Ramengvrl: 'Diri Gue yang Sebenarnya Mungkin Tidak Sepede Ramengvrl'

Work
WOOP.ID/ALEXANDER SURYO

Rapper perempuan Indonesia berbicara tentang Utada Hikaru, mengalami depresi dan akun pribadinya. 

Saat berbicara dengan Ramengrvl di sebuah coffee shop di daerah Bintaro, Jakarta Selatan, topik tentang album terbaru Eminem ("asyik, tapi gue menyayangkan kenapa dia cuma marah-marah di dalamnya," ulasnya), keinginannya untuk berfoto dengan rapper dan musisi hip hop tidak hanya sebagai penggemar, tapi juga kolaborator atau berbagi panggung—dibahas panjang lebar. Saya jadi teringat video Nicki Minaj membungkuk sampai menyium lantai saat bertemu Lauryn Hill. 

"Itu bisa aja terjadi ama gue, kalau ketemu Nicki, atau Kanye. Tapi mungkin hanya satu dua figur aja. Sisanya, kayak Shawn Mendez... yah, udahlah ya," katanya, menyengir. "Dan kalau ketemu Utada Hikaru, gue mungkin juga akan sujud," tambahnya. 

Utada Hikaru? Tanyanya saya agak terkejut. Sudah lama tidak mendengar nama itu. 

Dengan ekspresi semangat, Putche (dia memberikan ijin merujuknya dengan panggilan itu), menerangkan bahwa Utada Hikaru adalah salah salah satu penyanyi yang "gue suka banget", dari remaja sampai sekarang. Untuk yang lupa, Utada Hikaru adalah penyanyi Jepang yang mendunia sejak akhir 90an (sampai sekarang) dan untuk telinga kaum awam seperti kita ini, lagu yang paling terkenal adalah First Love. 

"Padahal dia lebih daripada itu [First Love]. Dia sangat eksperimental," ujarnya lalu menyeruput kopinya. "For the record, gue suka artist pop, pop song—kalau popnya bagus, kayak Utada," Putche mengaku. "Bahkan kalau ditanya lebih ngefans Kanye atau Utada, mungkin jawabannya Utada," katanya tanpa ragu. 

Saya menyebutkan bahwa pertama kali melihat Ramengvrl di sebuah video saat tampil bersama cindercella, MINYO33, Titan Tyra, Nanda Arsyinta di YouTube FanFest Jakarta 2018. Dan jujur saat itu saya berpikir dia adalah rapper dari negara lain, karena di bagian akhir video, saat para penampil berbincang sebentar, Putche selalu menggunakan bahasa Inggris. Dibandingkan dengan bahasa Indonesia, apakah bahasa Inggris lebih bisa mengekspresikan apa yang ingin disampaikannya? 

"Iya, sih," tegasnya. "Orang suka mikir aku orang Jepang-lah, blasteran Chinese daratan-lah, padahal bukan." Tujuannya memakai bahasa yang digunakan oleh 20% dari populasi Bumi itu,  karena agar pesan yang ingin disampaikan lewat lagu, karyanya bisa "tersampaikan," tegasnya, tidak hanya terbatas di Indonesia, "mindset aku tuh, agar orang luar juga bisa relate sama lagu-laguku," tekannya. "Bukan masalah go international, ya," sambungnya, "tapi lebih kayak supaya yang dengarin lagu gue tuh nggak terbatas di Indo aja. Gitu aja, sih." 

Terdengar generik—pernyataan ini sering kali terdengar dari para penyanyi, musisi, aktris, aktor yang bermimpi untuk tidak hanya besar di dalam negeri tapi "dipandang" di seberang Pasifik dan Atlantik. 

