Sejauh Apa Kita Bisa Menerapkan Tips tentang Anak dari Social Influencer?

Sejauh Apa Kita Bisa Menerapkan Tips tentang Anak dari Social Influencer?
ISTOCK

Misalnya: imunisasi atau tidak?

Kamu melihatnya di media sosial: para selebgram memposting sesuatu dan mengklaim bahwa cara X membuat bayinya selucu dan seimut itu. Lalu, memutuskan untuk mencobanya. "Siapa tahu anakku bisa jadi selucu itu juga," begitu motivasimu. Bukan hal yang salah, tapi pertanyaannya: sejauh apa sebaiknya kita menerapkan saran dari mereka—yang sejujurnya hanya kita kenal lewat Instagram atau YouTube? Plus, metodenya terkadang tidak lumrah dan bisa jadi bertentangan dengan pengetahuan yang selama ini kamu tahu. Oopsss... 

“Untuk metode yang digunakan untuk membesarkan anak tetaplah merupakan hak prerogatif masing-masing orangtua," ujar dr. Caessar Pronocitro, Sp.A., MSc, seorang dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Pondok Indah Bintaro Jaya, Banten. "Akan tetapi, tentunya setiap orangtua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Dalam memutuskan mana yang ingin diterapkan, sebaiknya orangtua mempelajari manfaat serta dasar dari metode-metode tersebut secara teliti dan selektif,” saran Caessar.

“Di zaman modern seperti sekarang, berbagai macam informasi dapat diperoleh di internet. Dan itu tidak semua valid dan dapat dipercaya, lho. Jadi kalau memang mencari informasi, carilah dari institusi besar, seperti WHO atau dari jurnal internasional yang sudah memiliki hasil validitas yang tepat, dibandingkan sekedar pendapat dari kelompok atau individu," Caessar menganjurkan. 

Jika kamu seorang ibu, mungkin pernah mendengar tentang perdebatan: imunisasi vs non-imunisasi. Dan Caessar mempunyai pendapat atas hal ini: "Imunisasi manfaatnya telah terbukti secara global di banyak negara dalam menurunkan angka terjadinya berbagai penyakit. Sehingga, alangkah baiknya bila orangtua tidak mengabaikan fakta ini dan malah menjalankan metode yang belum terbukti manfaatnya. Karena dapat membahayakan kesehatan anak sendiri, karena tidak terlindungi oleh imunisasi." 

Seperti yang diketahui, media sosial melahirkan para social influencer yang setiap hari jumlahnya semakin banyak dan latar belakangnya beraneka ragam. Tidak harus dokter, akademisi atau ilmuwan, bisa seorang tweeter, blogger atau pengguna media sosial lainnya yang mempengaruhi sikap dan tingkah laku pengikutnya. Penelitan baru-baru ini menyimpulkan bahwa 78% orang percaya dengan apa yang didengar mereka dari individu yang berinteraksi melalui media sosial. Termasuk, yah, seputar anak. Sebenarnya, seberapa besar sih, kita harus percaya?

“Untuk urusan anak, sebaiknya orangtua harus bijak dalam menyikapi pengaruh dari para social influencer ini, ya. Metode yang mereka bagikan melalui media sosial merupakan suatu cara berbagi pengalaman atau experince sharing, bukan pendapat ahli atau expertise,” saran Caessar. Selain itu, “sosial influencer belum tentu memiliki pengetahuan medis yang diperoleh seorang dokter atau dokter spesialis melalui pendidikan selama bertahun-tahun, misalnya. Sehingga, informasi yang diperoleh dari mereka tetap perlu dikonfirmasi dengan dokter yang ahli di bidangnya mengenai apa yang dijalankan oleh influencer tersebut. Ini juga berlaku untuk informasi yang diperoleh dari dokter. Orangtua berhak mencari second opinion atau third opinion dari dokter lain," tegasnya.

Jika membicarakan sisi medis, seperti apa cara membesarkan anak yang dianjurkan?

“Apabila kita melihat kembali definisi oleh Badan Kesehatan Dunia, kesehatan itu meliputi: kondisi fisik, mental, dan sosial. Maka dalam membesarkan anak yang sehat, orangtua perlu memperhatikan aspek-aspek tersebut. Ini dapat dicapai dengan memberikan asah, asih, dan asuh bagi anak. Asah mencakup stimulasi untuk perkembangan dan kecerdasan anak. Asih meliputi kasih sayang dan lingkungan yang aman bagi anak. Asuh berarti memberikan kebutuhan dasar anak untuk tumbuh dengan sehat termasuk melindungi dari ancaman penyakit,” papar Caessar.

Dari sisi makanan dan gizi, menurutnya yang dibutuhkan oleh setiap anak pasti berbeda-beda sesuai dengan kelompok umurnya. “Bayi yang berusia di bawah 6 bulan, misalnya hanya membutuhkan ASI untuk mencukupi seluruh kebutuhan nutrisinya. Selanjutnya, mereka juga membutuhkan makanan pendamping ASI atau MPASI. Dalam pemberian MPASI diberikan dengan peningkatan jumlah dan tekstur yang bertahap, sesuai kemampuannya mencerna, tapi tetap mengandung berbagai zat gizi, seperti karbohidrat, protein hewani dan nabati, lemak, serta vitamin dan mineral,” jelasnya.

Ada banyak metode membesarkan anak. Pilihan ini tersedia “karena setiap ibu memiliki latar belakang yang berbeda-beda, baik dalam hal pengalaman, kondisi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, ketersediaan waktu, dan lain sebagainya,” ujarnya. Namun, biasanya, "Dokter anak selalu menjadikan rekomendasi badan nasional atau internasional sebagai referensi saat memberikan saran dan informasi bagi ibu,” ujar Caessar. Alasannya? Sederhana: "Metode itu dibuat berdasarkan penelitian jangka panjang, dalam skala besar, serta melibatkan orangtua dari beragam latar belakang," tegasnya.