Ini Cara Menyampaikan 'Tidak' Kepada AnakTanpa Harus Mengatakan 'Tidak'

Ini Cara Menyampaikan Tidak Kepada AnakTanpa Harus Mengatakan Tidak
ISTOCK

Ada triknya.

Lidah tidak bertulang. Namun, untuk mengatakan "tidak" kepada anak—lidah seperti memiliki tulang belulang dinosaurus, ditambah berat truk bermuatan penuh. Itu, plus rasa galau pasca mengucapkannya. Penting sih, mengatakan "tidak" tapi seandainya ada kata lain yang terdengar lebih "halus". Ada 'kan ya?

“Bersikap tegas dan memberikan aturan yang jelas penting bagi anak, namun hal tersebut tidak harus selalu dengan mengatakan ‘tidak’. Alih-alih mengatakan tidak, orangtua dapat memberikan batasan dan aturan yang jelas, di mana hal tersebut akan mengarahkan anak dalam berperilaku," jelas Marcelina Melisa Dewi, S. Psi, M. Psi, Psikolog., seorang psikolog klinis anak dari Mutiara Edu Sensory dan Brawijaya Clinic. 

Ah, aturan. Kita orang dewasa ini pun masih sulit patuh aturan (mata kita tertuju pada mereka yang tetap menyalakan ponsel saat pesawat tinggal landas). 

“Aturan yang dibuat dapat menjadi salah satu bentuk disiplin bagi anak yang dapat dipelajari sejak berusia dini. Anak dapat mulai belajar untuk disiplin sejak ia memahami instruksi satu tahap. Saat anak berusia sekitar 18 bulan, orangtua dapat mulai memperlihatkan apakah anak dapat memahami instruksi orangtua, seperti: ‘coba adik duduk di atas bangku’. Jika anak sudah bisa melakukan hal tersebut, berarti ia sudah memahami instruksi satu tahap,” ungkapnya.

Memperkenalkan disiplin dan aturan pada anak sangat disarankan. (Atau orang dewasa, karena lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?)

“Menerapkan aturan pada anak adalah salah satu cara membentuk disiplin anak. Saat kecil, anak harus diperkenalkan pada aturan, namun yang tidak kalah penting adalah orangtua juga sebaiknya memberikan penjelasan logis mengapa aturan ini harus diterapkan. Penjelasan tentunya disesuaikan dengan rentang usia anak. Misalnya, jika anak berusia di bawah 5 tahun, tentunya penjelasan yang diberikan haruslah sangat konkret, disertai oleh contoh nyata, serta menggunakan mainan untuk analogi jika dibutuhkan. Penjelasan logis ini dibutuhkan untuk membentuk kontrol diri anak kelak saat usianya sudah lebih besar. Melalui kontrol diri, anak bukan hanya akan menaati aturan yang bertujuan positif, namun anak juga kelak dapat menentukan sendiri aturan yang dibutuhkannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik,” jelas Lina.

Jika yang dituai baik, yang ditabur pun baik. A.K.A. karma. Hah!

Menurut Lina, orangtua bisa mengarahkan anak untuk mengikuti aturan, tanpa harus terlalu sering mengatakan kata ‘tidak’. Caranya dengan, “menggunakan sistem rewards yang diberikan hanya jika anak menampilkan perilaku yang diharapkan atau tidak menampilkan perilaku yang dihindari. Hal yang krusial adalah orangtua harus menemukan hal yang berharga bagi anak untuk dijadikan rewards. Jika rewards berharga bagi anak, ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan rewards. Orangtua juga dapat menyesuaikan pemberian rewards, apakah akan diberikan langsung jika anak berhasil mencapai tujuannya, ataukah menggunakan sistem mengumpulkan poin hingga jumlah tertentu untuk mendapatkan rewards,” sarannya.

Para ibu yang hobi mengumpulkan poin untuk belanja pasti paham betul hitung-hitungan dan siasat agar mendapatkan rewards yang besar pada saat yang tepat. Namun tetap saja, kerumitan mengatakan "tidak" pada anak sepertinya lebih besar dibandingkan menahan diri untuk tidak belanja. Rumit 'kan? Kuncinya: bicarakan aturan, beserta syarat dan ketentuan yang berlaku (jangan lupa sertakan tanda *)—bersama-sama dengan anak . Lalu, bergerak dan kembangkan dari hal tersebut.

Dan jika sesekali kamu tidak berhasil menerapkan disiplin, tarik nafas dan let it go, move on. Tenangkan hati, pikiran, dan ucapkan satu kata ini. Lalu, bagaimana jika kita maskeran dulu dengan menggunakan sheet maskini?