"Tujuan itu sedikit demi sedikit sudah tercapai," tegasnya. "Dan sebenarnya ini bisa di-backup data juga," Putche berargumen. "Pendengarku itu udah banyak dari Malaysia, Philipine, Singapore, Eropa surprisingly, dan masih gradually increasing di US," katanya dengan intonasi antuasias. Dan dirinya juga baru kembali dari perjalanan ke USA. Ada proyek? "Semoga—tapi kita belum bisa bilang apa-apa," jawabnya cepat. "Karena kita juga belum tahu detailnya," ujarnya, lalu tertawa. 

Dan pesimisme serta nada sinis malah membuatnya semangat menjelaskan tujuannya tersebut. 

"Gue sangat aware dengan tantangannya," ujarnya tegas. "Tapi bukan itu yang bikin gue kayak ‘waduh susah nih, nggak bisa nih go international, nembus pasar US,'" sambungnya. "Tapi lebih kayak, ‘ok, strategi apa yah yang harus gue lakuin untuk nembus pasar itu' dan itulah yang lagi kita pikirkan bareng—manajemen dan label harus gimana," ujarnya sambil menjelaskan strategi yang sedang diterapkan dua nama besar yang sedang bergerilya di Amerika, Agnez Mo dan Rich Brian. "Itu nggak impossible. Dan gue udah siap banget. SIAP BANGET. Dari. Dulu," tekannya. 

Apakah ada ketakutan? "Takut, selalu," sambarnya. "Bahkan untuk beberapa proyek di Indoonesia, gue masih bisa takut," Putche mengaku. "Tapi kalau gue takut dan gue give in dengan ketakutan gue, gue nggak akan menjadi Ramengvrl, hahaha," ujarnya terbahak. Dan yang mengalahkan semua ketakutan itu, yang membuatnya bertekad untuk mencoba pasar internasional adalah, "gue takut menjadi artis yang gede banget, tapi cuma gede Indonesia. Gue nggak mau jadi artis begtiu, gue mending kayak nggak usah melakukan ini daripada gede di Indo doang," tegasnya. 

Ramengvrl "resmi" dilirik pecinta hip hop dan mereka yang haus akan sosok rapper perempuan sejak singel pertamanya setahun lalu, I'm Da Man, dengan lirik, "ngehe," jelasnya. Meski cerita kecintaannya terhadap rap dan hip-hop sudah mulai dari bertahun-tahun yang lalu. Tahun ini dirilis singel Ca$hmere (dan I AM ME) yang baru diluncurkan seminggu yang lalu). Seperti liriknya, apakah saat mati dia ingin diselimuti dengan kasmir? 

Terbahak, Putche menjawab, "Gue mau, sih." Menyeruput kopinya, dia menjelaskan bahwa meski "self-esteem gue rendah, tapi pada saat yang bersamaan gue juga suka hal-hal yang fancy. Apalagi gue udah ngomongin itu di lagu, jadi harus gue lakukan. Harus konsisten," katanya tegas. 

Dan sebelum memfokuskan diri 24/7 hari pada dunia musik, rap dan hip hop, Putche adalah seorang pegawai marketing di dunia E-commerce. "Ini bukanlah satu-satunya karier pernah yang gue lakuin dulu," ujarnya sambil menggelengkan kepala. "Gue pernah jadi blogger," lanjutnya, "pernah mau nyoba jadi jurnalis karena gue suka nulis, clothing line—tapi belum pernah ada yang tuntas. Nggak pernah ada yang gue jalani secara konsisten," ujarnya berdecak, "sampai gue mikir kayak ‘waduh, apa gue emang nggak dilahirkan menjadi orang kreatif ya, apa emang gue dilahirkan untuk jadi orang yang kerja di kantor aja, ya,'" tuturnya dengan nada bernostalgia. 

Cerita panjang disingkat, Ramengvrl sekarang adalah nominator AMI Award for Best Rap/Hip-Hop Production Work 2018, pemilik Instagram dengan follower lebih dari 86 ribu dan 20 ribu subscriber di YouTube. Logika rasanya jika kita berasumsi bahwa tidak ada penyesalan meninggalkan pekerjaan kantor dan memutuskan hidup dari dunia musik.

