Cara Nadila Ernesta Mengatasi Kesulitan Memberikan ASI

Love
Kamu Tidak Sendirian 3 Ibu Ini Pun Mengalami Kesulitan Memberikan ASI - 0

Nadila Ernesta, Adik Monica dan Astrid Satwika. Kamu tidak sendirian, 3 ibu Ini pun mengalami kesulitan memberikan ASI

Bayangkan ini: seorang perempuan sedang menunduk dan menatap dengan penuh cinta bayinya yang sedang terbaring di lekukan tangannya. Si bayi yang masih merah itu dengan tenang menyedot ASI dari payudara ibunya yang berukuran B. Surga, 'kan?

Lalu bayangkan kenyataan ini: seorang ibu dengan kantong mata hitam membara, rambut seperti habis jambakan dengan musuhnya di SMA, dan ketek bau yang belum menyentuh air selama lebih dari satu hari—sedang "bergulat" dengan bayi berumur satu bulan, mencoba sekuat tenaga (sampai suara dan air mata habis) menenangkan si bayi untuk kembali menyedot payudara yang lebih keras daripada baja, dan ukurannya 10 kali lebih besar dari si kepala bayi. Memberikan ASI tidak selalu gampang, dan itu yang dialami oleh tiga perempuan ini. 

NADILA ERNESTA (AKTRIS) 

"Pertama kali lancar, semuanya dapat, termasuk ASI pertama yang warnanya kuning itu yang katanya bagus untuk antibodi," cerita Nadila Ernesta saat berbicara kepada Woop, di rumahnya. Bayangkan ini: proses kelahiran lancar ("kurang lebih satu jam," katanya dengan bangga), kelahiran normal, dan tak beberapa lama kemudian si bayi ditaruh di dada, suasana syahdu, tapi tiba-tiba, "dia emut puting dengan keras," ungkap Nadila sambil membuat gerakan mencubit keras. "Dan tiba-tiba semua sakit jadi satu, dada terasa di peras, luka di puting, dan perut serasa di remas-remas. Sakit banget, sampai ke ubun-ubun" ujarnya penuh penekanan.

Seberapa sakit? "Ibaratnya, aku mendingan disuruh melahirkan lima kali, daripada suruh nyuruh nyusuin satu kali," tegasnya. "Karena, kalau melahirkan," lanjutnya, "oke satu hari kita sakit, abis itu selesai. Kalau ini, kita harus terbiasa sehingga akhirnya merasa nggak sakit lagi." 

Terdiam sebentar, merapikan rambut, "Sakit banget," ulangnya. Selama tiga hari di rumah sakit, "setiap kali bayi masuk dan mau disusui, aku udah 'aduuuh,'" katanya dengan nada berat hati dan sedih. Puncaknya adalah ketika satu hari si bayi menyusui dan mulutnya sulit lepas dari puting sang ibu. "Aku sampai teriak ke suster, 'suster, ini nggak mau lepas,'" kenangnya dengan ekspresi takut dan panik. "Aku takut putingku lepas," ujarnya menekankan. Mungkin terdengar tidak logis, tapi "saat itu soalnya sakit banget."

Sejujurnya, Nadila berkata, bahwa dia tidak sabar untuk pulang ke rumah. "Soalnya 'kan di rumah sakit nggak bisa cheating, kalau di rumah yah, terserah aku. Bisa disusui lewat botol aja, misalnya, nggak harus langsung dari payudara," kenangnya dengan pandangan jahil. Namun, seperti layaknya ibu kebanyakan, Nadila bertekad untuk memberikan ASI langsung dari sumbernya, "tapi ternyata nggak bisa," ujarnya sambil menghela nafas panjang. Si bayi dan puting tidak menemukan satu sama lain, "selalu copot", padahal sudah di depan mata, tapi "dia nggak dapat-dapat juga." Segala cara dan posisi dilakukan Nadila, "nungging sana, nungging sini," sambil tiduran atau berdiri, tapi hasilnya jauh dari kata memuaskan. "Dikasih susu, dia nangis terus," bebernya dengan nada bingung. 

