Ini Kenapa Ibu Rumah Tangga Lebih Berat Dari Wanita Karir

Ini Kenapa Ibu Rumah Tangga Lebih Berat Dari Wanita Karir
Anak ngambek kepada orang tua

Bahan perdebatan ibu-ibu. Apakah Hidup Ibu yang Seharian di Rumah Lebih Berat (Atau Ringan) Dibandingkan Ibu Bekerja?

Logikanya, menjadi seorang ibu rumah tangga (IRT)—yang dimaksudkan di sini adalah yang tinggal di rumah dan tidak bekerja—tidak mungkin kesepian dan stres. 'Kan selalu ditemani anak-anak, bisa mampir ke Starbucks sering-sering (atau pesan ke rumah), keluar-masuk salon, menikur pedikur di sela-sela jam tidur/sekolah anak, nonton Netflix seharian. Iya 'kan?

Mencium pipi bayi
Ilustrasi Ibu

Penelitian berikut memang dilakukan di Amerika Serikat, tapi berguna sebagai bahan pertimbangan dan peringatan. Setelah mewawancarai lebih dari 60.000 perempuan (berusia 18-64 tahun) di tahun 2012, Gallup menyimpulkan bahwa ibu tidak berkarir dengan anak kecil (di bawah 18 tahun) di rumah berkecenderungan lebih besar untuk mengalami kesedihan dan kemarahan lebih parah dari kemarin, dibandingkan dengan mereka yang memiliki anak kecil dan berkarir (IRB). Ibu rumah tangga lebih mungkin untuk didiagnosa dengan depresi daripada ibu berkarir (full time atau part-time). Hal penting lainnya yang disimpulkan dari penelitian ini adalah tidak ada kaitannya dengan usia—bahkan ketika berada pada usia yang seharusnya bisa mengendalikan diri, IRT secara emosi lebih negatif daripada IRB. 

Baca: Ini Kenapa Orang Tua Sibuk dengan Gadget Dibanding Anak

"Banyak hal yang bisa menyebabkan seseorang mengalami stres, baik berkarir maupun tidak," kata Liza Marielly Djaprie, seorang psikolog klinis & hipnoterapis dari Sanatorium Dharmawangsa, Mental Health Clinic. "Stres atau gangguan psikologis terjadi karena," lanjutnya, "ada kesenjangan antara harapan kita akan suatu hal dengan realita yang terjadi."

Anak marah ke orang tuanya
Anak marah ke orang tuanya

Berkaitan dengan IRT, menurut Liza ada beberapa hal yang mungkin dapat menyebabkan stress: 

  • hubungan yang tidak harmonis dengan suami atau keluarga,
  • kondisi bahwa ia yang tadinya bekerja di kantor kemudian merasa 'hanya menjadi' IRT,
  • kondisi anak yang mungkin di luar kendali dirinya (tantrums berlebih, hiperaktif, dsbnya),
  • tidak mampu untuk mengelola rasa bosan akibat 'hanya' tinggal di rumah.

"Intinya realita yang ia jalani terasa tidak sejalan dengan harapannya selama ini akan kehidupan yang diidamkan. Rasa kecewa yang ditumpuk dalam jangka waktu yang cukup lama, kemudian bisa perlahan-lahan memunculkan gejala stres pada IRT," tuturnya. 

Tidak semua IRT mengalami stres, depresi atau kesepian. Prinsip yang serupa: tidak semua ibu rumah tangga yang mengalami stres mengalami gejala yang sama. "Gejala stres pada tiap individu dapat berbeda-beda," jelas Liza. "Sama halnya dengan gangguan pada fisik, katakan saja kelelahan, bisa memunculkan gejala flu atau gejala sakit kepala, maka stres pada sistem psikologis seseorang juga bisa menimbulkan gangguan yang berbeda-beda." Liza juga memaparkan variasi gejala yang bisa dirasakan oleh individu yang mengalami gangguan depresi (sedih berkepanjangan), diantaranya hilang nafsu makan, kehilangan minat akan hidup, dan lain-lain. "Pada saat mengalami stres berkepanjangan, ada juga yang terlihat mengalami gejala insomnia, ada yang mungkin jadi memunculkan gejala gangguan kepribadian—marah-marah, mengamuk, tidak mau kalah, dll—dan banyak gangguan psikologis lain yang bisa muncul seiring dengan penumpukan stres dalam jangka panjang.

Baca: Calon Ibu Wajib Tau! Ini 5 Cara Menghitung Masa Kehamilan

"Saat ini terjadi, cobalah untuk mengkomunikasikannya dengan pasangan atau anggota keluarga lain atau sahabat terdekat. Jika rasanya sudah tak tertahankan, segeralah buat janji dengan psikolog atau psikiater. Terkadang pertimbangan dari orang ketiga dapat membantu kita untuk melihat masalah jauh lebih jelas dan terstruktur sehingga dapat dikelola dengan lebih baik," sarannya. 

