Bagaimana Berani Mengatakan 'Tidak' tanpa Merasa Tidak Enak

Bagaimana Berani Mengatakan Tidak tanpa Merasa Tidak Enak
ISTOCK

Masalah diam-diam banyak orang. 

Tunjuk tangan, siapa yang pernah merasa tidak enak ketika ingin menolak sesuatu? Seringkali yang terucap dari mulut "iya", tapi sebenarnya di dalam hati "tidak" saat seseorang menawarkan atau meminta sesuatu. 

'Nonton Insidious, yuk?"

"Ayo." (Padahal paling tidak suka film horor.) 

"Mau makan di restoran ini?"

"Sip." (Saat mengecek di Zomato, biaya makan di restoran tersebut per orang lebih dari 200 ribu, padahal sedang mengirit.) 

Sudah berkali-kali bertekad, berjanji kepada diri sendiri untuk bilang berani bilang tidak, tapi urung karena merasa tidak enak, sungkan dan bersalah. 

“Harus dijelaskan terlebih dahulu ya, arti rasa 'tidak enak' atau 'sungkan' itu dapat diartikan dalam banyak terminologi. Namun, untuk kasus ini, saya mengkategorikannya sebagai submisif," kata Maharsi Anindyajati, M. Psi, Psikolog, seorang psikolog klinis dewasa dari Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta, menuturkan kepada Woop.

Apa itu submisif? “Perilaku submisif merupakan perilaku patuh atau tunduk terhadap orang lain. Ia tidak akan mau membuat orang lain kesal dan untuk itu, ia rela mengorbankan dirinya.”

Bagaimana perilaku bisa terbentuk—lingkungankah? “Tentunya ada," tanggap Maharsi. "Peranan lingkungan dalam membentuk perilaku ini sangatlah besar. Orang dengan sifat submisif lebih mementingkan kebutuhan orang lain dan mengabaikan kebutuhan dirinya,” jelasnya.

Dalam kenyataannya, banyak dari kita yang langsung menjawab “IYA” ketika dimintai tolong untuk melakukan sesuatunya, misalnya oleh bos atau orang terdekat. Padahal sebenarnya, jika boleh jujur—tanpa merasa 'tidak enak'— inginnya sih, bilang tidak. Namun ketika ditanya, "Kenapa tidak menolak?" Alasannya: "'Kan bantu teman." 

Menurut Maharsi alasan utama kenapa kita susah menolak atau takut untuk bilang tidak, adalah ketakutan berkonflik. "Orang seperti ini biasanya akan berusaha semaksimal mungkin menghindari konflik dengan orang lain. Contohnya nih, sudah antri panjang tapi tiba-tiba antriannya dipotong orang lain, pasti ia akan mengalah dan membiarkan orang lain menyerobotnya,” paparnya.

Untuk menjadi orang yang berani bilang tidak kepada orang lain, apa yang harus dilakukan?

"Jadilah seseorang yang berperilaku asertif!” tegasnya. Menurutnya, orang yang memiliki perilaku asertif biasanya akan menghargai kepentingan dan kebutuhan diri sendiri dan orang lain. Serta mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak agar tidak ada yang tersakiti. Kemudian, orang yang asertif akan mampu mengomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain tanpa menyakitinya. “Tapi mengubah seseorang menjadi asertif bukan hal yang mudah. Yang paling utama adalah adanya keinginan dan kesadaran diri sendiri untuk mengubah perilaki submisifnya. Dia harus menyadari betul apa kerugian yang didapatkannya, dan keuntungan apa yang ia dapat ketika sudah berubah. Selain itu, sangat diperlukan dukungan dari lingkungan dan pembiasaan untuk mampu bersikap asertif,” tuturnya. 

Seandainya nih, kita berani bilang tidak, apa yang kita dapatkan? “Apabila berhasil menjadi asertif, tingkat kepercayaan diri akan naik dan lebih baik lagi. Harga diri atau self-esteem kita pun akan meningkat. Hal ini tentunya sangat positif bagi kita dalam berinteraksi dengan lingkungan," Maharsi menjelaskan.

Namun, Maharsi pun menjelaskan bahwa ada efek negatif yang akan diterima jika kita tidak berani mengubah perilaku submisif. “Pastinya, memiliki kepercayaan diri dan harga diri yang rendah. Perilaku submisif juga mencerminkan kecerdasan emosi yang kurang baik. Akibatnya, interaksi diri dengan lingkungan akan mengalami banyak masalah. Selain itu, dalam jangka panjang, kesehatan mentalnya akan mengalami gangguan,” tutupnya.

Jadi untuk kita yang masih sulit mengatakan tidak, bagaimana jika memasukkan ini ke dalam resolusi 2018-mu: belajar untuk berani bilang tidak atau iya dengan enak? *Jawabannya boleh iya atau tidak, lho.*