Bayangkan, kamu di pesawat dan ada bayi menangis selama beberapa menit. Iba terhadap si ibu, tapi kemungkinan besar juga suara tangisan bayi akan mempengaruhi kepalamu. Nah, lipat gandakan itu ratuan kali, alhasil, "aku nggak happy, dan stres," Nadila mengaku sambil menghela nafas panjang. Kembali menghela nafas, "terus, karena stres, akhirnya kalau anakku tidur, aku nggak mau bangunin," ujarnya dengan lirih. "Karena di situ aku bisa… yeaaay," ujarnya sambil mengangkat kedua tangannya seperti orang yang terbebas dari sesuatu yang membebankan. "Pas dia tidur, aku senang, padahal seharusnya dibangunin untuk minum susu, tapi aku nggak bisa langsung nyusuin dari sini, karena rasanya sakit banget," tekannya sambil menekan kelopak matanya. "Sakit banget. Aku stres," tegasnya lagi.

Dan selama itu terjadi, sang suami... "untungnya sangat mendukung," tukasnya. "Dia bilang, 'it's your choice—nggak usah dipaksain,'kan ada cara lain'. Setiap kali aku bangun, dia juga bangun. Mungkin dia juga kasihan melihat istrinya nangis, pas dipijat menjerit; jelek banget deh, pokoknya," kenangnya sambil meringis. 

Mengangkat kepala dan menggerakkan telapak tangan, "bukan berarti aku nggak senang ya, dengan kelahiran anakku," tambahnya dengan cepat. "Aku bahagia banget," tegasnya. Perasaan lain muncul, seperti bingung dan sedih, itu karena menurut Nadila, "bingung, kenapa [bayinya] nangis terus?" katanya sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan. "Ya ampun, kenapa kayak nggak punya waktu untuk mandi walaupun sebentar. Kenapa nggak bisa santai, padahal kalau ngeliat foto orang lain kayaknya mereka masih bisa santai, tetap bisa cantik?" repetnya. "Dan terutama badan ini nih, kok kayak jeli semuanya? Aku pikir akan kembali ke semula dengan cepat, ternyata tidak. Bahkan baju yang kubeli sebelum melahirkan untuk dipakai setelah pulang dari rumah sakit, ukurannya M, nggak muaat!" ujarnya dengan nada panik, lalu tertawa terbahak. 

Mengangkat kedua tangan seperti menyerah, "tapi ternyata, tidak semua orang mengalami hal yang sama, nggak semua orang bisa begitu." 

Dan minggu setelah melahirkan, putra pertamanya, Gilian Gitara (sekarang berusia 8 tahun), mengalami kondisi "kuning," tukasnya. "Padahal, pas lahir, anak aku tuh, beratnya 4,29 kg—gede banget dan panjangnya 52, keluar kayak bayi sebulan," ujarnya. Dengan sedikit berberat berat hati, "karena aku memang berniat dari awal untuk menyusui langsung," akhirnya Nadila membeli pompa, memeras ASI, dan lebih sering memberikan ASI dengan botol. "Ketika dikasih botol, anaknya tenang, aku pun tenang," tutur Nadila dengan lega. "Karena dia juga dapat asupan yang dia butuhkan, tanpa ada orang yang stres sambil begini-begini," katanya sambil memperagakan posisi membungkuk dan menyodorkan dada dengan paksa. "Aku memberikan dia pilihan untuk pakai botol, dan lebih sering pakai botol. Dia happy, aku happy, akhirnya keluar ASI-nya pun lumayan banyak." 

