Interview: 3 Perempuan Hebat tentang Suka Duka Mewujudkan Mimpi

Interview: 3 Perempuan Hebat tentang Suka Duka Mewujudkan Mimpi
WOOP.ID

Founders speak up.

PUTI CENIZA SAPPHIRA, FOUNDER of PUSTAKALANA   

img

Nama usahanya, Pustakalana (artinya: berkelana di dunia pustaka). Yep, kamu benar, yang satu ini ada hubungan—erat malah—dengan buku. Pendirinya, Puti Ceniza Sapphira, yang akrab dipanggil Chica. Didirkan sejak tahun 2005, di Bandung. 

“Ceritanya panjang,” kata Chica, seraya tertawa.

Tidak apa-apa, Woop punya banyak waktu. 

“Sebenarnya, ini karena pengalaman merantau," ibu dua anak ini mengawali ceritanya. "Jadi, yang aku pikir salah satu cara aku beradaptasi, kali ya. Kebetulan juga pas aku merantau keluar negeri itu, aku lagi hamil 4 bulan. Jadi, aku benar-benar nggak bisa keluar, cuma bisa baca buku dan belajar di perantauan. Tapi saat usia [kehamilan] sudah masuk 7 bulan, aku baru bisa diajak pergi keluar rumah. Aku menemukan bahwa salah satu tempat di kota—kota mana pun sebenarnya di Amerika, penuh dengan perpustakaan. Jadi, di sana tuh image dari perpustakaan itu bukan hanya untuk meminjam buku saja dan bukan tempat yang bosenin, sama sekali nggak," tegasnya. Melainkan, "di sana [perpustakaan], aku menemukan orang-orang baru untuk bisa menambah teman,” ujarnya.

Sempat tinggal di Amerika, tepatnya di New Bedford, State Massachusett, tidak membuat dia melupakan tempat kelahirannya. Dia bercerita bahwa tempat tinggalnya di Amerika merupakan sebuah kota kecil yang hanya berpenduduk sebanyak seratus ribu orang saja, tapi memiliki lima perpustakaan dengan koleksi yang lengkap. “Iya, di sana semua koleksinya sangat mumpuni banget. Bahkan kalau mampir ke perpustakaan kota Bandung saja, nggak ada jumlah koleksi yang selengkap itu,” ujarnya, miris.

[wawancara terhenti sejenak karena seorang teman Chica datang menghampiri].

Lalu, tak lama Chica berkata, “kenapa awalnya bikin Pustakalana? Karena aku ngelihat sendiri, di Indonesia, eh bukan di Indonesia," koreksinya, "aku mempersiapkannya untuk balik ke Bandung, karena menurutku di Bandung nggak ada wadah seperti Pustakalana. Walaupun Pustakalana base-nya adalah perpustakaan, tapi soul-nya ada di aktivasi perpustakaan itu sendiri. Menurutku, perpustakaan itu akan mati jika tidak ada kegiatan,” ujarnya, dengan antusias.

“Saat banyak orang berkoar-koar, kenapa literasi banyak orang Indonesia ini jelek banget, kenapa sih kita peringkat 2 terakhir setelah Zimbabwe, yah itu, karena dari kecil kita tidak dibiasakan, menjadikan part of reading atau misalkan pergi ke perpustakaan sebagai suatu budaya. Bagaimana caranya, kita lebih nyasar ke orang-orang yang lebih besar akan lebih sulit. Jadi, aku berpikir ya udah deh, dari 7 tahun ke bawah aja. Dari usia dini diperkenalkan tentang perpustakaan, dan dia juga bisa tertarik lihat buku, tertarik minta dibacakan, dari situ dia akan lebih mencintai membaca dan buku itu sendiri,” paparnya.

Satu setengah bulan dibutuhkan Chica untuk mempersiapkan perpustakaan ini. Dan untuk membantu mobilisasi penduduk, Chica memutuskan membukanya di tengah kota. Jika tidak sempat datang, "kita punya library management system, di mana orang bisa melihat koleksi buku kita. Sampai sekarang bisa reserve buku, nanti kita bisa kirim. Jadi, Pustakalana berusaha memudahkan orang untuk bisa meminjam buku berkualitas. Jadi, nggak ada tuh alasan untuk tidak membaca buku. Kita tahu buku itu bukan barang primer, karena mahal 'kan? Misalnya harga buku dua ratus ribu, banyak orang yang memilih untuk beli baju atau makan 'kan?” ceritanya, penuh semangat.

Adakah kendala yang dihadapi?

“Dulu sempat aku mengalami kendala bahwa, wah... ternyata membuka perpustakaan di tengah kota, biayanya nggak sedikit!" ujarnya, terkesima. "Kita bisa dapat uang darimana untuk bisa dapat tempat yang affordable? Yang kita tahu, perpustakaan adalah usaha non-profit, 'kan? Akhirnya, cari-cari komunitas, bisakah kita ‘nebeng’ di sini, bisa bayar sekian atau rekening sharing dan segala macemnya. Ya udah, ketika dijalani masih ada banyak kendala, karena konsep perpustakaan sendiri langsung men-judge ‘oh iya perpustakaan, siapa yang mau ke sana,'" kenangnya. 

“Awalnya kalau nggak dapet tempat, aku berpikir ‘how to make it without...' tanpa kendala tempat. Jadi, misalnya harus pakai aplikasi, orang tinggal klik saja. Dikirim! Itu sempat jadi opsi aku," tuturnya.

Kendala ada. Duka? 

HALAMAN
1234