Susi Susanti: 'Saya Ingat Kemenangan di Barcelona itu Seperti Baru Terjadi Kemarin'

Work
DOK. PRIBADI

Sosok legendaris ini berbicara tentang bulu tangkis, jabatan barunya di PBSI, dan kenapa dia sering melakukan split. 

Tahun ini, tepat 25 tahun sejak Susi Susanti memenangkan emas dari tunggal putri bulu tangkis di Olimpiade Barcelona. Día sendiri berusia 21 tahun saat itu. Namun, coba saja buka YouTube, ketik 'Susi Susanti Barcelona 1992', dan tonton video berdurasi dua menit itu. Perhatikan saat prosesi pengumandangan lagu Indonesia Raya, bagaimana wajah dan posisi tubuh Susi. Tubuhnya bergerak-gerak, bahu naik-turun setiap kali menghela nafas panjang seperti berusaha menahan tangis, ujung bibir digigit dan dilipat-lipat,, mata berkaca-kaca menatap lurus Merah Putih yang terkibar di atas bendera Korea Selatan dan Cina, dan akhirnya Susi menangis juga. Tepuk tangan bergemuruh. Dan dari setiap orang yang saya minta menontonnya, reaksi paling banyak: menangis, atau paling tidak: terharu. Jika kamu tidak merasakan apapun, well, maaf... sepertinya ada perlu memeriksakan diri ke dokter. 

"Nggak tahu, hahaha," jawab Susi melalui telepon, saat saya menanyakan apakah dia orang yang mudah atau sulit menitikkan air mata.

Pembicaraan kami dimulai sekitar jam 10.30 malam, dan dari Alan Budikusuma (suaminya), saya diberitahu bahwa jadwal sang istri sangat padat—sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan kontingen Indonesia untuk Sea Games 2017 (saat ini sedang berlangsung). Namun, setelah menghadiri berbagai rapat hari itu, suara Susi masih terdengar jernih dan ramah. Menjawab setiap pertanyaan dengan antusias dan koheren, dan tak jarang terkekeh lepas. 

"Sampai sekarang saja kalau dilihat lagi [videonya], ada apa ya," katanya terdiam beberapa detik untuk mencari kata yang tepat. "Kebanggaan kali ya, terharu, entah kenapa, apa itu auranya atau apa, ya? Saya juga nggak ngerti," paparnya, lalu tertawa geli. "Padahal," lanjutnya, "Setelah itu saya masih mengikuti pertandingan-pertandingan lain, tapi nggak sefantastis itu. Mungkin waktu Olimpiade, mungkin karena kita jauh dari negara kita, di Barcelona, dimana mungkin yang kita dengarkan setiap hari hanya lagu-lagu kebangsaan negara seperti Cina, Jerman, Amerika, Rusia ‘kan? Jadi begitu lagu Indonesia Raya berkumandang, betul-betul badan itu merasakan ‘Inilah saya sebagai orang Indonesia.' Susah dilukiskan dengan kata-kata waktu itu," ujarnya. 

Susi masih ingat dengan jelas, "seperti baru kemarin, padahal sudah seperempat abad," katanya. Euforia rakyat Jakarta saat menyambut kontingen bulu tangkis dan dua emas yang dibawa pulang (satu Susi, dan satu dari Alan dari tunggal putra) di Jakarta waktu itu. "Mungkin itu karena pertama kali Indonesia dapat Olimpiade emas. Dari airport aja sudah luar biasa, istilahnya Jakarta tumpah semuanya, dari Thamrin, Sudirman, gedung-gedung tumplek semua. Dan itu spontan dari masyarakat," ceritanya dengan nada antusias. Beberapa mengestimasi warga yang tumpah di jalan, menyambut, dan memberikan selamat kepada pasangan tersebut, mencapai 500 ribu orang. "Mungkin karena ini baru pertama kalinya Indonesia namanya bisa tercantum, bendera merah putih berkibar dan Indonesia Raya bisa berkumandang. Jadi, pasti sangat membanggakan dan mengharukan, bahkan mungkin seluruh rakyat Indonesia," katanya. 

Berkat prestasi itu dan sederetan rekor lainnya, saya bilang tidak heran jika orang menganggapnya sebagai seorang living legend. "Haha… terimakasih, mungkin karena saya yang pertama, jadi akan selalu diingat," jawabnya. Tidak bisa tidak, saya merasa ini salah satu jawaban paling rendah hati sekaligus paling diplomatis yang pernah saya dengar dari seseorang dengan nama sebesar itu.

