Tanya Psikolog: Apa itu Baby blues dan Apa Gejalanya?

Tanya Psikolog: Apa itu Baby blues dan Apa Gejalanya?
ISTOCK

Baby Blues sangat perlu kita bicarakan untuk menjaga kesehatan sang ibu dan anak, karena ini terjadi pada semua ibu.

Sekali lagi, ada gejala umum yang biasanya dialami oleh penderita yang setidaknya terus-menerus dirasakan paling tidak selama dua minggu. Di antaranya:

  • Merasakan kesedihan yang intens,
  • Hilang minat dan semangat untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya disukai/dinikmati, 
  • Penurunan selera makan,
  • Gangguan tidur; sulit atau terlalu banyak tidur,
  • Kehilangan energi atau kelelahan yang berlebihan,
  • Perasaan tidak berdaya, tidak berharga atau bersalah,
  • Kesulitan untuk berpikir, konsentrasi atau membuat keputusan, dan
  • Muncul pikiran tentang kematian atau bunuh diri.

"Intensitasnya bisa beragam pada setiap orang," Deasy menambahkan. 

Baca: Ini Kenapa Ibu Rumah Tangga Lebih Berat Dari Wanita Karir

Harus diakui dengan jujur juga bahwa, ada banyak persepsi yang salah tentang PPD di masyarakat. Mulai dari dakwaan bahwa ibu yang mengalami ini mentalnya sakit/ rusak/ gila. Atau seperti yang dikatakan oleh Deasy, para ibu yang baru saja punya bayi dan mengalami PPD, karena punya kesalahan/ dosa besar, kurang bersyukur, lemah imannya, bahkan diberi predikat si manja, malas dan tidak mau berusaha sembuh, dan lain sebagainya.

"Hal-hal di atas terkadang bisa memperberat penderitaan mereka yang mengalami PPD, akan semakin merasa tidak diterima, tidak dipahami dan dirinya semakin tidak berarti," tutur Deasy. 

Jika kamu atau siapa pun pernah memiliki pemikiran seperti itu—saatnya memperbaharui pengetahuan, bahwa: PPD bisa terjadi pada siapa pun, dan "ada kontribusi faktor perubahan hormonal dan kelistrikan otak yang memicu munculnya PPD. Setelah melahirkan, ada penurunan hormon (estrogen dan progesteron) yang bisa mengarah ke kondisi PPD. Selain itu, ada hormon lain yang juga memunculkan rasa lelah dan tertekan," Deasy menekankan. 

Cara Mengatasi Postpartum Depression

Lalu, selanjutnya apa? Jika kamu merasa mengalami gejala tersebut, daftar pendek ini mungkin bisa membantu sebagai pertolongan pertama.

Ini yang sebaiknya kamu lakukan:

  • Cobalah untuk tidak menyalahkan diri sendiri.
  • Bicarakan, cari dukungan dan bantuan dari orang-orang terdekat, untuk memahami kondisi.
  • Cari pertolongan tenaga profesional, psikolog atau psikiater.
  • Meski tidak mudah, berusahalah untuk bisa rileks dan beristirahat. "Kurangnya waktu istirahat dan tidur akan menurunkan energi mental, yang pada akhirnya bisa memperparah kondisi."
  • Berusahalah untuk bergerak, beraktivitas, bila mungkin ke luar rumah dan perbanyak berjemur di bawah sinar matahari pagi karena ini adalah sumber vitamin D. "Penelitian menunjukkan, kurangnya serapan vitamin D dalam tubuh juga berkontribusi memunculkan kondisi depresi," tuturnya. 
  • Beberapa penderita PPD mungkin akan merasa lebih nyaman ketika meluapkan emosinya lewat tulisan/membuat jurnal harian. "Ini juga bisa berguna untuk memantau perubahan dan perkembangannya nanti, saat berkonsultasi," kata Deasy.
  • Untuk pendamping, berusahalah untuk berempati dan memahami penderita PPD dengan menerima kondisinya, sebagai sesuatu yang sama sekali tidak dia inginkan. "Sama halnya seperti penyakit fisik, tidak ada yang mau mengalaminya 'kan?"

Seperti yang disinggung di atas, PPD adalah sesuatu yang sebaiknya dibicarakan—terutama dengan pasangan. 

"Inti utama yang perlu disampaikan segera adalah SOS, I need help!" saran Deasy. "Saat mengalami PPD, biasanya seseorang akan merasa tidak bersemangat, kehabisan energi, lelah dan sulit untuk fokus berpikir. Ini membuat tak mudah untuk bicara secara jelas dan efektif. Berikan bahan bacaan atau minta pasangan mencari informasi lebih lanjut mengenai PPD. Katakan bahwa kamu merasa mengalami hal tersebut dan butuh pertolongan segera," tegasnya. 

Baca: Jangan Biarkan Anak Menonton Youtube! ini Bahayanya

Dan jika selama ini kamu mengeluh bahwa menikah dengan orang Indonesia terkadang bikin sesak nafas karena tidak hanya menjalin hubungan dengan satu orang, tapi seluruh keluarganya—sebaiknya berhenti merutuk, karena menurut Deasy ini adalah sebuah sisi positif.

Pasalnya, ini "ikatan keluarga dan sosial yang erat dan supportif, yang belum tentu ditemui di kultur lain yang lebih individual. [Padahal] kesendirian dan terputusnya kontak dengan lingkungan terkadang menjadi kondisi yang bisa memunculkan depresi bagi sebagian orang." 

Ah, Indonesia. Tidak hanya itu, "Indonesia memiliki kebiasaan atau ritual tertentu menyambut kelahiran, seperti mengkonsumsi jamu bersalin. Sejumlah penelitian terakhir menunjukkan bahwa curcumin yang terkandung dalam kunyit dan temulawak dapat membantu meredakan gejala depresi. Zat anti-inflamasi dan anti oksidan di dalamnya akan membantu memulihkan peradangan di sejumlah bagian tubuh, termasuk otak. Ini akan memperbaiki dan melindungi otak dan berkontribusi pada perbaikan mood/suasana hati. Kearifan lokal ini sangat bermanfaat untuk membantu memulihkan kondisi tubuh dan meminimalisir peluang depresi pada perempuan pasca melahirkan," tegasnya. 

Intinya, kamu tidak sendirian. Di situs ceritaperempuan ada beberapa perempuan yang blak-blakan membicarakan hal ini. Dan jika kamu butuh teman, atau ingin lebih tahu tentang PPD, hadiri acara "Bicara Jujur Mengenai Postpartum Depression" di Bandung, 25 Agustus 2018 dan di Jakarta, 9 September 2018. Untuk info lebih lanjut, klik di sini atau di sini. Atau, hubungi: +62 08119009494. Kehadiran dan ceritamu sangat ditunggu!

Baca: Kalimat yang Sebaiknya Dihindari Suami-Istri di Depan Anak