Ceritanya belum berakhir. Empat bulan kemudian, ASI tidak berproduksi seperti biasa, "karena tidak ada rangsangan mulut bayi," katanya. Si bayi lalu melanjutkan meminum ASI sampai lima bulan, menghabiskan persediaan hasil perasan yang selama ini tersimpan di freezer. Botol-botol ASI mengosong, kuota dari sumbernya habis, lalu dilanjutkan dengan susu formula (sufor). 

"Ada perasaan sedih, sih," lanjutnya, "tapi di sisi lain senangnya juga ada," akunya sambil tersenyum jahil. "Karena berpikir, 'aduh, tugas gue mompa kelar juga, ya? Nggak harus bangun jam 1, jam 3, jam 5 pagi yah'; soalnya pola tidurnya begitu teruuus selama dia menyusui, makanya kantong mata hitam banget," ujarnya sambil membelalakkan matanya.

Dan cerita yang "persis sama" kembali terjadi saat anak kedua lahir, Nabuma Medodee (sekarang berusia tiga tahun). "Awalnya, karena pengalaman tadi, aku berpikir 'sudahlah satu anak saja'. Tapi siapa suruh nggak pakai spiral! Hahaha," ujarnya terbahak. Untungnya kali ini lebih mempersiapkan, baik fisik mau pun mental—sehingga si anak perempuan tidak perlu mengalami kondisi kuning, tapi "begitu dia ditaruh di depanku untuk disusui, aku ciut juga, sih," akunya, tertawa lebar. 

Menghela nafas lagi, "aku sih, berpikir bahwa ini seharusnya tidak membuat para ibu malu, atau menganggap ini aib. Ibu mana sih, nggak ingin memberikan ASI yang terbaik untuk anaknya? Tapi kalau nggak bisa, yah jangan dipaksain. Carilah cara menyusui yang cocok dengan kita; kalau ada rules, rules itu memang untuk dilanggar," katanya, terbahak. Dan, "ibu juga harus happy, supaya anaknya happy," tegasnya. 

ADIK MONICA (ACCOUNT EXECUTIVE)

Adik Monica sudah merasa sedikit was-was ketika detik-detik menuju hari persalinan dan setelah melahirkan, kuantitas ASI yang dihasilkannya sangat terbatas, bahkan ketika sudah mengikuti senam payudara, hasi pompaan pun tetap terbatas. "Hari ketiga, setelah keluar dari rumah sakit, keluar tuh yang warna kuning, yang benar-benar obat ya, yang bagus banget itu," katanya, lega, saat bertemu Woop di sebuah kafe di Jakarta.

Hari berlanjut, "ternyata cuma keluar 40 ml, dan masih sempat 60 ml, tapi abis itu tiba-tiba down lagi, kembali ke angka awal 40 ml. Satu kali pompa 40 ml—dilakukan sekali di rumah dan sekali di kantor, akhirnya satu hari menghasilkan 80 ml. Ini bukan karena Monica terobsesi dengan matematika, tapi angka itu penting untuk mengetahui asupan si bayi, Athallah Maykaio Muttaqi (sekarang berusia 8 bulan) cukup. Apalagi, saat itu Monica berbicara bahwa ASI hanya keluar dari payudara sebelah kiri, sebelah kanan seperti tersumbat alias tidak mengeluarkan apa pun. "Aku agak susah nyusuin di sebelah kiri, agak canggung gitu, lho. Takut anakku kecetit atau gimana gitu, akhirnya tetap aja di kiri," ujarnya. 

Itu, dan "anakku laki-laki, minumnya kuat, sehingga jumlah itu nggak cukup," katanya. Akhirnya, setelah dua bulan Monica memberikan Maykaio tambahan ssusu formula, tapi... tidak sesimpel itu karena, "anakku alergi, alergi susu sapi. Akhirnya harus beli sufor yang hypoallergenic," ujarnya dengan nada serius, "dan sampai sekarang dia minum sufor. Soalnya, dua bulan terakhir ini sudah tidak keluar lagi," imbuh Monica. 