Mengenali gejala stres atau depresi yang dialami IRT tidak mudah—setidaknya tidak semudah mengetahui bahwa 'oh, sepertinya aku akan flu, nih.' Terlebih, ada yang menganggap—bahkan sang ibu sendiri—bahwa IRT adalah seorang wanita kuat. Wonder Woman yang tidak mungkin sakit—apalagi mengeluh saat akan sakit, padahal semua gejala sudah menunjukkan bahwa dalam hitungan menit dia akan "ambruk." 

"Ada beberapa alasan umumnya mengapa mereka bersikap demikian," kata Liza. Misalnya: 

  • Mereka terbentuk sejak kecil menjadi pribadi introvert yang memang sukar untuk berbagi kesulitan atau menceritakan masalahnya.
  • Lingkungan melarang mereka untuk berbagi keluh kesah karena "diasumsikan sebagai sikap cengeng dan hanya membuat malu keluarga atas keluhan-keluhan mereka." 
  • Sudah merasa tidak ada gunanya untuk mengakui atau bercerita pada siapapun. "Karena pengalaman mengajarkan pada mereka bahwa toh setiap kali bercerita, antara tidak dapat solusi yang tepat atau mungkin malah dicemooh saja."

Lalu adakah cara terbaik untuk menjelaskan kepada pasangan bahwa: "Sayang, aku merasa bosan, sesak nafas, capek, rasanya ingin muntah, berada di rumah seharian dan melakukan itu-itu saja setiap hari?"

"Jika memang seorang IRT merasa sukar untuk menjelaskan kondisi yang ia alami kepada pasangan maupun anggota keluarga, mungkin ada baiknya jika ia pergi ke psikolog atau psikiater untuk lalu meminta bantuannya agar bisa menceritakan kondisi yang dialami secara lebih akurat, komprehensif serta menyeluruh sehingga anggota keluarga bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas untuk dapat memahami sang IRT," jawab Liza. 

Baca: Gadis Enam Tahun Selamatkan Ibunya dari Peristiwa Mengancam

WOOP tidak sedang dalam usaha untuk membela siapapun. Namun, jika para ibu mau jujur, terkadang suat suami saat membantu beres-beres, ngurus anak, bla bla, si istri menolak. Kenapa? "Ih, mana bisa dia melakukan itu semua!" jawab si ibu. Alias, IRT memiliki standar sendiri dan suami dipercaya tidak bisa memenuhinya. Dalam situasi ini, apa sebaiknya yang dilakukan suami, juga istri?

"Ini mungkin ada benarnya, namun mungkin juga tidak benar sepenuhnya," ujar Liza. "Memang ada kondisi dimana IRT sungguh sangat perfeksionis," bebernya, "yang mengakibatkan tidak diperbolehkannya orang lain untuk membantu dirinya sehingga lalu stres sendiri. Jika ini yang terjadi maka IRT harus jujur akan kecenderungan ini lalu berusaha belajar untuk dapat mendelegasikan tugas dan menerima bahwa hasil yang dikerjakan oleh orang lain mungkin tidak sama persis dengan jika ia yang mengerjakannya.

"Hanya saja terkadang ada kondisi dimana IRT sudah bersedia untuk mendelegasikan tugas, namun suami atau anggota keluarga lain tidak mau berusaha untuk lebih belajar menyelesaikan tugas tersebut, hampir mirip dengan apa yang memang seharusnya diselesaikan," paparnya.

Menurut Liza yang terkadang terjadi adalah pihak-lain-non-istri sepertinya kurang berusaha untuk menyelesaikan sebaik mungkin dan—hanya mengerjakan secepat mungkin sehingga bisa lekas selesai tanpa memperdulikan hasil akhir seperti apa.

"Hal ini tentu akan membuat IRT semakin merasa stres dan akan semakin merasa orang lain tidak peduli akan kesejahteraan kondisi keluarga. Jika ini yang terjadi, maka suami atau anggota keluarga lain harus mulai belajar untuk mengerjakan tugas juga sebaik mungkin sehingga IRT dapat merasa bahwa suami atau anggota keluarga tersebut memang sudah berusaha keras untuk membantunya dan bukan hanya sekedar 'asal bantu,'" tegas Liza. 