Susi Susanti dianggap sebagai salah satu atlet bulu tangkis tersukses sepanjang sejarah dari lini wanita. Sebelum menorehkan sejarah di Olimpiade Barcelona 1992 itu, dirinya berhasil memenangkan kejuaraan Badminton World Cup (1989) dan All England tahun 1990 dan 1991. Menurutnya hal ini menjadi salah satu faktor terbesar keberhasilannya mengalahkan Bang Soo Hyun (Korea Selatan) di lapangan final tunggal putri Barcelona. "Sebetulnya," katanya dengan suara khidmat, "itu bisa jadi salah satu alasan saya bisa menang saat itu. Bahwa dari posisi rangking saya nomor satu dan memang prestasi saya sedang di puncak-puncaknya, sehingga kesempatan itu saya betul-betul pergunakan dengan baik. Dan tanggung jawab yang dibebankan ke saya saat itu adalah harus lolos. Bersyukurnya, saya bisa selesaikan tugas itu dengan baik sekali, dan sekaligus bisa mencapai impian saya, yakni menjadi menjadi juara. Bagi seorang atlet mungkin puncak prestasi tertinggi adalah Olimpiade, karena tidak hanya diakui oleh negara kita, tapi di seluruh mata dunia," ungkap atlet yang namanya masuk dalam International Badminton Federation (sekarang BWF) Hall of Fame pada Mei 2004. 

Pasca Barcelona, Susi kembali menjuarai hampir semua turnamen besar, seperti All England (1993 & '94), World Championship ('93), World Cup (1993-'94 dan '96-'97) dan Uber Cup (1994 dan '96). Di posisi puncaknya tersebut, Susi dan Alan Budikusuma (berpacaran sejak 1988) memutuskan menikah pada tahun 1997. Susi bercerita bahwa setelah menikah, dirinya masih berniat untuk main bulu tangkis selama dua tahun, tapi..."baru 1,5 tahun saya dinyatakan positif hamil," kenangnya. Saat bermain di final Singapura Terbuka pun, Susi sudah hamil lima minggu. Pilihannya satu itu adalah prestasi atau keluarga—jika prestasi, artinya Susi harus mengorbankan kandungannya. Setelah melalui pertimbangan dan pemikiran yang matang, "saya akhirnya memilih keluarga. Meskipun prestasi saya waktu itu masih belum sempurna, karena masih kurang satu, saya belum pernah menang Asian Games. Namun, saya merasa cukuplah, bahwa Tuhan sudah memberikan penggantinya, yaitu anak. Kalau saya dapat semua, mungkin akan sempurna, tapi ternyata tidak ada yang lebih sempurna daripada Tuhan, ya. Sebagai seorang wanita, itu [memiliki anak] yang menjadi kesempurnaan bagi saya," tuturnya dengan nada khidmat. 

Apakah dirinya pernah menyesali keputusan itu? "Tidak," jawabnya dengan tegas dan jelas. "Tidak sama sekali," lanjutnya, "karena semuanya sudah diputuskan dengan pertimbangan dan pemikiran panjang, semua itu juga sudah diatur sama Tuhan. Karena saya percaya jalan hidup seseorang sudah diatur sama yang Di Atas," paparnya. 

Pasca pensiun, Susi dan suaminya merambah dunia bisnis, hasilnya adalah ASTEC (singkatan dari Alan Susi Technology) yakni sebuah korporosi yang memproduksi dan menjual peralatan olahraga, dan pusat refleksiologi dan pusat fisioterapi olahraga bernama Fontana, yang sudah memiliki beberapa cabang di Jakarta. 

Baru-baru ini Susi Susanti ditunjuk sebagai Kepala Bidang Pembinaan Prestasi PBSI (sebelumnya dijabat Rexy Mainaky). Jabatan (periode kerja empat) inilah yang membuat Susi harus menghadiri satu rapat ke rapat yang lain, dan akhirnya sampai di rumah biasanya hampir tengah malam. "Iyaa... Haha!" ujarnya sambil terkekeh. "Baru meeting, disusul meeting lagi, besok pagi juga ada meeting lagi. Yah, ini 'kan kebetulan mau ada Sea Games, nanti ada juga kejuaraan dunia yunior, jadi harus terus kita amati, harus serius dan fokus," katanya. Serius dan fokus, plus kerja keras, dan optimisme merupakan hal-hal yang menurut Susi akan bisa membawa tim bulu tangkis Indonesia kembali berprestasi seperti dulu, (bila perlu lebih!" ujarnya) selama empat tahun ke depan. 

