Bagaimana Mengatasi Takut Saat Berada di Dalam Pesawat

Bagaimana Mengatasi Takut Saat Berada di Dalam Pesawat
ISTOCK

Tips super penting bagi avophobe. 

Bagi sebagian orang berada di dalam pesawat, terbang di ketinggian 30 ribu kaki dan mengalami sedikit turbulensi seperti sedang bermain rollercoaster —seru! Sementara, tidak sedikit menganggap pengalaman tersebut seperti "sebentar lagi saya akan mati." Aviophobia. Komat-kamit berdoa sepanjang penerbangan; jika durasi perjalanan satu jam, berdoa selama itu—jika 14 jam, yah... mulutmu pasti berbusa-busa (selamat, karena kamu sudah menuaikan sepersekian persen "jatah wajib" berdoa seumur hidup). 

Salah satu cara untuk mengatasi ketakutan terbang ini, kita pun membaca tips dan statistik yang diharapkan mampu meredakan imajinasi yang ketinggiannya sampai ke Mars dan kedalamannya hingga dasar Laut Mati. Misalnya, data yang menggembar-gemborkan bahwa kemungkinan pesawat jatuh hanya satu dari 1,2 juta penerbangan. Atau, secara statistik mati karena kecelakaan pesawat: 1 berbanding 11.000.000. Saat membaca dan mengingat fakta ini, diharapkan kita otomatis tenang dan masuk ke dalam pesawat sambil tersenyum-senyum dan ekstatik. Namun, "satu" tetaplah angka—artinya tetap ada kemungkinan kecelakaan terjadi. Dan jika kamu seperti Woop yang mengalami panas dingin dan jantung deg-degan sebulan sebelum dijadwalkan terbang, pasti tahu benar bahwa angka satu tersebut akan terlihat 10 kali lebih tebal dan besar dibandingkan 1,2 juta—paling tidak di dalam pikiran. 

"Pernyataan tersebut memang dimaksudkan untuk menenangkan. Namun sebaliknya, malah membuat panik," tulis Tom Bunn L.C.S.W, seorang terapis dan pilot pesawat. Menurutnya, ketika orang yang takut terbang mendengar kalimat seperti 'kecelakaan pesawat terjadi dari satu dari sekian juta penerbangan', "mereka membayangkan apa yang dirasakan oleh mereka yang berada di dalam satu kecelakaan pesawat tersebut," lanjutnya. 

Ketika Malaysian Airlines MH370 hilang secara misterius, atau MH17 ditembak jatuh oleh misil, otak para avophobe akan berusaha membayangkan detik-detik sebelum peristiwa naas itu terjadi. Dan mengimajinasikan jika hal yang sama akan terjadi dengannya hari itu, saat berada di dalam pesawat. 

Saran itu statistik itu gagal, lalu kita mencoba tips lain, misalnya: usahakan mengalihkan pikiran, bayangkan kita sedang berada di sebuah tempat indah dan menyenangkan—misalnya sedang liburan di Bora-Bora. Akan tetapi Bunn berarugmen bahwa tips ini mengakibatkan bencana psikologis, paling tidak saat kita sedang berada di udara. "Hal ini karena amygdala, bagian otak yang melepaskan hormon stres, mempersiapkan diri menghadapi bencana. Ketika pesawat tiba-tiba turun, amygdala bereaksi sama dengan ketika kamu jatuh dari tangga ketika sedang mengecat plafon. Tidak peduli sefokus apapun kamu pada pengecatan, ketika jatuh, hormon-hormon stres dirilis secara otomatis," lanjutnya. 

Plus, menurut Bunn orang yang takut terbang cenderung percaya bahwa apa yang terjadi di dalam pikiran mereka adalah juga yang terjadi di kehidupan nyata. Padahal ini adalah dua hal yang berbeda. Bagaimana mencegah hal ini? "Kita bisa melakukannya dengan menghalangi perilisan hormon stres yang menyebabkan pikiran penuh dengan teror, atau menolak efek hormon stres sehingga tidak mengakibatkan pikiran melayang kemana-mana. Ini akan membuat pikiran seseorang untuk tetap logis dan terkoneksi dengan apa yang terjadi, alih-alih berimajinasi terlalu liar." 

Salah satu metode yang disarankan oleh Bunn adalah menghalangi perilisan stres hormon dari sumbernya—amygdala. Yakni dengan memproduksi oxytocin (hormon cinta yang membuat kita lebih empatis, murah hati, dll), yang akan menghalangi amygdala. Salah satu cara memproduksi oxytocin dengan natural adalah  mengingat memori-memori indah, misalmya saat pertama kali menyusui anak, berhubungan intim dengan seseorang yang kamu cinta atau mengingat binatang peliharaanmu. 

Untuk bisa "menguasai" teknik ini, otakmu perlu latihan dan waktu. Pada akhirnya, latihan seperti ini bertujuan untuk membuat amygdala tidak terlalu dominan. Dan Bunn mengingatkan satu hal bahwa: amygdala hanya berukuran sebesar biji almond, dan "amygdala tidak akan pernah lebih pintar darimu. Satu-satunya pertanyaan adalah, apakah kamu cukup pintar untuk tahu bahwa kamu lebih pintar dari amygdala, dan ketika berhubungan dengan terbang, untuk tidak menghiraukannya? Lagi-lagi, memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan." Oleh karena itu, Bunn menganjurkan agar kita mempraktekkan dan melatih agar oxytocin diproduksi lebih banyak ketika takut terbang melanda.