Saat hamil, Monica tahu persis hal ini bisa terjadi,  pasalnya, "ibuku juga begitu. Jadi ini faktor genetik juga sih," tuturnya. Itulah sebabnya selama hamil pun, Monica berusaha mengonsumsi makanan yang bisa membantu produksi ASI, seperti katuk, ikan, dan daun ubi. "Aku 'kan sama sekali nggak suka sayur ya, tapi kupaksa dan kutelan. Katuk, ikan, katuk, ikan—aku sampai bosan," katanya dengan nada capek. "Itu 'kan kayak makan daun mentah, ngeliatnya aja udah 'aduuh,'" ujarnya dengan nada berat.

Dan, "aku makan itu pagi, siang, sore, tetap aja nggak ngaruh," katanya, tegas. Bingung? Pasti, dan "sempat nge-drop juga apalagi pas ngeliat orang membuang ASI-nya karena kebanyakan," ujarnya, dan "iri ngeliat teman yang ASI-nya banyak," plus "komentar-komentar dari sana-sini. Ya Allah," katanya dengan nada sedikit miris "Untungnya suami selalun ngingetin, 'jangan sampai ngeliat itu kamu jadi stres ya, Ma. Nanti malah nggak keluar ASI-nya,'" ujarnya. "Peran suami memang penting banget," tegasnya.

"Aku sempat merasa bersalah gitu ya, apa karena aku nggak suka makan sayur, ya?" tanyanya. "Tapi mungkin ini memang pembelajaran kali, ya," sambungnya cepat. "Jadi, kalau nanti dikasih [anak] lagi, aku akan mulai rajin makan sayur, supaya ASI-nya banyak," simpulnya. Dan Monica cukup optimis karena kata dokternya hal ini sering terjadi pada ibu muda saat melahirkan anak pertama, dan bukan berarti akan terjadi di anak selanjutnya. "Semoga dikasih rejeki, karena ASI memang lebih baik, dan susu formula mahal, hahaha," ujarnya, seraya tertawa lebar. 

Bukan berarti susu formula salah, tegas Monica, karena dia yakin susu formula juga sudah melalui tahapan agar bagi bayi. Susu ini terutama membantu ibu-ibu yang bermasalah dengan ASI, jelasnya. "Ini tergantung dari sikonnya, aku misalnya ASI nggak ada. Sedangkan bayi baru lahir itu asupannya cuma ASI, hanya air susu. Jadi ketika ASI nggak keluar, aku langsung konsultasi [ke dokter] susu apa yang cocok dan hypoallergenic."

Dan bukan berarti momen-momen emotional bonding yang katanya tercipta saat anak menyusui langsung dari payudara akan berkurang ketika anak (hanya mengonsumsi) susu formula. "Yah, walaupun kita menyusui pake botol, kita 'kan masih kontak dengan anak kita," ujarnya. "Menurut aku nggak ngaruh gimana-gimana. Aku tetap kontak mata, ngajak ngobrol, karena 'kan bayi umur sampai tiga bulan, kita kasih susu [formula] pun harus tetap dipangku. Takutnya kesedak," imbuhnya. 

Apa yang bisa dibagikannya kepada para ibu yang mengalami hal yang sama?

"Kalau dari aku sih, percaya diri itu penting—nggak papa kok nggak ada ASI pun" jawabnya. "ASI nggak keluar, nggak usah terlalu dibesar-besarkan. Gimana kitanya aja nyari solusi biar asupannya tercukupi," paparnya. "Memang sih, tergantung kepribadian dan persepsi masing-masing, tapi kalau aku sih mikirnya begini, ‘ya udah, ini jadi pembelajaran aja, paling nggak aku tahu harus ngapain nanti." tambahnya. Selain itu: kurangi makan junk food ("kalau pengen nggak papa, asal jangan dijadikan kebiasaan), makan sayur, berpikiran positif, dan keliliingilah diri dengan orang-orang yang berpikir positif. "Ini penting banget," tekannya. "Kalau negatif, pasti kita kebawa negatif. Kalau positif 'kan, kita bisa terima masukan, dan bertukaran pikiran."