"Gue nggak pernah ada penyesalan," sambutnya tegas. Termenung dan terdiam sebentar, lalu "tapi lebih kayak, 'yaaah, coba gue mulai lebih cepat,'" ujarnya dengan ekspresi meratap. "Tapi emang sudah begitu kali jalannya," tambahnya cepat. "Karena gue yakin semua hal itu udah diatur waktunya. Kenapa gue harus kerja dulu bukannya langsung nge-rap. Itu pasti ada alasannya. Kalau misalnya gue mulai rap dari dulu, belum tentu gue seperti sekarang. Tapi penyesalan resign, trus jadi Ramen, nggak ada," Putche mengulangi dengan nada sama tegasnya. 

View this post on Instagram

👀👽⛓

A post shared by RAMENGVRL (@ramengvrl) on

Implentasi dan hikmah sederhana dari bergulat di dunia marketing sebelum menjadi rapper—yah, strategi pemilihan nama tadi. Awalnya, "pake 'i' bukan 'v'," katanya sambil mengangkat jari telunjuk dan tengah. Terdengar "ngehe" dan "tidak berbau hip hop" (dua pertimbangan Putche memilih nama) tapi jika dicari di Google, maka yang lebih dulu muncul adalah film almarhumah Brittany Murphy, The Ramen Girl (2008). "Gue pengennya ketika orang cari gue, yang keluar cuma nama gue," tuturnya. Tujuan tersebut tercapai. Ketika 'ramengvrl' di kotak pencarian Google, 10 halaman pertama (dan seterusnya) hanya berisikan alamat Instagram, link YouTube, Soundcloud, halaman Wikipedia, jadwal manggung dan berbagai artikel tentang Ramengvrl. (Bahkan tuan KnowsMore saja mungkin akan kesulitan mencari suggestion lain). Jenius. 

Pernah berkecimpung di pemasaran juga yang membuat Putche menyadari bahwa, "artis adalah produk." Dengan cepat dia menambahkan, "bukan berarti merendahkan artis dengan menganggap mereka sebagai produk semata, tapi cuma pada saat yang bersamaan, lo cari makan dari musik, mengulik musik, yah berarti [artis] udah jadi produk. Suka nggak suka," katanya dengan nada diplomatis. "Kita suka membuat karyanya, tapi yah memang ada sacrifices yang harus dilakukan, termasuk nggak menunjukkan flaws di depan publik." 

Topik yang sedang dia bicarakan kemudian menjurus ke media sosial. Bahwa seseorang—sebut itu influencer, selebgram, selebriti, artis, orang terkenal, pengedar video viral yang mendadak jadi orang terkenal—dituntut untuk tampil dan bertingkah laku mengikuti kode tertentu. 

"Ini jujur aja, terkadang gue capek untuk looks certain ways," ujarnya menghela nafas. "Gue sebenarnya orang yang paling malas gaya, dandan segala macam, tapi gue merasa masih tetap harus seperti itu, paling tidak di publik," tegasnya. Jika kamu mau tahu alasannya: "Selain musik, itu masih menjadi salah satu faktor yang membuat orang suka sama gue, sama Ramen. Karena di dunia musik, yang lo jual nggak hanya musik, tapi gue masih harus menjaga looks gue, jaga badan, harus facial supaya muka gue nggak muncul jerawat baru, harus pake baju yang ibaratnya yang hipster padahal gue nggak punya Supreme satu pun! Hahaha," ujarnya terbahak.

