Bagaimana Mengenali dan Mengatasi Pasangan yang Terlalu Dominan

Bagaimana Mengenali dan Mengatasi Pasangan yang Terlalu Dominan
ISTOCK

Berlebihan—bahkan warna cat kuku pun ditentukan olehnya.

Coba jawab dengan jujur: seberapa dominan pasanganmu? Dalam banyak hal, misalnya menentukan: makan dimana, destinasi liburan tahun ini, teman yang boleh tetap ditemani, sampai baju apa yang boleh dipakai setiap kali ke luar rumah. Jika ada musyawarah untuk mufakat untuk mayoritas hal di dalam hubungan, dibicarakan dan diputuskan bersama-sama berdasarkan persetujuan mutual, itu bagus. Namun, ada lho, pasangan yang terlalu dominan; semuanya harus ditentukan olehnya, bahkan keputusan cat kukumu pun harus menunggu persetujuannya. Mungkin kamu melihatnya pada hubungan temanmu—atau bahkan dirimu sendiri tapi tidak mengenalinya. Bagaimana agar bisa mengidentifikasinya, dan mencari solusinya? Woop bertanya kepada seorang psikolog klinik dewasa dari TigaGenerasi dan juga dosen psikologi Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi, Psikolog.,

“Sebetulnya, sifat dominan tidak selalu buruk untuk hubungan," katanya mengawali penjelasan tentang sikap dominan dalam hubungan. "Karena dalam situasi genting, dalam sebuah hubungan terkadang perlu ada orang yang lebih dominan untuk mengambil keputusan cepat. Misalnya, istri boleh saja lebih ‘dominan’ saat menentukan sekolah anak. Sedangkan soal perawatan mobil, bisa saja suami yang lebih ‘dominan.'"

Lanjutnya, “Tapi sifat dominan ini bisa berefek buruk jika tidak dikendalikan. Jika salah salah satu pihak, suami/istri terlalu mendominasi segala aspek hubungan, maka ada kemungkinan suara, pendapat atau kebutuhan pasangannya menjadi tidak terakomodasi. Jika kebutuhan tidak terakomodasi, seseorang bisa merasa tertekan, dan tidak puas dengan hubungan yang dijalani. Ketidakpuasan membuat hubungan menjadi rentan terhadap ‘godaan’ dari luar." 

Sifat dominan yang dimiliki seseorang sepertinya tidak muncul kemarin atau dua hari lalu. Benarkah?

“Seseorang bisa memiliki sifat dominan karena bawaan," jawabnya. "Contohnya, agreeableness rendah atau tough-minded tinggi dan didukung oleh sistem pengasuhan di keluarga."

Pingkan memberikan contoh seorang kakak tertua yang diharapkan oleh orangtua bisa mengurus adik-adik dan ikut mengambil keputusan di keluarga. "Jika ia memiliki hubungan romantis, maka akan cenderung dominan, karena terbiasa begitu," tuturnya. 

Jadi, apakah bisa diartikan bahwa semua orang bisa memiliki sifat dominan? "Iya," Pingkan membenarkan. "Setiap orang memiliki kecenderungan dominan. Ada yang tinggi, biasanya terlihat dari pola perilaku yang sering mengambil posisi sebagai pemimpin, sigap dalam mengambil keputusan. Ada juga yang rendah, biasanya ia tidak terlalu dominan dan sesekali saja. Meskipun seseorang memiliki sifat dominan, sebenarnya ia bisa mengendalikan sifat tersebut, agar hubungannya lebih memuaskan,” lanjutnya.

Pingkan menuturkan bahwa jika pasanganmu memiliki sifat yang proaktif, tahu apa yang diinginkan, cenderung cepat mengambil keputusan, dan lebih suka memimpin daripada mengikuti orang lain—ini bisa mengindikasikan dia akan menjadi pihak dominan di dalam sebuah hubungan. Dan seperti yang disebutkan di atas, kebiasaan ini bisa membuat pasangannya tertekan, tidak puas dengan hubungan, sehingga mengalami ketidakpuasaan. 

“Tapi ada juga orang yang memang mencari pasangan yang dominan," Pingkan mengingatkan. "Jika terjadi keseimbangan seperti ini, maka hubungannya akan cenderung stabil. Dan kalau ada keseimbangan, pengambilan keputusan dalam hubungan menjadi efektif.”

Nah, jika setelah membaca ini kamu mulai menyadari—atau mengakui—bahwa pasanganmu termasuk dominan dan sering membuatmu kesal, Pingkan memberikan beberapa trik untuk mengatasinya: 

  1. Observasi perilaku pasangan yang menurut kita dominan.  
  2. Cari waktu untuk bicara, dan ungkapkan ke pasangan mengenai perilakunya yang menurut kita dominan (misalnya: terlalu ingin mengontrol dan cenderung mengabaikan kita).  
  3. Ungkapkan perasaan kita saat pasangan menunjukkan perilaku dominan berlebihan.  
  4. Tawarkan alternatif perilaku yang bisa ia lakukan, misalnya: saat pasangan selalu memilih tempat kencan tanpa mendengarkan pendapatmu. Ungkapkan bahwa hal ini membuatmu sedih karena merasa diabaikan. Lalu bilang juga bahwa kamu akan sangat menghargai kalau pemilihan tempat kencan bisa dilakukan bersama, atau bergantian.  
  5. Orang yang  dominan biasanya senang kalau tujuannya tercapai, jadi ingatkan dia akan tujuan hubungan kalian berdua. Kemudian ingatkan bahwa kamu sangat menganggap penting adanya kesetaraan dalam mengambil keputusan dalam hubungan kalian. Jadi, agar tujuan hubungan kalian tercapai, maka pasangan perlu meredam perilaku dominannya.

Namun, bagaimana jika dominasinya ini sudah terlalu berlebihan, adakah cara mengubah sifatnya tersebut? 

“Untuk memberhentikan sama sekali sifat dominan merupakan hal yang sulit dilakukan," tukas Pingkan. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk membicarakannya bersama-bersama dan mencari kesepakatan berdua.

"Perlu diketahui bahwa dominan adalah sifat yang netral, tidak baik atau buruk. Sifat ini lebih bersifat ‘outcome focused’ daripada ‘people-focused’. Akan membawa efek buruk kalau digunakan berlebihan, karena lebih fokus pada tujuan dan kepentingannya sehingga kadang lupa memperhatikan perasaan pasangan. Terkadang hal ini tidak disadari, makanya pasangan perlu bantuanmu untuk mengingatkan kalau ia sudah kelewat dominan. Jika terbiasa saling mengingatkan, maka pasangan akan dapat membentuk kebiasaan baru. Contohnya, diskusi sebelum memutuskan, dan ini akan mengurangi perilaku dominan pasangan," tutupnya.