Oh, satu lagi: "Dokter itu penting," ujarnya, tegas. Monica bercerita bahwa sejak kehamilan, dia beberapa kali berganti dokter. "Yang awal aku kurang sreg karena dia nggak kasih feedback yang baik, monoton," tegasnya. "Sementara aku suka nanya-nanya gitu 'kan. Akhirnya hamil enam bulan, aku pindah dokter, dokter cewek [sebelumnya dokter laki-laki]. Dia itu kooperatif banget, interaktif, selalu jawab WA, jam berapa pun balas, karena takut aku kontraksi gitu 'kan, ya? Hahaha," ceritanya, tertawa kecil.  

ASTRID SATWIKA (PENGUSAHA, BLOGGER)

"Aku nggak tahu ini bisa terjadi. Yang aku tahu orang biasanya bermasalah dengan ASI karena kurang, udah itu doang yang aku tahu," aku Astrid Satwika, yang sedang duduk bersila di kursi di ruang tamu rumahnya.

Biasanya kurang, tapi yang terjadi pada Astrid adalah produksinya melimpah ruah. Ibarat prinsip ekonomi, supply melebihi demand—dan disertai rasa sakit. 

Awalnya, saat masih hamil, Astrid sedikit khawatir karena ASI "temen-temenku udah merembes bahkan sebelum melahirkan, sementara aku sampai enam bulan pun belum ada." Oleh sebab itu, setiap berdoa, isinya adalah: "Ya Allah, ijinkanlah ASI aku nanti banyak banget, sampai berlebihan," ujarnya memejamkan mata, dan mengangkat kedua tangan di depan wajahnya. 

Tertawa kecil, Astrid berkata: "be careful what you wish for!" Menjalani Caesar, menunggu bayi yang "sempat kuning jadi masuk inkubator tapi cuma 24 jam", Astrid menyadari bahwa ASI-nya mulai banjir. Lalu, si anak diberikan susu untuk pertama kalinya, proses berjalan lumayan lancar, hanya diwarnai dengan, "dia keselek. Mungkin karena deras banget kali ya," ujarnya.

Sampai di rumah, ternyata makin banyak. "Makin banyaaak," tekannya, "sampai-sampai aku mompa itu bisa sampe satu jam lebih, kiri kanan. Itu capek 'kan?" ujarnya. Seberapa banyak? "Sehari bisa satu liter lebih, sehari bisa [mompa] sampai lima kali. Kulkas di kamarku, di dapur penuh. Sampai aku taruh di rumah mertua, rumah mama—sampai ratusan botol," katanya tanpa bermaksud melebih-lebihkan. 

Impian semua orangtua 'kan: produksi ASI cukup, bahkan berlimpah, pasti bisa memberikan ASI selama dua tahun. Lupakan dua tahun, "pas empat bulan, dia sudah nggak mau nyusu lagi," kata Astrid, menghela nafas. Rania Aishalina yang masih berumur empat bulan, sering kali menangis, menolak menyusu dari payudara ibunya. "Akhirnya, ASI perah, itu dia mau, 100 ml sekali minum, meskipun kalau sudah lebih dari dua hari dia nggak mau. Aku juga bingung itu kenapa," cerita Astrid. Namun, semakin bertambah bulan, Rania semakin tidak antusias dengan ASI, dari botol ("semua jenis dot dengan berbagai bentuk nipple aku beli") maupun dari sumber utamanya. Yang terjadi berat badannya turun, "dokter aja bingung," lanjut Astrid, "dia kayak benci banget sama ASI," tukasnya. "Dikasih nyusu, kayak dikasih makan batu," celetuknya. 