Sepertinya lumayan berat? Dari ujung telepon terdengar suara helaan nafas panjang, lalu disusul suara tawa. "Empat tahun sebelumnya sebenarnya sudah diminta, tapi saya selalu berpikir kalau saya memang tidak mampu, saya tidak mau terima," jelasnya. "Kenapa sebelumnya saya tidak mau terima, mungkin karena keterbatasan waktu. Saat itu 'kan anak-anak saya masih kecil, otomatis kalau saya terima, saya punya tanggung jawab moral dan konsekuensinya itu besar. Nah, baru sekarang diterima karena dua anak saya sudah kuliah di Australia, dan tinggal yang paling kecil yang sudah cukup besar kelas tiga SMP. Otomatis saya bisa bagi waktulah, bisa mungkin mencurahkan tenaga dan pikiran untuk bulu tangkis." 

Diakui oleh Susi bahwa badminton Indonesia saat ini sedikit tertinggal, tidak terkecuali sektor putri. Oleh karena itu, Susi berharap pengalamannya selaku pemain bulu tangkis tunggal putri bisa bermanfaat untuk "mengembalikan dan meningkatkan performance di sektor ini." Meski dengan jabatannya yang sekarang, semua sektor adalah tanggung jawabnya. Lebih lanjut, dia berpendapat bahwa kondisi "sepertinya jalan di tempat" bulu tangkis Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah kepopulerannya yang mengglobal membuat negara-negara yang selama ini tidak mengenal bulu tangkis, sekarang berlomba-lomba. Plus, jumlah hadiah yang semakin besar. "Kita bukannya mundur, kita jalan di tempat," ujarnya seakan-akan ingin membela nama olahraga yang membesarkannya. "Sementara mereka [negara-negara lain] berlari, sprint, ya. Mereka juga banyak sekali meng-hire, mungkin juga pelatih-pelatih dari Indonesia, dengan program dan penanganan yang hampir sama. Dan ini membuat mereka semakin cepat lagi. Sedangkan kita, kita harus mau kerja keras lagi, jangan terpaku dengan prestasi-prestasi sebelumnya."

Selain itu, satu yang menurut Susi juga merupakan faktor kondisi ini: regenerasi. Jika dibandingkan dengan 1990an, apakah memang sangat berbeda?

"Nah itu," katanya sambil tertawa lepas. "Memang berbeda. Saat ini kenapa saya menghidupkan lagi pratama, karena saya belajar dari saat masih junior. Jadi pada waktu sistemnya adalah menyiapkan pemain dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Jadi untuk jangka pendek itu adalah pemain-pemain utama yang sudah berprestasi, contohnya waktu itu masih ada Liem Swie King, Kak Ivanna [Lie]. Namun, waktu itu pemain pratama untuk jangka panjang pun disiapkan, sehingga prestasinya berkesinambungan dan terus terjaga, ya. Setelah era saya, itu agak sedikit, mungkin karena merasa prestasi sudah bagus, yang pratama ini kurang diaktifkan. Jadi udah deh, utamanya aja. Nah, hal ini yang membuat ada satu miss generasi. Dan sekarang ini bagaimana caranya kita juga mengejar regenerasi ini sehingga saat pemain utama sudah mulai turun, generasi lapisan kedua sudah siap dan cepat cepat naik ke atas, menggantikan kakak-kakaknya," paparnya panjang lebar. Singkatnya, menurut Susi, selain menjaga para atlet yang sudah ada di Pelatnas dan meningkatkan prestasi bulu tangkis nasional, tanggung jawab jabatannya juga adalah mempopulerkan, menggelorakan, mensosialisasikan, mencari bakat dan bibit-bibit dari berbagai kelompok umur di seluruh pelosok Indonesia ("agar jangan dari Pulau Jawa aja", katanya) dalam rangka regenerasi. 

Phiuh, buanyaak ya, tanggung jawabnya. Apakah paycheck-nya sesuai, tanya saya dengan iseng. 

"Haha...," terdengar suara tawa lepas dari ujung telepon. Lalu, helaan nafas. "Yah, hidup saya di situ ya, jadi saya tidak melihat ke situ. Apa yang sudah diberikan bulu tangkis kepada saya, saya juga ingin mengembalikannya lagi ke bulu tangkis. Kecintaan dan dedikasilah yang membuat saya menerima tugas ini. Intinya, buat saya jika prestasi bulu tangkis Indonesia bisa bagus, itu sudah lebih dari cukup karena itu berarti sudah bisa mengembalikan lagi apa yang sudah bulu tangkis berikan kepada saya."

