Selfie or Selfish or...?

Selfie or Selfish or...?
WOOP.ID

Selfie menandakan selfish atau narsistik?  Tidak sehitam-putih  itu menurut ilmu psikologi.

Masih ingat perampokan yang menimpa Kim Kardashian di Prancis beberapa waktu lalu? Jutaan dollar perhiasannya berhasil diciduk dari apartemen sewaannya dan sampai sekarang belum ketahuan siapa dalangnya. Sang designer eksentrik, Karl Lagerfeld, mencibir bahwa dengan “jutaan” selfie yang diposting di akun sosial media Kim, kejadian itu merupakan keniscayaan; cepat atau lambat bakal terjadi! Dan sepertinya Mrs. Kardashian-West “mendengarkan” petuah Lagerfeld: selfie terakhir di akun Instagram-nya adalah 3 September, selfie dengan cincin sumber bencana itu ( 20 karat, harga 5 juta Dollar).

Konsep selfie atau atau self-portrait photograph atau swafoto sebenarnya sudah ada sejak tahun 1893 tapi booming banget setelah kemunculan smart phone, terlebih dengan front-facing camera dan sekarang face editing app for flawless selfie (memutihkan gigi dan kulit, meniruskan tulang pipi, memancungkan hidung, menghilangkan jerawat, kerutan, dll). Tahun 2013, selfie dinobatkan sebagai word of the year Oxford Dictionary. Coba ketik selfie di Instagram, buaanyak banget post-nya! Saat woop mencari tahu, ada 275.769.018 post dengan ?selfie. Pro dan kontra tentang selfie pun nggak kalah ramainya. Woop berbicara panjang dengan Vinaya, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Pancasila.

Selfie=Narsistik?

Kabar gembira buat yang sering dicibir dengan, “Ih, narsis banget, sih! Selfie mulu!” Menurut Vinaya, selfie itu bukan berarti narsistik! “Term itu terlalu strong untuk diterapkan kepada orang yang suka selfie. Dalam psikologi, term itu kan artinya gangguan jiwa, seseorang yang terlalu self-centre sampai tidak mempedulikan sekitarnya; menjadikan dirinya sebagai pusat segala sesuatu. Kalaupun ada korelasinya dengan narsistik sesuai dengan pengertian psikologi, levelnya sangat rendah,” ujarnya. Menurutnya, selama selfie dilakukan secara wajar, harusnya nggak apa-apa. Hurrah!

Selfie=Self-Centre

Dalam ilmu psikologi, ternyata setiap orang itu memang memiliki self-centre. Jadi, lagi-lagi nih, selfie sebagai perwujudan dari menjadikan diri sebagai pusat, sekali lagi bukan masalah besar. Yah, selama self-centre-nya masih dalam level normal (yah, masih peduli dengan orang lain dan sekitar, dan masih beraktivatas dengan normal), no problem. “Foto yang dipajang di medsos kan biasanya yang yang cakep dan keren, kan? Kalau dari  sisi psikologi itu lebih ke impression management. Bagaimana sih, dia ingin dilihat orang lain? Itu sih, lebih mencerminkan self-control-nya tinggi. Jadi, dia ingin memperlihatkan dan menampilkan reputasi sesuai dengan yang ingin dia tampilkan,” ujar dosen yang salah satu keahliannya adalah bidang Psikologi Sosial.

Selfie=Mengkampanyekan Self-Denial

Sebelum face-perfection photo apps (salah satunya, Perfect 365 dari Kim K) berjaya, segala cara dilakukan untuk mendapatkan selfie yang sempurna: dandan berjam-jam sampai cari-cari sudut dengan pencahayaan yang pas untuk menyamarkan bisul. Ratusan jepretan dihasilkan sampai jari-jari pegel sebelum akhirnya the chosen selfie didapat. Lagi-lagi Vinaya mengatakan bahwa usaha seperti itu sah-sah saja. “Itu kan termasuk estetik, ya. Kan nggak gampang untuk mendapatkannya, dibutuhkan bakat estetika untuk membuat selfie yang bagus,” ujarnya. Meski begitu, di sisi lain ada argumen yang mengatakan bahwa selfie hasil aplikasi itu mempromosikan self-denial: orang-orang seperti tidak bisa menerima diri mereka sebenarnya, malah berandai punya wajah sempurna seperti yang diperlihatkan di selfie itu. “Harusnya kan orang bisa memisahkan antara dirinya di sosmed dengan dirinya yang di dunia nyata. Kalau itu buat lucu-lucuan aja dan memang tahu itu bukan dirinya yang sebenarnya, harusnya sih, nggak papa,” ujar Vinaya lagi. Phiuh, lega, deh. Buat kamu yang nggak terlalu suka dengan editing selfie apps seperti itu, nggak papa juga, sih. Kampanye ?nofilter bisa jadi pilihanmu.

Selfie= Persaingan Digital ala SMA

“Menurut saya manusia itu memang akan melakukan social comparison dan itu wajar ya. Kita pasti akan membandingkan diri dan ngebandinginnya itu sesuai dengan tujuan kita juga kan? Kalau pembandingnya baik, kita akan mencari pembanding yang lebih rendah. Tapi kalau ingin menjadikannya sebagai kompetisi, kita akan mencari yang lebih tinggi. Cuma sebenarnya balik ke diri, ya. Kalau saya lihat, kalau orang yang insecure, dia akan begitu. Ketika dia merasa ada orang yang lebih dari dia, dia akan merasa akan gimana gitu. Tapi kalau dia secure, dia akan merasa, yah emang orangnya cantik terus kenapa?”  Selfie harusnya juga bukan jadi ajang ‘kontes kecantikan’. “Definisi cantik itu kan, beda-beda, ya. Setahu saya, di budaya Mesir, wanita bergelambir itu cantik, menandakan kesuburan dan kemungkinan punya banyak. Kalau dia selfie, karena memang senang sama dirinya dan percaya diri, itu bagus, sih,” lanjutnya.  

Selfie= Social Pressure

Keberadaan love dan like buttons, terkadang dianggap sebagai virtual pressure. Bayangkan kalau kemarin dapat 200 likes/ loves, tapi hari ini dapat cuma 199? Beberapa jadi panik! “Menurut saya, itu tergantung tujuan awal mem-posting: apakah dia ingin dapat tanggapan, afirmasi atau hal lainnya. Like atau love buttons itu kan sebenarnya reward, ya? Kalau memang nggak ada fasilitas itu, mungkin orang nggak akan  berlomba-lomba nge-post. Sama halnya sekarang, ada reward ekonomi. Bisa dapatin duit dengan mem-posting sesuatu di medsos. Yah, nggak apa-apa juga, sih. Itu kan semacam win-win solution: dua belah pihak saling mendapat untung. Cuma bahayanya kalau satu pihak merasa dirugikan, misalnya diminta foto vulgar, padahal nggak mau.”

Selfie, Hati-Hati!

Intinya, selfie itu selama masih dalam tahap kewajaran, sah-sah saja. Yang perlu dijadikan lampu kuning adalah ketika tuntutan mem-posting sesuatu di media sosial menjadi agenda utama kehidupan sehari-hari dan mengabaikan yang lain: lupa makan/minum, lupa mandi, lupa harus memperhatikan keluarga, lupa menolong orang lain, lebih memilih hp daripada interaksi dengan dunia nyata,  lupa submit deadline kerjaan dan lupa diri!