Segala cara dilakukan, termasuk menyuapi ASI dengan sendok ("nggak bisa banyak, karena dia nggak bisa diam"), hingga mendatangi ahli laktasi dan disarankan untuk diopname karena "dibilang tongue-tie", tapi "aku menolak," ujarnya. Cerita panjang dipendekkan: "akhirnya aku struggling banget," kenang Astrid dengan ekspresi sedih. Selama empat bulan, si bayi berontak, menangis setiap kali disodori ASI, "aku juga nangis terus. Setiap bangun pagi tuh, aku excited, deg-degan punya sesuatu yang baru," akunya. "Cuma satu sisi juga kayak, 'ah harus bangun lagi nih, harus mompa lagi. Gue baru istirahat, nih,'" ceritanya jujur. "Pokoknya, pas mau nyusuin tuh, kayak dikasih tantangan gitu," paparnya. "Ada juga pas nyusuin nggak sakit, itu happy-lah. Gimana sih, ibu menyusuin 'kan bonding-nya priceless banget 'kan? Tapi di sisi lain juga nggak bisa dipungkIri, sakit ya sakit," tuturnya dengan nada menyerah. 

" Lalu, "Akhirnya dia menyusu langsung itu cuma sampai lima setengah bulan, dan sampai tujuh bulan minum ASI perah. Itu juga sembari minum susu formula. Sayang banget 'kan?" tanyanya dengan serius. 

Subjek yang sedang dibicarakan, Rania yang sekarang berumur lima tahun, sedang aktif di sebelahnya; sesekali menyela ibunya saat berbicara ("inkubator itu apa?" atau, "aku 'kan udah nggak bayi lagi", dan beberapa kali meminta ibunya berhenti berbicara dan bermain saja, dalam bahasa Indonesia, dicampur bahasa Inggris). 

Bingung? Sedih?Demam (eh?)? :Itu padahal sudah dipompa, bersih, tapi [payudara] tetap gede banget, keras," tekannya. Sakit? "Kalau suster home care datang, dan diurut, aku teriaknya kayak apa tahu," katanya sambil menengadah dan memutar bola matanya. "Sementara dia [melirik anak perempuannya yang sedang berceloteh sendiri] disurun nenen nggak mau." 

Alhasil, agenda utama sehari-hari adalah "mompa dari pagi sampai malam, udah kayak sapi," dan sering kali dilakukan sambil menangis saking sakitnya. Untungnya, bala bantuan dari ibu dan adik siap membantu, juga suami. 

"Emang waktu anakku masih bayi, suamiku itu bukan yang hands-on, yang luwes, megang bayi—dia aja megang bayi kayak megang nampan," katanya sambil memperagakan seseorang yang sedang memegang nampan dan takut terjatuh. "Dia takut banget, mungkin karena masih merah, dan masih baru banget" tambahnya. "Kadang kalau aku begadang dia, tidur. Cuma semakin ke sini, bayinya semakin gede dan dia melihat perjuangan aku, dia ikut bangun, ikut gantiin Pampers. Trus, pas aku di breast massage itu, dia rela tangannya aku remes selama dua jam; malah kadang tercakar," ujarnya, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dan makin dia gede, malah nempel sama bapaknyalah. Mandi apa segala macam, sama bapaknya. Masak harus Papa," katanya, berdecak heran. ("Pancake buatan mama enak kok," kata Rania. "Tapi lebih enak Papa," imbuhnya dengan jahil.") 

Sesakit apa? "Lumayan bikin trauma sih, sampai kepikiran nggak mau punya anak lagi," akunya dengan intonasi serius. "Ini juga setelah lima tahun," tambahnya sambil menyentuh perutnya yang sedang berusia enam bulan. "Mungkin karena aku pegang sendiri juga, jadi masih banyak pertimbangan, masih pengen full ke dia, supaya perhatiannya nggak terbagi. Dan sejujurnya, aku juga masih trauma dengan ASI itu," tegasnya. 