ilustrasi medsos
ilustrasi medsos

Bayangkan (bukan untuk mendramatisir situasi): realitas di atas ditambah media sosial (medsos)—dunia maya. Untuk ibu-ibu rumah tangga yang sering rajin membuka Facebook atau Instagram tahu betul kerasnya tekanan-tekanan dari dunia yang unsur realitasnya sangat bisa dipertanyakan itu. Teman pergaulannya, sebut saja namanya si A, yang juga IRT hampir selalu memposting hal yang sama: ekspresinya selalu bahagia saat mengerjakan apapun, #alwaysbeautifulandproudtobehousewife. Dan yang paling penting, terlihat selalu gaya dan berdandanan lengkap—bukan, bukan memakai daster atau rambut yang selalu kusut seperti penampilanmu di hampir setiap hari. Kamu pun akhirnya bertanya-tanya: apa yang salah dengan sistem kerjamu di rumah, mengapa dia bisa begitu kamu tidak, bagaimana bisa dia tetap rapi dan terlihat selalu bahagia sementara dandananmu seperti, maaf, si Ibu di Pengabdi Setan. 

Baca: Cara Ussy Sulistiawaty Mengatasi Anak Kecanduan Gadget

"Sebenarnya tidak hanya IRT, tapi juga setiap individu pengguna medsos harus belajar untuk menyeimbangkan antara logika dan perasaan. Bahwa apapun yang terlihat, tidak semua mungkin nyata adanya, sehingga tidak perlu baperan dan membuat semua jadi terasa susah sendiri," tekan Liza. "Setiap individu memiliki keunikan hidupnya masing-masing. Gunakanlah medsos dengan bijak. Selalu ingat untuk memasukkan unsur logika dalam segala hal yang terbaca oleh kita di medsos."

Dan ada satu hal lagi, situasi-ibarat-mana-yang-lebih-dulu-ayam-atau-telur: anggapan bahwa IRT tanpa karir, sepanjang hari di rumah lebih rumit daripada ibu karir. "Ibu karir nggak usah berkomentar apapun, deh," kata IRT. Lalu, "Ibu yang kerjanya cuma ngurus anak di rumah pasti nggak bisa membayangkan kesulitan mengatur kerjaan dan keluarga," kata ibu yang berprofesi guru/wartawan/direktur/blogger/pegawai negeri sipil, dsb. 

"Sesungguhnya buat saya pribadi, hal seperti ini sungguh seperti pertempuran tanpa akhir yang tidak akan pernah jelas juga tujuan pertempurannya apa dan untuk apa dilakukan," ujar Liza yang juga seorang ibu dengan empat orang anak. 

"Setiap pilihan hidup punya konsekuensinya masing-masing dan punya kerumitannya masing-masing. Rumit atau sederhananya hidup kita bergantung pada kecerdasan emosional kita. 

"Ada IRT yang memang merasa hidup penuh tantangan tapi bahagia saja menjalaninya, sama sekali tidak merasakan kerumitan yang bikin stres. Tapi mungkin ada IRT yang sungguh sudah sangat stres karena merasa hidup begitu rumit. Begitu pula dengan ibu berkarir, yang kata IRT hidupnya jauh lebih sederhana, tapi pada kenyataanya nggak sedikit yang juga mengalami stres dan merasa hidup begitu rumitnya. 

Baca: 5 Ide Praktis Menu Bekal Anak Untuk Ibu Yang Sibuk

"Mengapa perbandingan seperti ini bisa muncul, karena kita selalu punya keinginan untuk bisa lebih baik dari orang lain, selalu ingin menenangkan tantangan tertentu. Padahal sekali lagi, ini bukan pertempuran dengan orang lain sebenarnya. Ini pertempuran kita dengan diri kita sendiri. Bisa tidak kita menjadi individu yang mampu untuk secara emosional cerdas mengelola kerumitan hidup, baik sebagai IRT maupun IRB, sehingga stres juga bisa selalu terkelola dengan bijak," Liza menuturkan. 

Untuk mengelola diri sendiri, agar bebas stres dan tetap sehat meski seharian di rumah, adakah yang bisa dilakukan? 

"Menyadari bahwa menjadi IRT adalah pilihan pribadi, "jawab Liza. Jika bukan karena pilihan pribadi maka menurutnya kemungkinan stres akan lebih besar, sehingga  "lebih baik segera menimbang dengan bijak pilihan hidupnya."

Pergi Liburan
Pergi Liburan

Dan satu lagi yang harus ditanamkan dengan baik—logis sebenarnya, tapi seringkali kita lupa: "Berhenti membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Juga, latih kecerdasan emosional, belajar untuk bersikap fleksibel akan kehidupan. Dan yang pasti selalu ingat untuk punya ME-TIME atau bahkan LIBURAN! You deserve it!" tegas Liza.

Baca: Orang Tua Ganti Rugi Ratusan Juta Karena Anak Gores Mobil