Untuk saat ini, "karena power yang gue punya nggak begitu begitu besar, maka gue harus tetap menjaga sentimen positif publik." Jika suatu saat statusnya menjadi level tertentu, "tolak ukurnya adalah semua orang yang dengerin Raisa juga dengerin gue," maka akan melakukan banyak hal untuk "empowering orang lain," Putche bertekad. "Kenapa gue melakukan hal ini? Yah, karena gue masih memiliki tujuan yang ingin gue capai, sih," tegasnya tanpa babibubebo. "Sekarang gue dalam proses menaikkan nama gue. Ah, marketing gue bekerja lagi ini," ujarnya menyengir lebar. "Kalau gue kerjain itu sekarang, segala strategi ini jadi terganggu, dan pada akhirnya orang nggak terlalu tahu gue, nggak terlalu nangkap message-nya apa, nggak efektif. Again, gue percaya bahwa semua hal itu ada waktunya," paparnya. 

Di beberapa wawancara lain, Ramengvrl rajin menyoal isu kesehatan mental. Saya bilang biasanya seseorang melakukannya karena orang-orang terdekat—atau dirinya sendiri pernah mengalaminya. Pengalaman sendiri biasanya berbicara dan menjadi dorongan yang paling besar. 

Terdiam sejenak, menghela nafas panjang, dan beberapa detik kemudian, "karena jauh sebelum banyak yang aware bahwa seleb juga bisa mengalami depression, gue pernah mengalami depresi—cuma waktu itu gue nggak tahu itu namanya depression," ujarnya dan menyebutkan pernah satu kali melakukan hipnoterapi. "Gue juga waktu itu nggak serius, dan mikir 'masak sih, gue kayak gini banget’—tapi waktu itu gue mengalaminya. Dan terutama setelah masuk ke industri ini, gue menyadari ada teman-teman juga mengalaminya. Menurut gue, musisi itu bunch of depressed people—makanya mereka bikin karya," ujarnya dengan nada prihatin. "Itu menurut gue ya," tegasnya lagi. "Itulah yang membuat gue peduli banget. Gue menurut ada sedikit tanggung jawab untuk mengangkat awareness-nya. Bahwa itu sesuatu yang bisa terjadi sama siapa aja, bahkan pada orang yang kelihatannya sudah fulfilled, punya banyak duit, status bagus. [Depresi] itu dekat banget, kayak bernafas. Pokoknya bisa terjadi aja, jadi memang kondisi yang harus dikasih treatment." 

Naikkan volume dan level bass saat mendengarkan I AM ME, lalu dengarkan liriknya dengan intensitas seperti mendengarkan lagu Adele saat kamu patah hati, maka akan tertangkap pesan-pesan, komentar-komentar sosiali, misalnya tentang identitas diri dan body image. 

"Yang mau gue bilang adalah mau lo kurus, gemuk, keriting, rambut lurus—lo lakuin aja yang lo mau," tekannya. Sepertinya tidak benar juga jika Ramengvrl 'menunda' misi empowering-nya hingga nanti, sampai seterkenal Raisa. "Maksud gue adalah ada banyak cara untuk empowering orang dan cara itu nggak linear. Jujur aja, gue masih ada ketakutan tersendiri," akunya. 

Takut. Tidak percaya diri. "Self-esteem gue rendah," ulangnya. Dan dari pengalaman pribadinya, depresi tidak terlalu mempengaruhi keinginannya malah untuk berkarya ("malah bikin gue makin berkarya"). Efeknya lebih "bikin gue bisa banget mikirin omongan-omongan negatif orang," ujarnya dengan nada muram. "Bahkan, ketika nggak ada omongan negatif, gue bisa berkontribusi pada negativity itu sendiri," jelasnya menggelengkan kepala.

View this post on Instagram

👀👽⛓

A post shared by RAMENGVRL (@ramengvrl) on

Putche memotong caramel cake di depannya, mengunyahnya pelan. "Sampai sekarang juga, kalau gue ngeliat ke cermin, gue bisa ‘iiih’ gitu," ujarnya memperlihatkan ekspresi sedikit jijik. Padahal, menurutnya, beberapa menit sebelumnya, misalnya, baru saja ada penggemar yang mengajak foto sampai histeris. "Logically speaking, self-esteem-nya naik dong, tapi kalau gue yah udah, self-esteem-nya tetap low," tuturnya, mengangkat bahu. "Atau misalnya, gue memposting sesuatu di Instagram atau video, tapi yah nggak jadi karena gue nggak pede, karena gue udah kepikiran tentang hal-hal komen negatif, apa yang akan netizen ngomongin. Jadi gitu sih, efek depresi yang gue rasakan bukan langsung ke proses pembuatan karya, tapi turunan-turunannya." 