Apakah tertekan dengan begitu banyak tugas seperti itu?

"Stress terus. Hahaha…" Menjawab dengan nada sedikit miris tapi senang, Susi menjelaskan ada begitu banyak permasalahan yang harus dibenahi, tapi, "karena tentunya memang kita punya keinginan dan dedikasi untuk memajukan bulu tangkis, yah jadi dinikmati saja. Tetap kuat, tetap tegar, tetap semangat, dan tetap kerja keras, karena ini memang pekerjaan tim. Dan sejauh ini timnya sangat solid," katanya dengan nada bangga. Menimbang semua faktor ini, Susi optimis bahwa bulu tangkis nasional akan bagus kembali, "hanya memang butuh proses dan kerja keras." 

Berbicara bulu tangkis dengan Susi memang tidak habisnya. Dirinya sendiri mengaku masih bermain badminton, paling tidak seminggu dua kali; selain cinta, juga untuk menjaga kesehatan. 

Apa bedanya main bulu tangkis seperempat abad yang lalu dengan sekarang? "Pastinya fisik, stamina, metabolisme kita juga udah beda ya, tenaga, kecepatan, kelenturan, pasti banyaklah, umur nggak bisa bohong, ya. Kalau biasanya saat umur 20an, recovery kita tuh, nggak ada capeknya, ya. Udah habis-habisan, besoknya udah fit lagi. Sekarang kita latihan, besoknya musti pijat," jawabnya disusul dengan suara tawa lepas. Untungnya, keluarganya memiliki usaha pijat. "Yah itu, karena kita tahu itu sebuah kebutuhan, ada peluang bisnis, kenapa kita gunakan, ya? Hahaha." 

Ini membuat saya mengingat satu detail yang hampir selalu ada di setiap laganya: Susi selalu melakukan split. "Atraksi" ini membuat pertandingan semakin dramatis, tapi entah kenapa saya selalu merasa ngilu setiap kali dia melakukannya. "Hahaha, itu bukan karena mau dramatis, sih. Itu karena gini. Sebagai seorang atlet, tinggi badan saya pas-pasan, hanya 170. Kalau dari luar 'kan, atletnya rata-rata di atas 170. Otomatis untuk menutupi kekurangan itu, saya harus ekstra lincah, ekstra lentur, dan ekstra cepat. Jadi, kalau nggak keburu, apa yang harus saya lakukan? Yah loncat, kalau nggak, split untuk ngambil bola. Begitu. Jadi bukan sengaja, tapi mungkin orang melihat, yah ada seninya juga, ada atraksinya juga, yang justru membuatnya seru," akunya lalu terkekeh lagi. 

Apakah masih bisa melakukannya? Lagi-lagi suara tawa lepas terdengar dari ujung telepon—dan waktu sudah menunjukkan hampir pukul 11 malam. "Ada sisa-sisa, tapi nggak seperti dulu, ya, karena dulu 'kan kita latihan. Dan situasinya yah, karena mau nggak mau, karena keterbatasan fisik saya sebagai seorang olahragawan. Hahaha..." 

Dengan segala prestasi tersebut, saya mengajukan pertanyaan terakhir: apa kabar semua medali dan piala yang didapatkannya? 

"Adoooh," katanya sambil tergelak. Saya membayangkannya sedang menggaruk-garuk kepala. "Udah banyak yang rusak!" katanya masih sambil tertawa. "Yah ada sih, medali-medali yang disimpan, tapi udah banyak yang agak rusak karena mungkin pertama, kualitas dari piala-piala itu sendiri 'kan nggak terlalu bagus. Kedua juga, pada saat penyimpanan, karena angin atau apa, jadi sudah banyak berkarat, rusak, dan patah. Yah, daripada menuh-menuhin lemari, udah dibuangin aja. Jadi yang disimpan, yah yang masih bagus-bagus aja," jelasnya. 

Medali emas dari Barcelona? "Kalau itu sih, masih ada ya, harus disimpan dengan baik karena bersejarah. Tapi, kalau ada kolektor yang mau beli dengan harga yang oke, boleh juga sih! Hahaha," ujarnya terbahak. 

Mungkin, jika sebelum melelangnya Susi melakukan split andalannya itu, saya yakin kolektor berani mengoleksinya dengan nilai luar biaaasa.