu sebenanya adalah kesalahan orangtua yang tidak konsisten pada jawabannya. Orangtua hanya menggunakan uang sebagai alasan untuk menghindar dari permintaan anak (untuk beli mainan misalnya), bukan untuk mengedukasi anak mengenai kondisi keuangan atau pun fungsi uang itu sendiri," kata Binky Paramitha Iskandar, seorang Psikolog Pendidikan dan salah satu pendiri Rumah Dandelion

"Hal ini justru membuat anak bingung dan dapat hilang kepercayaannya kepada orangtua karena merasa ingkar janji. Jadi kalau memang mau mengedukasi anak mengenai uang dan kondisi keuangan keluarga, beri tahulah hal yang benar, bukan hanya untuk alasan agar anak tidak beli mainan." tutur Binky. 

Eko Endarto, seorang konsultan keuangan dari Finansia Consulting berpendapat bahwa bisa jadi sebenarnya orangtua tidak sedang menyembunyikan atau "berbohong", tapi senada dengan Binky, berpendapat bahwa, "sebenarnya anak tidak akan meminta bila mereka sudah diajarkan tentang prioritas bagi kehidupan mereka." Contohnya, menurutnya jika saat masih sekolah, maka sekolah adalah prioritas anak. "Maka terapkan aturan bahwa setelah semua kebutuhan dan kewajiban sekolah selesai, maka hal lain baru bisa dilakukan dengan penghasilan keluarga," tuturnya. 

Dari sisi keuangan, Eko menyarankan agar orangtua membuat dana khusus untuk mereka, "misalnya diinformasikan bahwa si anak memiliki kewenangan dana sebesar A rupiah. Lalu minta mereka membuat list kebutuhannya dan kita evaluasi, sehingga mereka mengerti kenapa kita menolak membeli permintaannya. Jadi jangan hanya menolak dan melarang, tapi coba untuk memberikan alasan kenapa harus ditolak, dan alasan tadi sebaiknya juga berhubungan dengan dirinya," paparnya. 

Rasanya terlalu berat membicarakan uang dengan anak, terutama misalnya masih TK atau kelas 1 SD. 

"Pada dasarnya orangtua perlu memberikan penjelasan yang masuk akal —disesuaikan dengan usia anak—mengenai uang, fungsinya, dan keadaan keuangan keluarga. Misalnya di usia sekitar 5-6 tahun anak sudah mulai bisa paham uang itu apa, fungsinya untuk apa saja (beli makan, buku, sekolah, dll), ayah dan ibu kerja untuk mendapatkan uang, tetapi uangnya dibagi-bagi membeli kebutuhan sehari-hari. [Lalu dijelaskan] bahwa bulan ini ada jumlah sebesar X untuk membeli mainan," jelas Binky. 

Hanya sejumlah itu. Tidak lebih, tidak kurang. Minta anak memikirkan dengan baik mainan atau kebutuhan apa yang ingin diwujudkannya dengan dana tersebut. 

Eko menambahkan bahwa informasi keuangan keluarga yang dibagikan kepada anak akan menjadi semakin detil setelah anak berusia lebih dari 12 tahun.

"Tujuannya adalah untuk memberikan pengertian tentang bagaimana fungsi keuangan keluarga bekerja. Ada pekerjaan yang harus dilakukan, penghasilan yang diterima sebagai konsekuensi dan pengeluaran yang harus diprioritaskan. Sehingga tanpa harus disebutkan jumlah anak-anak diharapkan mengerti bagaimana kondisi keuangan keluarga," paparnya.