Tunggu dulu, tidak pede? Meski memang banyak orang terkenal yang sudah buka-bukaan bahwa percaya diri yang diperlihatkan saat berpose chicken arms atau pigeon toe adalah ilusi dunia maya, tetap saja para penggemar sulit memercayainya. 

"Nah, itu yang orang-orang nggak tahu," responnya cepat. "Karena 'kan kalau di sosmed, orang mikir mereka get to know the personal view of their idols. Tapi sebenarnya, sekarang sosmed itu sudah jadi platform jualan, mau nggak mau mereka harus berpenampilan bagus, atau berpenampilan segimana ekspektasi orang," ujarnya blak-blakan.

"Tapi yang mereka nggak tahu adalah bahwa orang-orang ini [selebgram, influencer, dsb], malas ngepost yang begitu, mungkin capek keliatan begitu terus," bebernya. Bukan bermaksud mengeluh karena status selebgram/influencer pun datang dengan berbagai keuntungan. Bahkan diprediksikan tahun depan influencer makin akan dicari, terutama nano-influencer (para influencer yang paling dipercaya dan paling memiliki pengaruh atas teman dan keluarga mereka). Tahun depan, untuk mempromosikan sesuatu, merek-merek akan lebih menggunakan nama mereka dibandingkan keahlian agen periklanan, rumah produksi, dan penerbit. 

"I know for a fact, para influencer itu juga punya private account yang isinya jauuuh banget dari apa yang mereka posting di public account mereka," jelasnya. "Gue juga punya dan teman-teman gue juga punya," tegasnya. Akun pribadi ini hanya diketahui oleh orang-orang terdekatnya. "... dan ternyata influencer, seleb yang punya private account yang isinya lumayan depresif," tuturnya dengan nada prihatin. "Maksud gue, kayak terlihat banget bahwa di public account itu udah jadi jualan aja, udah jadi kayak apa ya," ujarnya terdiam sejenak. "As simpel as branding," lanjutnya, "branding gue sebagai Ramengvrl harus gimana, tapi diri gue yang sebenarnya mungkin tidak sepede Ramengvrl." 

Terdengar sedikit membingungkan kehidupan para influencer dan seleb ini.

"Memang, iya," tegasnya, mengangguk-anggukkan kepala. "Tapi bukan berarti apa yang gue tunjukkin di Ramengvrl itu palsu ya," tambahnya. "Karena Ramen itu adalah juga manifestasi diri gue sendiri. Misalnya gue bilang gue ngehe, itu juga emang gue begitu aslinya. Tapi ada beberapa aspek yang gue nggak tunjukkin, karena gue punya awareness bahwa Ramengvrl in public itu jualan. Semua ini kita jualan—semua ini jualan," katanya menyebutkan nama beberapa influencer yang juga adalah teman baiknya. "Dan prinsipnya kayak sales aja: lo mau jualan barang, lo nggak mungkin menunjukkan rasa sedih, flaws ke orang-orang calon pembeli. Sesederhana itu, sih," tandasnya. 

Well, we take Ramengvrl, flaws and all. Dan satu lagi, menghabiskan waktu hampir satu jam dengan Ramengvrl terbersit sebuah kesimpulan: You can take the girl out of marketing, but you can't take the marketing out of the girl. Jenius. 


Selanjutnya: Bahagia di sosial media dan di dunia nyata bukan sesuatu yang mustahil. Psikolog ini menjelaskannya.