Kania Anggiani: Cinta Suami Menolong Saya Survive dari Postnatal Depression

Kania Anggiani: Cinta Suami Menolong Saya Survive dari Postnatal Depression
WOOP.ID

Kania Anggiani, pemilik e-commerce Chic & Darling, bercerita tentang postnatal depression saat menjadi ibu pertama kali dan perjuangan untuk bangkit.

***

Di tengah percakapan, terdengar suara-suara dari dalam rumah. Saya mengibaratkannya dan mengatakannya langsung kepada Kania, seperti suara alien. Ternyata suara itu berasal dari seorang lelaki kecil yang sedang bermain sepeda di dalam rumah. “Hi, Galan,” sapa Kania tersenyum lebar dan mengelus kepala anak keduanya sebentar. Menurutnya, saat mengandung Galan, prosesnya sangat mulus dibandingkan yang pertama.

Saya pun diperkenalkan kepada si pria kecil dan seperti biasa, saya selalu penasaran saat melihat seorang anak kecil untuk bertanya lebih mirip siapa dia. “Mirip bapaknya,” jawab Kania, tanpa ragu.

Berbicara tentang bapak Galan alias suaminya, saya pun jadi sedikit penasaran bagaimana respon suami saat masa ‘shit hole’ itu. Menurut Kania, selain melakukan konsultasi dengan psikolog dan terbantu mencari platform untuk melalui masa kelam itu adalah ibunya (kebetulan seorang psikolog) dan sang suami. Kania memang tidak bercerita kepada banyak orang, “Soalnya aku merasa masyarakat kita itu masih banyak stigma. Jadi, misalnya aku cerita nih, which is terjadi juga sama orang lain, yang dibilang kita lebay lah, nggak bersyukurlah udah punya anak, terlalu emosionallah, macam-macamlah komentar yang menurutku justru nggak encouraging. People like that, sementara aku pada saat itu need help,” tekannya dengan penuh emosi. “The least you can do, misalnya sebagai teman, is you encourage them that it’s ok. Sesimpel kayak nelpon, ‘how are you? Are you fine?’” paparnya.

“Lucky me, aku punya support system yang bagus, ibu-bapakku, suamiku rumah dan lingkunganku sehat, jadi aku lebih cepat recovery karena not only from myself aja yang pengen bangkit, tapi supportingsystem-ku juga mendukung. Nah, bayangkan kalau aku nggak punya itu?” tanyanya.

Berbicara tentang suaminya, Kania menuturkan bahwa “Dari awal kita udah punya komitmen bahwa we are going to do this together. Jadi kalau punya anak, lo bantu ngurus anak juga. Jadi 50-50, walaupun dia adalah bread winner, doesn't mean that the only job,” paparnya. Skenario harian pun mulai dijalankan keduanya: suami berusaha pulang cepat, saat di rumah mengambil alih tugas—mengganti popok, cuci mencuci, bangun tengah malam.

Bukan berarti semua berjalan mulus. Kania mengaku bahwa dirinya dan suami sering, “teriak-teriak, maki-maki, untungnya nggak ada physical abuse, kita banyak mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan satu sama lain.” Untungnya, sistem komunikasi di antara mereka berdua cukup bagus. Setelah saga selesai dan tenang, biasanya apa yang terucapkan saat adu mulut didiskusikan. “Aku mengkritik suamiku dan sebaliknya dan harus diterima. Namun, nggak semua orang bisa terima constructive critics, tapi karena cukup saling menghormati, kita bisa terima kritik itu,” ujarnya.

Salah satu sumber masalah yang muncul saat masa depresi itu adalah tentang ketidaksukaan Kania menerima tamu tanpa undangan atau mendadak datang. Siapapun itu, tak terkecuali sang mertua. Mengingat peristiwa itu Kania tidak bisa menutupi tawanya, “Ibu mertuaku itu sudah cukup tua dan nggak kerja lagi. Jadi, bisa tiba-tiba datang tanpa pemberitahun, kadang-kadang napping, dan baru pulang malam. I was so annoyed waktu itu. Let alone yah, aku pada saat itu lagi depresi, ada orang lain berarti aku harus ngurusin dia, kan?” ujarnya dengan nada takjub. Kania pun mengeluh kepada sang suami, sang suami lalu menyampaikan kepada sang ibu dan sang ibu tidak terlalu bahagia menerima penjelasan itu. “Akhirnya aku minta maaf sama ibu mertuaku dan bilang kondisiku yang sebenarnya. Intinya sih, hal-hal seperti ini memperkuat komunikasi aku sama suami,” tegasnya.

Dengan mengandalkan insting, saya berujar kepada Kania bahwa sepertinya yang membuat dia bisa keluar dari depresi dan lobang hitam itu adalah cinta mereka. Kania terdiam sesaat, dan tiba-tiba wajahnya melembut, “That’s true. Love, compassion and affection towards each other. Itu benar banget, karena kalau nggak ada cinta rock solid like that, ini semua bisa hancur.”

Selama proses pemulihan dari depresi itu, menurut Kania sang suami memberikan dukungan moral dan mental 100%. “Sesimpel menelpon di siang hari dari kantor dan menanyakan kondisiku. Atau pas weekend, dia membiarkan aku untuk tidur lebih lama sementara dia main sama Lulla. Kan lumayan bisa tidur sampe jam 9 pagi,” katanya tertawa lebar.

Menurutnya, fakta bahwa suaminya sama sekali tidak malu memasak, mencuci baju, atau bersih-bersih, membuatnya terlihat maskulin dan seksi dan akibatnya, “I’m more into him. Di saat aku into him, itu akan berkembang ke sex life kita, desire kita terhadap each other, romanticism kita berdua. Itu penting banget. Banyak orang yang ketika udah menikah, they are too caught up being parents, they forget that they are couple. Mereka sibuk jadi ibu, bapak, cari uang, ngurusin rumah, dan nggak ada waktu buat yang lain. Istri tidak mengurus diri lagi, makan segala macam, udah nggak ada waktu buat olahraga. Akhirnya apa? Yah, udah nggak ada yang keurus, kan? Akhirnya yah gitu aja. Itu yang banyak terjadi and well, that’s a choice juga. But I’m trying to inspire other people based on my experience,” tuturnya.

Postnatal depression itu memang sangat mengajarkan Kania betapa pentingnya memperhatikan diri sendiri. “Self-care comes first. Jangan pernah berpikiran bahwa ketika kita butuh waktu untuk menyenangkan diri itu egois. Kalau kita takut dibilang ibu egois, karena ingin jalan-jalan sendiri atau pengen punya waktu untuk suami, kita nggak akan pernah bahagia. Selalu take care of ourselves first, selalu pastikan bahwa kita fit. If we are not fit, we are not fit as a mother. Bagaimana kita tahu kita fit, kita harus take care of ourselves. Caranya macam-macam. Kita berdandan, wangi, bersolek, mandi [dengan nada penuh penekanan], bersih secara badan dan pikiran, jaga makanan, olahraga. Make sure you take care of yourselves first, if you take care of yourselves and then we can take care other people. Salah satu bentuk kita memperhatikan diri sendiri, misalnya saat kita depresi, ask for help. Ask your husband’s help, professionals help,parents, siapapun, deh. Jangan pernah malu untuk membicarakan itu, at least sama satu orang yang kamu percayai banget. Dan berikan waktu untuk kita sendiri tanpa ada anak kita. Titip mereka sebentar, satu jam-dua jam, ke orang tua kamu, go to a café by yourselves, have coffee, read a book. Simple kok, nggak harus mewah, nggak harus mahal. Simply nyetir sendiri ke pom bensin dan beli Frestea aja, dulu aku senang banget. Itu bikin aku happy banget! Jadi small things but matter but take care of yourselves,” bebernya panjang lebar dengan berapi-api.

Happy, kata yang sering banget diulang-ulang oleh Kania selama percakapan kami. Dan tak mampu menahan diri saya bertanya apa pengalamannya terhadap postnatal depression tidak membuatnya trauma memiliki anak. “Sama sekali tidak. Kita pengen punya satu atau dua lagi! Hahaha! Aku dan suamiku sekarang juga lebih mature sebagai parents, secara finansial juga lebih dewasa. Dan sekarang kita juga udah punya mbak di rumah, jadi nggak sendirian lagi. Di samping itu, kita enjoy banget punya anak. Dan aku enjoy banget jadi ibu!” tandasnya dengan senyum lebar. 

****