Menurut dokter, Astrid mengalami overproduction, "jadi aku harus stop makan yang gimana, ya?" katanya, terdiam sebentar. "Makan yang enak-enak, makanan Jepang yang kusuka yang memang semuanya sehat, sama dikurangi makan daun-daun, katuk, dan sebagainya," ujarnay dengan nada heran. "Dan hikmahnya, yah ini," katanya sambil menunjuk ke badannya, "berat badanku cepat banget turun, hahaha," katanya terbahak. "Sampai dikira diet apa, padahal nggak ada apa-apa. Yah, tapi ASI itu 'kan 500 kalori sehari, dan aku banyak banget [produksinya]," ujarnya. "Jadi 23 kilo dalam 3 bulan. Habis. Sampai lebih kurus dari sebelum hamil. Itu hikmahnya, cuma sakitnya itu lho, ya Allah," tekannya, lalu menghela nafas. 

Dan hikmah lainnya: "Pastinya mental lebih siap, kalau hal yang sama terjadi lagi di bayi kedua ini," katanya, "Tapi berharap lancar, makanya sekarang doanya, 'Ya Allah, semoga ASI-nya cukup,'" ujarnya sambil berpose berdoa yang ditirukan oleh Rania. Selain itu, pola makan dijaga, dan Astrid mengaku sudah menyiapkan peralatan perang. Amunisi yang sudah tersedia sejauh ini: salep buat lecet, kantong ASI, botol-botol ASI, berbagai minyak untuk menyusui, double breatpump, breastpad yang banyak, dan pastinya, "get ready... eye cream! ujarnya, terbahak.

Apa pendapatnya ketika mendengar 'perempuan itu baru bisa disebut ibu kalau menyusui'? "Itu sama kayak kalau aku ngedengar ada yang bilang, ‘perempuan [yang melakukan] Caesar itu nggak melahirkan.' Terus gimana, bayinya mau dimasukkin lagi, gitu?" tanyanya dengan nada sengit. "'Kan itu juga sakit ya, jaman dulu 'kan nggak ada caesar. Sekarang ada juga untuk membantu ibu, mengurangi angka kematian ibu," Astrid berargumentasi. "Maksudku, semua ibu pasti mau lahirnya normal, tapi kalau keadaannya bisa membahayakan ibu dan anaknya, kenapa nggak pakai pertolongan lain? Sama kayak ASI, semua ibu pasti ingin yang memberikan yang terbaik untuk anaknya, cuma 'kan kasihan ibu-ibu yang nggak punya ASI, terkena pressure makin stres. Nggak bisa ngasi bayinya ASI, merasa gagal atau merasa ‘bukan ibu yang baik’ karena omongan orang, terus aku juga pernah baca bahkan ada yang sampai anaknya ‘kurang’ karena nggak mau kasih sufor," tuturnya dengan emosi. 

"Aku aja nangis pas ngasih dia sufor," tambahnya lagi. "Orang ASI-ku banyak kok—malah lebih ngenes," imbuhnya dengan nada sedikit tinggi. Pasti ada suara-suara yang bilang, 'ibunya gimana, sih? Kok kasih sufor? Malas banget, ya.' Yah, emang nggak bisa? Tapi, daripada anaknya kurang asupan," ujarnya sambil mengangkat kedua tangan. 

"Jadi saranku, komentar orang harus kita bedain mana yang julid doang, dan mana yang benar-benar peduli. Kalau keluarga yah, pilih-pilihlah. Dan bagi yang ibu-ibu yang kurang atau mengalami masalah ASI, dari pengalaman aku sih, dont be too hard on yourself-lah. Kalau ibunya juga stres, ASI-nya juga nggak keluar. Jangan sampai, anak jadi kurang asupan karena kita dengar apa kata orang. Yah, kalau memang memungkinkan, semuanya oke, dan bisa diusahakan, pasti semua ibu pengen memberikan ASI kepada anaknya," tegasnya. 

Selanjutnya: